Penulis: Sumanto
Al Qurtuby
Atorcator.Com -
Puasa bukan hanya "ajaran normatif" eksklusif umat Islam
saja. Puasa juga bukan hanya tradisi dan praktik eksklusif umat beragama saja.
Puasa sudah menjadi praktik berjamaah yang lumrah berbagai umat manusia, baik
komunitas agama maupun non-agama, sejak ribuan tahun silam.
Meskipun puasa
dipraktikan dan sudah menjadi tradisi berbagai umat agama dan non-agama, tetapi
tidak semua umat tersebut memiliki maksud, tujuan, dan "aturan main"
yang sama tentang puasa.
Ada yang
berpuasa dari pagi sampai petang. Ada lagi yang berpuasa dari siang sampai
pagi. Ada yang berpuasa tidak makan dan minum, ada yang tidak makan saja tapi
boleh minum, yang lain tidak boleh makan, minum, udud atau ngrokok plus
nggebleh. Pula, ada yang berpuasa untuk menjaga kesehatan tubuh, latihan olah
spiritual, membangun relasi transendental dengan Tuhan, mengasah rasa
kemanusiaan, atau bahkan untuk bertahan hidup.
Hippocrates
yang disebut-sebut sebagai "Bapak Pengobatan Modern" yang hidup
sekitar 400-an SM, misalnya, menganjurkan pasiennya untuk berpuasa karena puasa
adalah metode pengobatan paling ampuh. Ia pernah menulis "To eat when you
are sick, is to feed your illness". Jadi, kalau kita makan saat sedang
sakit itu sama dengan menyuapi si penyakit.
Pernyataan
Hippocrates of Cos itu diamini, didukung, dan dipraktikkan oleh berbagai filsuf
Yunani Kuno lainnya seperti Plutarch, Plato, Aristotle, dlsb. Karena kemampuan
mengobati dari dalam, oleh mereka, puasa disebut sebagai "physician
within".
Bukan hanya
para ilmuwan dan filsuf agung Yunani Kuno saja, sejumlah filsuf, ahli medis,
atau cendekiawan Barat juga mengakui keampuhan puasa. Misalnya, Philip
Paracelsus, pendiri toxicology dan sistem pengobatan Barat modern yang hidup di
abad ke-16 M, pernah menulis "Fasting is the greatest remedy". Pak
Benjamin Franklin, salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat, juga menganggap
puasa, selain istirahat, sebagai praktik pengobatan terbaik ("the best of
all medicines is fasting and resting).
Bukan hanya
untuk pengobatan saja, puasa juga dipraktikkan oleh sejumlah masyarakat suku
dan non-suku yang berpola hidup nomadik (berpindah-pindah) sebagai strategi
terbaik untuk bertahan hidup. Misalnya, puasa sudah lazim dilakukan oleh
berbagai suku di Afrika (seperti Gabbra) untuk bertahan hidup khususnya di
musim paceklik. Konon, suku-suku Israel kuno (Israelites) juga menggunakan
strategi puasa untuk bertahan hidup di saat dikejar-kejar musuh (misalnya
Bangsa Mesir) dan bersembunyi di gua-gua.
Yang lain
mempraktikkan puasa sebagai "olah spiritual". Hampir semua komunitas
agama besar di dunia (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Taoisme, Jainisme,
Baha'i, dlsb) mempraktikkan puasa, secara teori, untuk tujuan menggapai dimensi
spiritual-transendental ini, selain sejumlah tujuan sekunder. Yesus, Muhammad,
Siddharta, Bahaullah, dlsb, mempraktikkan puasa.
Mungkin hanya
Sikh yang tidak "mengajarkan" puasa sebagai "olah
spiritual", kecuali untuk praktik pengobatan saja. Bagi para guru Sikh,
puasa tidak membawa manfaat dan dampak spiritual apapun, selain menyengsarakan
diri.
Akhirul kalam,
dari Jazirah Arabia, saya ingin mengucapkan selamat berpuasa kepada umat Islam
Indonesia khususnya dan lebih khusus lagi teruntuk tetanggaku warga
"negeri jiran" Kertanegara.
"Yang
tidak berpuasa, hormatilah yang berpuasa; yang berpuasa, hormatilah yang tidak
berpuasa." Demikian intisari hasil keputusan Ijtima' Bukan Ulama.
Jabal Dhahran,
Jazirah Arabia