fb-maimun-nafis |
Penulis: Ahmad Maimun Nafis
(Santri Al-Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah)
Atorcator.Com -
Istilah "pembaharuan Islam" sering kali dijadikan tameng
oleh banyak orang untuk mengkoreksi dasar-dasar dalam Islam. Mereka mulai
merubah komponen-komponen Inti dalam Islam. Pluralisme, sekularisme, dan
sebagainya dinilai sebagai titik mula pembaharuan Islam. Tidak.
Sejatinya
pembaharuan di sini tidaklah tepat jika dimaknai sebagai "perubahan".
Karena yang dimaksud pembaharuan dalam Islam adalah mengembalikan Islam kepada
keasliannya sebagaimana baginda nabi ajarkan dahulu.
Ketika
orang-orang mulai berani menisbatkan ucapan-ucapan tidak tepat kepada baginda
nabi, lantas Umar bin Abdul Aziz melakukan pembaharuan dengan menggagas
kodifikasi (pembukuan) Hadist. Tujuannya sudah jelas; mengembalikan Islam
kepada ajaran yang asri.
Beda Lagi
dengan angkatan Imam Syafi'i. Ketika orang-orang awam sudah mulai berani
menyatakan hukum dalam Islam, "ini wajib, ini haram, ini makruh",
padahal sejatinya mereka belum berkapasitas untuk mengucapkan itu, beliau
kemudian merumuskan
Unsur-unsur
dalam berijtihad.
Sehingga menjadi
konsensus bersama saat itu bahwa orang yang boleh merumuskan Hukum dalam Islam
adalah mujtahid. Itulah pembaharuan zaman tersebut. Agar hukum Islam yang
tersebar di tengah masyarakat bisa kembali seperti ajaran baginda nabi.
Imam Asy'ari mengembalikan
keasrian akidah Islam dengan ajaran dalil aqli dan dalil naqli (yang saat itu
dirongrong oleh mu'tazilah). Imam Ghazali mengembalikan ajaran Islam dari
keserakahan duniawi umat muslim menjadi kesucian sufiyah.
Benarlah apa
yang diucapkan guru besar kita (KH Maimun Zubair):
"Maksute
Tajdid ora kok agamane dirubah. Gak! Tapi dibalekno. Sunnahe Allah siji tok.
Tapi carane isite bali bedo2. Zamane Imam Syafi'i ora koyo Zamane Umar bin
Abdul Aziz".
"Saiki
sampean wes tok zaman. Seng ora usah rame2. Ngaji karangan Ulama."
Sudah......
Sumber: Facebook Maimun Nafis