Bambang Widjojanto dan Prabowo Dalam Firehose Of Falsehood - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Selasa, Mei 28, 2019

Bambang Widjojanto dan Prabowo Dalam Firehose Of Falsehood

Ilustrasi foto (Tribun)
 Penulis: Ninoy N Karundeng

Atorcator.Com - Banyak yang menanyakan ke Saya. Bambang kok narasinya di Mahkamah Konstitusi (MK) seperti itu? Kenapa? Apakah Kampret (baca: Kampret sebagai entitas) itu memang bodoh? Atau Ratna Sarumpaet itu bahlul bin bodoh? Atau Prabowo, Fadli Zon dan Fahri Hamzah tolol? Jawaban saya: mereka cerdas, khususnya para aktor kubu Kampret. Ya cerdas.

Lalu banyak narasi tentang Syria, Suriah, Syam. Tentang hoaks yang mengoyak Syria. Kabar bohong yang meluluhlantakkan Syria. Roh, ideologi apa selain khilafah yang bisa meracuni mereka, seperti di Indonesia banyak kaum Kampret teracuni?

Kaum Kampret sesungguhnya sangat cerdas. Ratna Sarumpaet cerdas bukan main. Prabowo lebih cerdas lagi – kebablasan bisa jadi delusi. Sebagian ya seperti kita. Kaum waras. Ada kampret yang bodoh, ada yang gampang dibodohi. Kenapa?

Mereka hidup dalam alam ideologi Post Truth. Post Truth diamalkan oleh para kampret. Kaitannya dengan Syria dan Indonesia? Mari kita bedah.

Post Truth sebagai Ideologi

Meminjam kekhawatiran Akhmad Sahal. Dia Saya temui dalam diskusi “Menolak Pembusukan Filsafat” di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (13/2/2019).

“Bahkan kebohongan (hoaks) sulit ditentukan mana yang hoaks dan mana yang bukan. Tidak semudah zaman dulu, tidak ada ukuran, subjektivitas meluas. Maka pada zaman Post Truth, the collapse of expertise terjadi,” papar Akhmad Sahal.

Zaman Post Truth tengah menggoncang dunia. Sejak Trump menampilkan alternative fact, maka gelombang lahirnya ideologi baru Post Truth semakin merajalela di dunia. Fenomena Post Truth menemukan titik didih kulminasi kematangannya, menjadi ideologi baru.

(Para ahli belum mau menerima post truth sebagai ideologi dan dianggap hanya sebagai atribut (adjective), bukan noun (kata benda / konsep ideologi.) Ya. Saya mengajak pembaca untuk menghadapi realita. Mau tidak mau kita berdampingan dengan ideologi Post Truth. Kenapa?

Salah satunya adalah zaman internet dan media sosial. Karena setiap orang bisa menjadi sumber berita. Bukan hanya sumber berita. Tentu ini menyedihkan bagi kaum Old Truth (orang yang mempercayai nilai dan kebenaran lama), karena setiap orang bisa menjadi penentu kebenaran.

Tidak Dibutuhkannya  Ahli (the Collapse of Expertise)

Kebenaran versi Post Truth tidak memerlukan keahlian, expertise dari pakar dan ahli. Pakar dan ahli adalah the guards of values pada zaman Old Truth. Media online dan media sosial sebagai media pembuatan peristiwa, event. Peristiwa sebagai kebenaran. Event sebagai kebenaran. Tidak ada kebenaran abadi berdasarkan values (nilai), aturan, tidak ada common sense. Tidak ada ukuran.

Soal check and recheck dan fact finding, bahkan tentang kebenaran sebagai nilai, hilang di tengah postingan sebagai peristiwa, yang dianggap sebagai kebenaran.

Firehose of Falsehood

Gempuran informasi menjadi penentu pemenang dalam jor-joran perang informasi. Kenyataan terjadi, pencipta kebenaran adalah siapa pun yang menyebarkan lebih banyak postingan, bahan, materi, konten yang bisa disebar. Maka dalam isu apapun siapa yang mampu menyemburkan berita, entah benar atau tidak – ketika kebenaran tidak ditentukan oleh nilai, atau nilai (value) apapun sudah tidak dianggap relevan – akan menjadi penentu kebenaran.

Itulah lahir istilah Firehose of Falsehood. Penyebaran info secara besar-besaran. Info disemburkan seperti selang air pemadam kebakaran, penuh dengan ‘ketidakbenaran’, menurut penganut paham Old Truth.

Post Truth Menyerang Emosi dan SARA

Nah yang menyedihkan, ideologi itu sering digunakan untuk kepentingan merusak. Dan, secara cerdas penganut ideologi ini selalu mengaitkan afiliasi ras, gender, suku, perbedaan politik, agama sebagai bahan hoaks. Post Truth hanya menyasar emosi, mengaduk emosi. Kebenaran dikaitkan dengan emosi, perasaan.

(Perhatikan postingan kaum Kampret, kubu Prabowo selalu narasi negatif. Bahkan mereka menyebarkan hoaks tentang masjid diserang, Islam terancam, anti asing, aseng, kebencian antar etnis, menakut-nakuti.)

Pemercaya ideologi Post Truth ini  menyebarkan hoaks di Syria. Adu domba Syi’ah dan Sunni dilakukan. Padahal penyebarnya adalah ISIS dan Khilafah. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kebenaran mereka adalah Post Truth, bukan kebenaran berdasarkan agama atau nilai apa pun. Persis sebagaimana disampaikan oleh Machiavelli dalam Il Principe.

Di Indonesia, Post Truth menjadi dasar Kampret menyebarkan hoaks. Dan, seluruh narasi mereka penuh kebencian. Penuh narasi adu domba. Penuh kemarahan. Penuh tipu muslihat. Post Truth sebagai kebenaran.

Praktek Post Truth Kampret

Maka dengan entengnya Amien Rais mencla-mencle. Ratna Sarumpaet memfitnah. Eggy Sudjana, Kivlan Zen menyebar kebencian. Soenarko mengajak makar. Ahmad Dhani mencela Presiden Jokowi. Ani Hasibuan menyebar hoaks tentang kematian KPPS penyelenggara Pemilu 2019. Prabowo, Fadli Zon menakuti Indonesia bubar. Ekonomi merosot.

Maka sekarang  bisa paham. Kenapa Bambang Widjojanto menarasikan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan rezim korup? Kenapa dia ngomong ngawur seperti junjungannya Prabowo? Karena ideologi Post Truth yang dianut.

Bagi kaum Kampret, penyembah Post Truth, tidak ada batas kebenaran dan ketidakbenaran. Bahkan agama bagi mereka hanyalah alat. Agama bukan tujuan untuk mencapai kebenaran. Oleh sebab itu mereka suka sekali mengaduk-aduk emosi soal agama. Dan, itu cocok dengan teori dasar ideologi Post Truth.

Lalu bagaimana melawan Post Truth? Memahami dan bersiap hidup dalam alam baru, berdampingan dengan ideologi baru. Post Truth. Tantangan antara Old Truth melawan Post Truth. Apa senjata melawan Post Truth? Kekuasaan dan hukum. Bagaimana kalau penegak hukum jadi bagian kaum Post Truth atau Kampret? Pantas Mahfud MD khawatir terhadap MK.

  • Ninoy N Karundeng Wakil presiden penyair Indonesia, penyair, seniman, dan budayawan