Kesalahpahaman Terhadap NU - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Minggu, April 14, 2019

Kesalahpahaman Terhadap NU




Penulis: Muhammad Rodlin Billah (PCI NU Jerman)


Atorcator.Com - Kisah-kisah berikut ini nyata adanya serta berdasarkan apa yang saya alami sendiri, khususnya sebagai seorang nahdliyin yang tinggal di Jerman, yang tak jarang mendapatkan kesalahpahaman yang seringkali tak berdasar. Yang datangnya bukan dari orang lain, namun sesama anak bangsa yang juga muslim.

Rasanya ingin marah saja bila hal itu terjadi, bahkan mungkin saja saya kelepasan dalam beberapa kali interaksi. Bila ada dari saya yang demikian, saya mohon kerelaan untuk dimaafkan.

Tak ada maksud lain sesederhana keinginan saya untuk senantiasa nggandholi sarunge kyai, meskipun itu hanya melalui tulisan berikut ini.

Kisah #1: Yang Mereka Anggap Liberal itu Ahli Dzikir

Pertengahan 2017 lalu saya mendapat sebuah kesempatan mulia menyambut seorang profesor yang juga rektor sebuah universitas islam negeri sekaligus seorang pengasuh pondok pesantren. Sehari sebelum menyambut kedatangan beliau di Berlin, saya mendapatkan telfon dari seorang yang saat itu juga mengenalkan dirinya sebagai seorang yang besar dari keluarga yang beramaliyah NU. Pada prinsipnya ia ingin menghadiri acara besok yang mauidhoh hasanah-nya akan diisi oleh profesor tersebut. Tetapi ia bimbang. Sebabnya, santer kabar di lingkaran perkawanannya bahwa profesor tersebut adalah seorang yang liberal. Ia lantas menanyakan pendapat saya. Jawab saya diplomatis, „Datang dan dengarkan saja dulu, bila sesuai ambil, bila tak sesuai tinggalkan.“

Esoknya saya bersama beberapa pengurus PCINU Jerman menjumpai profesor tersebut beberapa jam sebelum acara dimulai. Secara fisik dan penampilan, beliau tampak sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, tak terlihat sesuatu yang khusus. Sampai kemudian saya tak sengaja melihat sebuah counter digital berwarna hitam yang beliau tautkan pada salah satu jarinya. Sepertinya beliau sengaja memutar tombol dan layer counter tersebut agar menghadap kedalam telapak tangannya. Entah agar beliau lebih mudah menekannya, atau agar tak tampak orang. Saya perhatikan, sambil mengobrol bersama, dengan frekuensi yang ajeg beliau terus menekan tombol counter digital tersebut. Hal ini terus berlangsung dari hotel lokasi beliau menginap pagi harinya hingga kami berpamitan pulang pasca mengantar beliau kembali ke hotel malam harinya.

Sejauh pengamatan saya, hanya ada satu saat dimana counter itu meninggalkan jari beliau, yaitu saat beliau memberikan mauidhoh hasanah yang disampaikan secara menarik, obyektif, dan tak menggurui meskipun beliau sangat berhak untuk itu. Saya tafsirkan, selama counter itu melekat di jari beliau, selama itu pula beliau mendawamkan suatu dzikir/bacaan. Di akhir hari tersebut, saya merasa telah memperlakukan beliau dengan tak adil sebab jawaban saya ternyata terlalu diplomatis. Semestinya saya tegaskan, „Mestinya sampeyan labeli saya liberal terlebih dahulu mengingat saya tak lebih ajeg berdzikir dibanding beliau“.

Kisah #2: Yang Mereka Anggap Liberal itu Bisa Baca Kitab Kuning

Akhir tahun 2017 lalu saya mendapat kesempatan luar biasa untuk napak tilas proses pendirian PCINU Jerman langsung dari salah satu pendirinya. Sebelum esok harinya sowan ke PBNU dalam rangka memohon restu dan SK PCINU Jerman, saya menginap di rumah beliau yang juga seorang dosen di (lagi-lagi) sebuah universitas islam negeri di Jakarta. Beliau bercerita mengenai label liberal yang disematkan kepadanya sebab menerima tamu kawan baiknya, seorang gus yang beberapa tahun lalu aktif di JIL, yang sekadar bersilaturrahmi dan menginap di apartemen beliau di Berlin beberapa tahun lalu.

Sejak saat itu beliau mendapat label liberal. Bahkan sempat beberapa pemuda Indonesia yang tinggal di Berlin terlihat oleh beliau menggunakan kaos “Indonesia tanpa JIL”. Otoritas keilmuan dan kapasitas beliau yang mumpuni, khususnya bahasa arab serta akses ke teks-teks agama dari berbagai kitab besar maupun kecil yang tak dimiliki kebanyakan muslimin Indonesia di Jerman, untuk kemudian menjadikannya sebagai bahan khutbah Jum’at, ceramah, atau sekedar mengisi pengajian praktis termarjinalkan. Meskipun demikian, beliau tak pernah protes. Kecuali dalam bentuk mengikuti sholat Jum’at di masjid lain yang bacaan surat fatihahnya menurut beliau lebih kredibel.

Baru saat ditanya oleh salah seorang sesepuh di Berlin beberapa saat kemudian, tentang apakah benar tuduhan liberal itu, beliau menjelaskan bahwa sejatinya beliau hanyalah seorang santri. Sesepuh inipun melayangkan nota protes ke pihak yang ditengarai melontarkan tuduhan tersebut. Ia menuntut kedua pihak ditemukan untuk meluruskan tuduhan tersebut. Beliau yang dituduh liberal tak berkeberatan sama sekali bila harus datang mengklarifikasi. Sayangnya pihak yang menuduh tak menampakkan batang hidungnya, tak ada juga permohonan maaf.

Kisah #3: Yang Mereka Anggap Melenceng itu Selalu dari NU

Pertengahan 2018 lalu kami mendapatkan kesempatan besar untuk belajar langsung dari seorang kyai. Sanad keilmuan beliau bersambung hingga Rasulullah SAW. Oleh kawan-kawan PCINU Jerman beliau dijadwalkan mengisi di delapan kota di Jerman dan satu kota di Belgia. Metode yang digunakan oleh beliau diusahakan agar sedekat mungkin dengan bandongan sebagaimana layaknya santri-santri pesantren. Kecuali saat beliau memberikan mauidhoh hasanah, yang akhirnya beliau bentukkan sebagai ceramah.

Dalam sebuah kesempatan berceramah di sebuah kota besar di Jerman, saat itu berdekatan dengan hari raya Idul Adha, beliau menyampaikan kisah-kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS yang dapat kita jadikan teladan. Selama ceramah beliau berlangsung, tak ada sama sekali penyebutan istilah Islam Nusantara karena memang bukan termasuk topik pembahasan. Ndilalah, pertanyaan pertama ialah mengapa muncul istilah Islam Nusantara dibarengi dengan pernyataan “tak usahlah berbuat yang aneh-aneh”. Beliau jawab, “Mau anda ikut Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, atau Islam Terpadu, atau yang nggak pakai istilah tambahan, yang penting tetap saling jaga ukhuwah”.

Pertanyaan bertubi-tubi yang mengikuti setelahnya a.l. tentang mengapa nabi-nabi palsu munculnya hanya di Jawa yang kebetulan jamaah NU banyak di Jawa, tentang kebolehan membaca Al-Qur’an dengan langgam jawa, tentang sholat berbahasa Indonesia. Seakan-akan semuanya akibat dari istilah Islam Nusantara yang asalnya dari NU. Padahal saya belum pernah mendengar ada dari para masyayikh mendukung dakwah nabi-nabi palsu itu, atau juga membenarkan sholat dalam bahasa Indonesia. Seakan-akan juga semua langgam ngaji Al-Qur’an yang tak awam menjadi salah, meskipun kyai telah menjelaskan, bahwa langgam itu tak lebih penting dari makhorijul huruf dan tajwid.

Seingat saya hanya satu pertanyaan yang relevan dengan topik ceramah beliau, yaitu tentang kebolehan berkurban satu kambing untuk satu keluarga. Oleh kyai dijawab panjang lebar berdasarkan dalil-dalil dari kitab-kitab masyhur para ulama sekaliber Ibnu Hajar Al-Asqalani hingga ke Imam Syafi’i, oleh kyai bahkan disebutkan judul kitabnya, cetakannya, serta halamannya: pada intinya mayoritas ulama Syafi’iyah memilih pendapat satu kambing untuk satu orang atau satu sapi untuk tujuh orang. Beliaupun menegaskan, bahwa silahkan saja bila ingin mengikuti pendapat yang lain tetapi tetap kedepankan ukhuwah.

Yang demikian ini ternyata masih menghadapi pertanyaan lanjutan, “Mohon pak ustadz tunjukkan sumber Al-Qur’an atau haditsnya”. Padahal beliau telah jelaskan saat menjawab pertanyaan lain, bahwa Al-Qur’an dan hadits ibaratnya beras (beliau menggunakan istilah pure science, mengibaratkan beras sebagai persamaan matematika yang masih perlu diderivasikan), tak semua orang mampu mengolahnya dengan benar dan baik. Sedangkan para penulis kitab-kitab itu telah mengolah beras menjadi nasi yang siap dimakan dan tak jarang telah disesuaikan dosisnya terhadap konsumennya.

Dalam konteks seringnya kesalahpahaman atas NU inilah sebuah guyonan/meme yang sempat beredar beberapa waktu lalu menemukan relevansinya: „Dilan, jadi nahdliyin itu berat, kamu gak akan kuat, biar kami saja”.

Pintu diskusi senantiasa terbuka. Ngapunten ingkang kathah.