adi sumaryadi |
Penulis: Robert
Azmi
Atorcator.Com -
Tiba-tiba ada pemuda parlente dengan mobil, bergegas menghampiri
lelaki umur hampir setengah abad itu. Ia tersenyum bahagia, lalu langsung
meraih tangan lelaki itu. Dan, “Cuppp!” tangannya ia cium.
“Sam pi yan,
siapa?” gagap sang lelaki mendekati sepuh itu, kebingungan.
“Ini, Saya pak,
Si Anu, murid Bapak di SMP dulu”
“Owalahhhh ....
Kamu tho? Kok berubah? Alhamdulillah sekarang kamu sudah beda, ya?”
“Ah, nggak,
masih sama kok, Pak. Ini saya yang dulu ... Tapi kalau bukan karena tamparan
Bapak dulu, saya tidak akan bisa seperti ini. Terimakasih Bapak telah menampar
saya.”
Dengan mata
berkaca bahagia, lelaki gaek itu menceritakan kisahnya pada hamba. “Lha memang,
dulu dia nakalnya naudzubillah. Tiada satu gurupun yang berani kepadanya.
Akhirnya setelah semua usaha kulakukan, karena gelap mata, tamparan itu jadi
pilihan terakhir. E, Alhamdulillah, hatinya terbuka. Tidak marah padaku, malah
berterimakasih,” sejenak kemudian, dia malah tersenyum geli sendiri, “Aku
dulupun sebenarnya juga agak lumayan juga sih hehe ... tapi berkat itu, sampai
sekarang guru yang kujahili malah aku semakin mendekat dan mengaguminya”.
“Lho, memang
apa jahilnya?” sergahku.
“Waktu dulu
Beliau mengajar Matematika didepan kelas dan dilanjut dengan menguji kami satu
persatu. Ketika giliranku, aku malah ngomong, ‘Halah Pak ... Pak ... Wong
Matematika tidak jadi pertanyaan kubur saja kok dipersulit’”.
Aku seketika
ngakak sekerasnya. Dan maklum akan kejadian setelahnya.
Guru zaman
dulu, kisaran 90-80 kebawah, memang rata-rata bloko sutho; terang-terangan
menyalahkan dan menasehati anak didiknya ketika ada salah. Karena mereka lepas,
tiada perasaan apa-apa dengan orang tua yang telah 100 persen pasrah padanya,
dan yang ada hanya bagaimana agar anak didiknya bisa menjadi lebih baik.
Kalau sekarang,
entahlah. Tapi yang jelas, model pendidikan zaman dulu itu, masih banyak
diterapkan di Pesantren berbasik salaf. Banyak dari para Kyai muda ataupun
sepuh yang langsung mak klek; secara langsung menegur para santri yang tidak
sesuai dengan syariat atau adab: Bawa kitab tidak hormat, ditegur. Dengan guru
tidak hormat, ditegur. Apalagi hal yang jelas-jelas melanggar syariat. Itu
khusus untuk anak didik mereka yang telah dipasrahkan orang tuanya. Untuk
berhadapan dengan masyarakat awam, beda lagi gayanya.
Seperti kemaren
waktu Haflah Akhir Sannah Madrasah Desa kami. Ketika Mbah Yai Muballigh yang
sepuh naik keatas panggung agak tinggi. Karena santri panitia tidak cekatan
untuk mengiring dan memapahnya. Kakak hamba bergegas maju untuk memapah Beliau.
Dan kemudian membisiki salah satu panitia, “Gimana Sampeyan ini?! Mbok yao
adabnya di lakukan cekatan. Lihat Mbah Yai kesulitan langsung tanggap!”.
“Masalah adab,
memang saya agak tidak sabaran, Dik,” katanya padaku, “Sebab dulu ketika ada
salah satu Kyai sepuh datang ke acara. Aku tidak ikut-ikutan berdiri menyalami
Beliau. Waktu Beliau mendekat mengulurkan tangan, sedang aku masih duduk.
Beliau membisikiku, ‘Hei, kalau ada Kyai datang, berdiri!’. Seketika itu Beliau
mengajarkan adab padaku. Dan itu selalu terngiang sampai sekarang.”
Dalam sebagian
riwayat. Hadratus-Syaikh Mbah Yai Hasyim Asy’ari, kok melihat ada santri sowan
berdiri. Dengan tegas langsung berkata, “Duduk!”.
Malah kawan
saya ada yang ektstrim. Ketika ada anak kelas sowan dan meminta salaman. Kok
tidak mencucup tangannya. Dia bilang, “Ulangi! Salaman macam apa itu?! Cucup
ini tangan!” Kalau sudah Cupppppp! “Nah, ini baru benar. Kalau sama Mbah Yai
dan Orangtuamu, harus gitu cara salamannya!”
Ini bukan
tentang Kyai atau guru ingin dihormati. Bukan! Tapi ini tentang pengajaran
tatakrama yang jadi hal paling utama. Aduhai, betapa banyaknya yang pintar dan
cerdas, tapi menyakiti sesama tanpa sadar, sebab lakunya tanpa adab.
Ingatkan?
Dawuh, “Menjaga adab lebih baik daripada mengikuti perintah?!” dimana asal
muasalnya adalah ketika Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallama melarang
sahabat untuk memuji Beliau, tapi malah para karib baginda Nabi SAW. banyak
yang menciptakan Syair pujian. Hingga ada dawuh, “Adab diatas ilmu”.
Jadi, kisah
terbuka hati anak SMP yang kena tampar, sekaligus gurunya yang dulu juga ruwet
diatas. Kalau tidak terpantik dengan adab dan rasa syukur. Apakah ada alasan
lain?
Imam Syafi’i pernah
mencontohkan adab pada orang yang suka memotong pembicaraan. Dan itu langsung
didepan khalayak ramai: “Aku selesaikan dulu masalah ini, baru nanti ke
permasalahan yang kamu kehendaki.” (Tadzkiratus-Sami’ Wal-Mutakallim Lis-Syaikh
Badruddin al-Kannaani as-Syaafi’i Hal: 127 Maktabah Ibnu Abbas)
Wallahu A’lam
bis-Shawaab.