Mengenal Buya Husein dan Beberapa Kegelisahannya - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Jumat, April 05, 2019

Mengenal Buya Husein dan Beberapa Kegelisahannya

mubadalah

Penulis: Abdul Rosyidi

Atorcator.Com - Setiap kali ngobrol dengan buya, otakku berdegup kencang. Ngos-ngosan seperti kuli angkut pelabuhan yang kelebihan beban. Bagaimana tidak, yang dia obrolkan masalah-masalah kelas kakap. Berat. Masalah peradaban. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang, mungkin akan bilang kurang kerjaan. Kok mikiri sesuatu yang bukan urusanku, ngawang-ngawang atau mikiri jeh kang langka duit e (memikirkan yang tidak mendatangkan uang), atau mikiri jeh nasib orang lain.

Iya, tapi itulah KH Husein Muhammad. Orang-orang di sini suka memanggilnya Buya Husein.

Saya sangat sering bertemu dan ngobrol dengan Buya. Dari setiap obrolan dengan tema yang berbeda dari mulai gender, demokrasi, pluralisme, hingga isu-isu aktual, saya menangkap ada hal yang menggelisahkan beliau. Kegelisahan inilah yang membuatnya tak pernah berhenti berpikir, membaca literatur masa lampau untuk kemudian menuliskan hasil refleksinya.

Buya mengatakan bahwa umat Islam masih dibayangi masa lalu. Dia tak habis pikir, kenapa kita yang hidup di zaman ini sangat gemar menggunakan teks-teks (pendapat, pandangan, produk hukum, dll) masa lalu untuk menyelesaikan masalah zaman ini? Menurutnya, hal itu amatlah tidak bijak.


Pertama, menurutnya, teks adalah produk kebudayaan. Artinya, kelahiran teks tidak bisa lepas dari situasi dan kondisi teks itu muncul. Ini tak lepas dari fakta bahwa manusia tidak bisa terlepas dari kungkungan ruang dan waktu. Teks hadir sebagai respon atas konteks waktu tertentu, di tempat tertentu, dengan kompleksitas, komposisi dan gradasi situasi dan kondisi tertentu.


Selama ini, dia menyayangkan umat Islam masih banyak yang menggunakan teks-teks lampau untuk menyikapi kekinian tanpa menyelami kedalamannya terlebih dulu. Sebuah tindakan yang menurutnya berakibat sangat fatal, sebuah kemunduran peradaban.

Teks perlu dipahami makna dan maksudnya dengan cara memahami konteks munculnya teks. Tidak cukup hanya di situ, jika hendak menggunakannya di zaman ini, maka kita juga harus menimbang relevansi teks masa lalu itu dengan konteks sekarang. Tanpa itu, teks menjadi tidak bermakna bagi kehidupan kita di masa sekarang.


Kedua, teks membunuh ‘yang lain’. Satu wacana di dalam satu teks tertentu akan meniadakan wacana selainnya. Teks juga mereduksi, membatasi, menyederhanakan realitas. Apa yang bisa ditangkap satu teks adalah satu sisi saja, sisi penulisnya. Sementara sisi lainnya tidak terwakili. Ini karena manusia memiliki subjektifitas dan horison pengetahuan yang berbeda-beda.



Bahkan tak jarang didapati teks-teks dari seorang ulama di masa lalu masing-masing bertolak belakang, berbeda dan saling membantah. Satu teks dari ulama A di situasi tertentu isinya berlawanan dengan teks lain dari ulama yang sama dengan situasi yang berbeda.


Buya menyadari bahwa tulisan yang baik harusnya bisa membuka ruang bagi yang berbeda pandangan. Karena bisa jadi ada ruang-ruang kebenaran yang tertutup saat kita menuliskan apa yang kita pahami. Tulisan dengan sifatnya yang hitam putih, sangat rawan terjebak pada wilayah pembakuan dan pemapanan kebenaran. Buya berusaha agar tulisannya tidak demikian. Baginya, selalu ada ruang untuk berbeda pendapat. Karena tidak ada orang yang tahu akan seperti apa situasi dunia di hari esok.


Ketiga, substansi dan semangat ajaran. Yang harus terus diwariskan dan dijadikan rujukan penting bagi umat Islam sekarang adalah semangat ajaran Nabi. Semangat, visi dan cita-cita ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan Hadits itulah yang kiranya masih bisa digunakan untuk kepentingan kehidupan zaman ini.


Bagi Buya, semangat ajaran Islam bersifat universal sementara bagian yang lainnya itu partikular. Banyak orang terjebak pada 'bagian lain' yang sifatnya permukaan itu tetapi tidak mengerti semangat ajarannya. Nilai-nilai universal seperti berbuat baik pada semua, jujur, rendah hati, menghormati semua orang, bertanggung jawab, adil, dll. perlu diformulasikan ke dalam kehidupan sekarang yang sudah sangat berbeda dengan sistem kehidupan zaman Nabi.


Keempat, kita terlalu takut kehilangan kenikmatan dan kenyamanan. Banyak orang yang Buya ajak ngobrol dan memahami situasi ini tapi kemudian mereka memilih diam. Alasannya, menurut Buya, kita terlalu takut untuk beranjak dari kotak nyaman. Apa itu kotak nyaman? Saya menggambarkannya seperti ini:


Kita hidup seperti bersauh di tengah laut, bergelombang dan tak tentu, tak ajeg, penuh ketidakpsatian dan penuh kecamasan. Kita pun menghendaki tiba di pantai dan berdiam diri di pulau. Ajeg, tenang, dan tak bergoyang. Tapi hidup itu adalah melaut, tak ada selain itu. Tapi kita terus bermimpi berdiam di pulau.


Agama sebagai doktrin adalah candu yang menenangkan yang sangat sulit untuk dilepaskan. Balasan setelah mati adalah kepastian di tengah kehidupan yang serba tidak pasti ini. Kotak nyaman itu tak gampang untuk dilepaskan. Tindakan-tindakan mempertahankan masa lalu, meskipun sudah tidak relevan, terus menerus memapankan doktrin dan ideologi berbasiskan agama. Inilah pulau besar itu. Padahal, hidup terus berubah dan penuh ketidakpastian seperti kita yang bersauh di tengah laut.


Sampai di sini, Buya membawaku pada puncak keputusasaan. Hingga dia kemudian mengatakan bahwa perubahan harus segera dimulai dari pendidikan. Pendidikan harus membuat umat Islam menjadi pandai menalar, bukan mengekor. Pendidikan yang membuat umat Islam berpikir, bukan ikut-ikutan orang. Pendidikan yang bukan sebagai alat melanggengkan kekuasaan, bukan untuk memapankan struktur dan sistem sosial, tapi pendidikan yang membuat murid-murid berpikir, mencari dan tidak takut bersauh di tengah laut.


Barangkali sebagian kita akan berpandangan apa yang dikatakan Buya itu sangat teoritis. Ada juga yang menyebutnya ahli wacana, idealis ataupun kiai langit, maksudnya orang yang sering mendakwahkan hal-hal yang tak terjangkau pikiran orang awam. Tapi coba lihat sejenak efek sosial dari hal-hal yang melangit tadi.


Berangkat dari sikap yang serba konservatif-tekstualis, umat Islam jadi bodoh dan mudah dipolitisasi. Dengan gradasi yang berbeda, sikap ini berujuang pada radikalisme dan terorisme. Ada juga sebagian dari kita yang berada di manzilun baina manzilataini, menderita kegamangan akut, double thinking, di satu sisi menerima demokrasi tapi di sisi lain merindukan khilafah.


Sebagian kita banyak yang suka marah-marah. Marah itu, katanya hanya milik orang-orang kalah. Pada akhirnya umat Islam gagal menjadi muslim yang otentik, muslim yang sesuai dengan zaman ini, muslim zaman now.
Kondisi memprihatinkan yang menimpa umat Islam tersebut membuat Buya cemas. Dia takut umat Islam akan terus dijajah, dijajah secara fisik juga kultural. Oleh siapa? Oleh bangsa-bangsa yang lebih pintar. Semua yang dilakukan buya, dengan demikian adalah sebuah perjuangan untuk menolong umat Islam. Ini semua nyata-nyata terjadi menimpa umat Islam. Bukan omong kosong.


Maka dari itu, beliau suka sedih dan mengelus dada tatkala umat Islam dengan pemahaman yang berbeda dengannya menghinanya, menghardik, mencemooh bahkan menyingkirkannya. Bagi Buya, itu tidak masalah. Tapi sebagai manusia, saya melihat dia toh sering sedih juga.


Bahkan ada beberapa hal yang sebenarnya Buya ingin tulis dan sampaikan ke khalayak, tapi dia takut nanti menimbulkan polemik. Aku pernah bilang ke Buya, tetap saja suatu saat Buya harus mengatakannya. Ini penting menurutku. “Buya harus terus menyampaikan gagasan-gagasannya.” []




Baca juga