![]() |
mubadalah |
Penulis: Abdul Rosyidi
Atorcator.Com - Setiap kali ngobrol dengan buya, otakku berdegup kencang.
Ngos-ngosan seperti kuli angkut pelabuhan yang kelebihan beban. Bagaimana
tidak, yang dia obrolkan masalah-masalah kelas kakap. Berat. Masalah peradaban.
Sesuatu yang bagi kebanyakan orang, mungkin akan bilang kurang kerjaan. Kok
mikiri sesuatu yang bukan urusanku, ngawang-ngawang atau mikiri jeh kang
langka duit e (memikirkan yang tidak mendatangkan uang), atau mikiri jeh
nasib orang lain.
Iya, tapi itulah KH Husein Muhammad.
Orang-orang di sini suka memanggilnya Buya Husein.
Saya sangat sering bertemu dan
ngobrol dengan Buya. Dari setiap obrolan dengan tema yang berbeda dari mulai
gender, demokrasi, pluralisme, hingga isu-isu aktual, saya menangkap ada hal
yang menggelisahkan beliau. Kegelisahan inilah yang membuatnya tak pernah
berhenti berpikir, membaca literatur masa lampau untuk kemudian menuliskan
hasil refleksinya.
Buya mengatakan bahwa umat Islam
masih dibayangi masa lalu. Dia tak habis pikir, kenapa kita yang hidup di zaman
ini sangat gemar menggunakan teks-teks (pendapat, pandangan, produk hukum, dll)
masa lalu untuk menyelesaikan masalah zaman ini? Menurutnya, hal itu amatlah
tidak bijak.
Pertama, menurutnya, teks adalah
produk kebudayaan. Artinya, kelahiran teks tidak bisa lepas dari situasi dan
kondisi teks itu muncul. Ini tak lepas dari fakta bahwa manusia tidak bisa
terlepas dari kungkungan ruang dan waktu. Teks hadir sebagai respon atas
konteks waktu tertentu, di tempat tertentu, dengan kompleksitas, komposisi dan
gradasi situasi dan kondisi tertentu.
Selama ini, dia menyayangkan umat
Islam masih banyak yang menggunakan teks-teks lampau untuk menyikapi kekinian
tanpa menyelami kedalamannya terlebih dulu. Sebuah tindakan yang menurutnya
berakibat sangat fatal, sebuah kemunduran peradaban.
Teks perlu dipahami makna dan
maksudnya dengan cara memahami konteks munculnya teks. Tidak cukup hanya di
situ, jika hendak menggunakannya di zaman ini, maka kita juga harus menimbang
relevansi teks masa lalu itu dengan konteks sekarang. Tanpa itu, teks menjadi
tidak bermakna bagi kehidupan kita di masa sekarang.
Kedua, teks membunuh ‘yang lain’.
Satu wacana di dalam satu teks tertentu akan meniadakan wacana selainnya. Teks
juga mereduksi, membatasi, menyederhanakan realitas. Apa yang bisa ditangkap
satu teks adalah satu sisi saja, sisi penulisnya. Sementara sisi lainnya tidak
terwakili. Ini karena manusia memiliki subjektifitas dan horison pengetahuan
yang berbeda-beda.
Bahkan tak jarang didapati teks-teks
dari seorang ulama di masa lalu masing-masing bertolak belakang, berbeda dan
saling membantah. Satu teks dari ulama A di situasi tertentu isinya berlawanan
dengan teks lain dari ulama yang sama dengan situasi yang berbeda.
Buya menyadari bahwa tulisan yang
baik harusnya bisa membuka ruang bagi yang berbeda pandangan. Karena bisa jadi
ada ruang-ruang kebenaran yang tertutup saat kita menuliskan apa yang kita
pahami. Tulisan dengan sifatnya yang hitam putih, sangat rawan terjebak pada
wilayah pembakuan dan pemapanan kebenaran. Buya berusaha agar tulisannya tidak
demikian. Baginya, selalu ada ruang untuk berbeda pendapat. Karena tidak ada
orang yang tahu akan seperti apa situasi dunia di hari esok.
Ketiga, substansi dan semangat
ajaran. Yang harus terus diwariskan dan dijadikan rujukan penting bagi umat
Islam sekarang adalah semangat ajaran Nabi. Semangat, visi dan cita-cita ajaran
Islam yang bersumber dari al-Quran dan Hadits itulah yang kiranya masih bisa
digunakan untuk kepentingan kehidupan zaman ini.
Bagi Buya, semangat ajaran Islam
bersifat universal sementara bagian yang lainnya itu partikular. Banyak orang
terjebak pada 'bagian lain' yang sifatnya permukaan itu tetapi tidak mengerti
semangat ajarannya. Nilai-nilai universal seperti berbuat baik pada semua,
jujur, rendah hati, menghormati semua orang, bertanggung jawab, adil, dll.
perlu diformulasikan ke dalam kehidupan sekarang yang sudah sangat berbeda
dengan sistem kehidupan zaman Nabi.
Keempat, kita terlalu takut
kehilangan kenikmatan dan kenyamanan. Banyak orang yang Buya ajak ngobrol dan
memahami situasi ini tapi kemudian mereka memilih diam. Alasannya, menurut
Buya, kita terlalu takut untuk beranjak dari kotak nyaman. Apa itu kotak
nyaman? Saya menggambarkannya seperti ini:
Kita hidup seperti bersauh di tengah
laut, bergelombang dan tak tentu, tak ajeg, penuh ketidakpsatian dan penuh
kecamasan. Kita pun menghendaki tiba di pantai dan berdiam diri di pulau. Ajeg,
tenang, dan tak bergoyang. Tapi hidup itu adalah melaut, tak ada selain itu.
Tapi kita terus bermimpi berdiam di pulau.
Agama sebagai doktrin adalah candu
yang menenangkan yang sangat sulit untuk dilepaskan. Balasan setelah mati
adalah kepastian di tengah kehidupan yang serba tidak pasti ini. Kotak nyaman
itu tak gampang untuk dilepaskan. Tindakan-tindakan mempertahankan masa lalu,
meskipun sudah tidak relevan, terus menerus memapankan doktrin dan ideologi
berbasiskan agama. Inilah pulau besar itu. Padahal, hidup terus berubah dan
penuh ketidakpastian seperti kita yang bersauh di tengah laut.
Sampai di sini, Buya membawaku pada
puncak keputusasaan. Hingga dia kemudian mengatakan bahwa perubahan harus segera
dimulai dari pendidikan. Pendidikan harus membuat umat Islam menjadi pandai
menalar, bukan mengekor. Pendidikan yang membuat umat Islam berpikir, bukan
ikut-ikutan orang. Pendidikan yang bukan sebagai alat melanggengkan kekuasaan,
bukan untuk memapankan struktur dan sistem sosial, tapi pendidikan yang membuat
murid-murid berpikir, mencari dan tidak takut bersauh di tengah laut.
Barangkali sebagian kita akan
berpandangan apa yang dikatakan Buya itu sangat teoritis. Ada juga yang
menyebutnya ahli wacana, idealis ataupun kiai langit, maksudnya orang yang
sering mendakwahkan hal-hal yang tak terjangkau pikiran orang awam. Tapi coba
lihat sejenak efek sosial dari hal-hal yang melangit tadi.
Berangkat dari sikap yang serba
konservatif-tekstualis, umat Islam jadi bodoh dan mudah dipolitisasi. Dengan
gradasi yang berbeda, sikap ini berujuang pada radikalisme dan terorisme. Ada
juga sebagian dari kita yang berada di manzilun baina manzilataini, menderita
kegamangan akut, double thinking, di satu sisi menerima demokrasi tapi di sisi
lain merindukan khilafah.
Sebagian kita banyak yang suka
marah-marah. Marah itu, katanya hanya milik orang-orang kalah. Pada akhirnya
umat Islam gagal menjadi muslim yang otentik, muslim yang sesuai dengan zaman
ini, muslim zaman now.
Kondisi memprihatinkan yang menimpa
umat Islam tersebut membuat Buya cemas. Dia takut umat Islam akan terus
dijajah, dijajah secara fisik juga kultural. Oleh siapa? Oleh bangsa-bangsa
yang lebih pintar. Semua yang dilakukan buya, dengan demikian adalah sebuah
perjuangan untuk menolong umat Islam. Ini semua nyata-nyata terjadi menimpa
umat Islam. Bukan omong kosong.
Maka dari itu, beliau suka sedih dan
mengelus dada tatkala umat Islam dengan pemahaman yang berbeda dengannya
menghinanya, menghardik, mencemooh bahkan menyingkirkannya. Bagi Buya, itu
tidak masalah. Tapi sebagai manusia, saya melihat dia toh sering sedih juga.
Bahkan ada beberapa hal yang
sebenarnya Buya ingin tulis dan sampaikan ke khalayak, tapi dia takut nanti
menimbulkan polemik. Aku pernah bilang ke Buya, tetap saja suatu saat Buya
harus mengatakannya. Ini penting menurutku. “Buya harus terus menyampaikan
gagasan-gagasannya.” []
Baca juga