Penulis:
Muhammad Ilham Fadli
Atorcator.Com -
Saya ingin berkisah tentang kebanggaan anak pada ayah mereka.
Pertama tentang
Ning
Sekitar 10
tahun yang lalu, saya membeli buku karangan Ribka Tjiptaning. Buku yang
berwarna merah itu, saya beli di lapak buku emperan di sebuah perhentian Kereta
Api di wilayah Jakarta. Dalam beberapa tahun belakangan ini, nama Ribka sering
diperbincangkan. Tepatnya, dipergunjingkan. Gunjingan politik.
Ribka atau
biasa dipanggil dengan Ning ini, secara blak-blakan mengaku sebagai anak anggota
Partai Komunis Indonesia. Faktanya demikian. Sejarah hidupnya seperti itu. Dan
ia tak merasa menyesal memiliki ayah yang menjadi anggota PKI tersebut.
Baginya,
seorang anak tak boleh menyesali ayahnya. Ini dituangkannya dalam bukunya yang
belakangan dianggap kontroversial, "Aku Bangga jadi Anak PKI".
Saya berulang
kali membaca buku tersebut. Sebuah kisah anak manusia. Sebagaimana kisah
“Biografi Politik Mohammad Hatta” karangan Deliar Noer ataupun buku-buku
biografi beberapa tokoh karangan Ramadhan KH. Ning bercerita tentang
hidupnya yang tragis dan traumatik karena pilihan ideologis orang tuanya.
Dalam buku ini,
Ning tak berkisah tentang komunis. Tak membela komunis. Tak membela PKI. Tapi
ia tak bisa memungkiri, ayahnya seorang anggota PKI. Itu faktanya. Menurutnya,
tak ada yang patut ditutup-tutupi soal dirinya. Sebagai seorang anak, ia merasa
bangga pada orang tuanya. Pada perjuangan orang tuanya. Pada ikhtiar bagaimana
ayah dan ibunya berjuang mendidik dan membesarkan mereka.
Tentang
bagaimana ibunya begitu tegar menghadapi stigma negatif yang luar biasa
terhadap keluarga mereka. Sampai mati, ia akan tetap membawa label bahwa ia
anak anggota PKI.
Lalu, pantaskah
ia membenci ayah dan ibunya hanya gara-gara pilihan ideologis tersebut? Pantaskah
ia menghilangkan catatan-catatan indah yang banyak ditorehkan ayah dan ibunya
kepada ia dan adik-adiknya?
Tentang Prabowo:
Lalu,
belakangan bermunculan kisah Pemberontakan PRRI. Dihubung-hubungkan dengan
Prabowo. Ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo, waktu pemberontakan PRRI
terjadi, merupakan salah seorang elit pimpinan PSI (Partai Sosialis Indonesia).
PSI didirikan oleh Sutan Syahrir.
Orang besar.
Jasanya luar biasa terhadap Republik ini. Saking besarnya, penyair Chairil
Anwar menyarankan untuk “menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta .... menjaga
Bung Syahrir”, dalam puisi "Karawang Bekasi"nya.
Secara
ideologis, PSI dekat dengan Karl Marx dan Friedriech Engels. Soemitro bergabung
dengan PRRI. Kemudian, kisah selanjutnya kita tahu. Buku RZ. Leirissa, “PRRI
Permesta”, menjelaskan dengan teramat detail perjalanan pemberontakan beserta
tokoh-tokohnya ini. Termasuk ayah Prabowo tersebut.
Nah .... atas
nama kontestasi politik, muncul pernyataan, “Prabowo anak Pemberontak!”.
Faktanya memang demikian. Terlepas dari perdebatan akademik mengenai PRRI
tersebut serta keterlibatan Soemitro didalamnya. Katakanlah bila Prabowo
tersebut anak pemberontak, apakah secara genetik akan mewarisi jiwa pemberontak
pula? Apakah Prabowo malu punya ayah pemberontak?
Jawabannya,
pasti tidak. Ia pasti bangga punya ayah seperti Soemitro. Ayahnya orang
hebat. Sejarah tak akan menafikan iyu. Bedanya Ning dengan Prabowo hanyalah,
Ning menulis buku tentang hidupnya, tentang kisah ayahnya, Prabowo ... tidak.
(Sekali lagi),
saya kutip tulisan seorang novelis, “Ada yang tidak bisa kita pilih dalam hidup
ini. Siapa ayah kita, siapa Ibu kita, dari suku mana kita berasal. Maka
alangkah naifnya bila kita menilai dan sinis kepada seseorang terhadap sesuatu
yang tidak bisa dipilihnya!”
Lihat
karakternya
Lihat kualitas
dirinya
Bukan
keturunannya
Kalau bicara
keturunan, yang pasti tak ada diantara kita yang keturunan Batman, Spiderman,
Hulk, Superman ataupun Saruman "Lord of the Ring". Justru bisa jadi
kita ini keturunan Qabil (Kain). Pembunuh pertama di muka bumi ini. Membunuh
saudaranya, Habil (Abel).
Siapa yang bisa
jamin?
"Kalau
kamu ingin mencari ranji silsilah keturunanmu, lengkap kisah hitam putihnya,
masuklah ke dunia politik, niscaya lawan dan kawanmu akan menelusurinya",
kata seorang tokoh besar.
Intinya:
Jangan menghakimi seseorang dari keturunannya.
Demikian
Wallahu a'lam
- Muhammad Ilham Fadli Dosen/Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab Humaniora UIN Padang