Ilustrasi foto (Tribun) |
Penulis: Ninoy N Karundeng
Atorcator.Com - Banyak
yang menanyakan ke Saya. Bambang kok narasinya di Mahkamah Konstitusi (MK)
seperti itu? Kenapa? Apakah Kampret (baca: Kampret sebagai entitas) itu memang
bodoh? Atau Ratna Sarumpaet itu bahlul bin bodoh? Atau Prabowo, Fadli Zon dan
Fahri Hamzah tolol? Jawaban saya: mereka cerdas, khususnya para aktor kubu
Kampret. Ya cerdas.
Lalu banyak narasi tentang Syria,
Suriah, Syam. Tentang hoaks yang mengoyak Syria. Kabar bohong yang
meluluhlantakkan Syria. Roh, ideologi apa selain khilafah yang bisa meracuni
mereka, seperti di Indonesia banyak kaum Kampret teracuni?
Kaum Kampret sesungguhnya sangat
cerdas. Ratna Sarumpaet cerdas bukan main. Prabowo lebih cerdas lagi –
kebablasan bisa jadi delusi. Sebagian ya seperti kita. Kaum waras. Ada kampret
yang bodoh, ada yang gampang dibodohi. Kenapa?
Mereka hidup dalam alam ideologi Post
Truth. Post Truth diamalkan oleh para kampret. Kaitannya dengan Syria dan
Indonesia? Mari kita bedah.
Post Truth sebagai Ideologi
Meminjam kekhawatiran Akhmad Sahal.
Dia Saya temui dalam diskusi “Menolak Pembusukan Filsafat” di kawasan Cikini,
Jakarta, Rabu (13/2/2019).
“Bahkan kebohongan (hoaks) sulit
ditentukan mana yang hoaks dan mana yang bukan. Tidak semudah zaman dulu, tidak
ada ukuran, subjektivitas meluas. Maka pada zaman Post Truth, the collapse of
expertise terjadi,” papar Akhmad Sahal.
Zaman Post Truth tengah menggoncang
dunia. Sejak Trump menampilkan alternative fact, maka gelombang lahirnya
ideologi baru Post Truth semakin merajalela di dunia. Fenomena Post Truth
menemukan titik didih kulminasi kematangannya, menjadi ideologi baru.
(Para ahli belum mau menerima post
truth sebagai ideologi dan dianggap hanya sebagai atribut (adjective), bukan
noun (kata benda / konsep ideologi.) Ya. Saya mengajak pembaca untuk menghadapi
realita. Mau tidak mau kita berdampingan dengan ideologi Post Truth. Kenapa?
Salah satunya adalah zaman internet
dan media sosial. Karena setiap orang bisa menjadi sumber berita. Bukan hanya
sumber berita. Tentu ini menyedihkan bagi kaum Old Truth (orang yang
mempercayai nilai dan kebenaran lama), karena setiap orang bisa menjadi penentu
kebenaran.
Tidak Dibutuhkannya Ahli (the
Collapse of Expertise)
Kebenaran versi Post Truth tidak
memerlukan keahlian, expertise dari pakar dan ahli. Pakar dan ahli adalah the
guards of values pada zaman Old Truth. Media online dan media sosial sebagai
media pembuatan peristiwa, event. Peristiwa sebagai kebenaran. Event sebagai
kebenaran. Tidak ada kebenaran abadi berdasarkan values (nilai), aturan, tidak
ada common sense. Tidak ada ukuran.
Soal check and recheck dan fact
finding, bahkan tentang kebenaran sebagai nilai, hilang di tengah postingan
sebagai peristiwa, yang dianggap sebagai kebenaran.
Firehose of Falsehood
Gempuran informasi menjadi penentu
pemenang dalam jor-joran perang informasi. Kenyataan terjadi, pencipta
kebenaran adalah siapa pun yang menyebarkan lebih banyak postingan, bahan,
materi, konten yang bisa disebar. Maka dalam isu apapun siapa yang mampu menyemburkan
berita, entah benar atau tidak – ketika kebenaran tidak ditentukan oleh nilai,
atau nilai (value) apapun sudah tidak dianggap relevan – akan menjadi penentu
kebenaran.
Itulah lahir istilah Firehose of
Falsehood. Penyebaran info secara besar-besaran. Info disemburkan seperti
selang air pemadam kebakaran, penuh dengan ‘ketidakbenaran’, menurut penganut
paham Old Truth.
Post Truth Menyerang Emosi dan SARA
Nah yang menyedihkan, ideologi itu
sering digunakan untuk kepentingan merusak. Dan, secara cerdas penganut
ideologi ini selalu mengaitkan afiliasi ras, gender, suku, perbedaan politik,
agama sebagai bahan hoaks. Post Truth hanya menyasar emosi, mengaduk emosi.
Kebenaran dikaitkan dengan emosi, perasaan.
(Perhatikan postingan kaum Kampret, kubu
Prabowo selalu narasi negatif. Bahkan mereka menyebarkan hoaks tentang masjid
diserang, Islam terancam, anti asing, aseng, kebencian antar etnis,
menakut-nakuti.)
Pemercaya ideologi Post Truth
ini menyebarkan hoaks di Syria. Adu domba Syi’ah dan Sunni dilakukan.
Padahal penyebarnya adalah ISIS dan Khilafah. Mereka menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan. Kebenaran mereka adalah Post Truth, bukan kebenaran
berdasarkan agama atau nilai apa pun. Persis sebagaimana disampaikan oleh
Machiavelli dalam Il Principe.
Di Indonesia, Post Truth menjadi dasar
Kampret menyebarkan hoaks. Dan, seluruh narasi mereka penuh kebencian. Penuh
narasi adu domba. Penuh kemarahan. Penuh tipu muslihat. Post Truth sebagai
kebenaran.
Praktek Post Truth Kampret
Maka dengan entengnya Amien Rais
mencla-mencle. Ratna Sarumpaet memfitnah. Eggy Sudjana, Kivlan Zen menyebar
kebencian. Soenarko mengajak makar. Ahmad Dhani mencela Presiden Jokowi. Ani
Hasibuan menyebar hoaks tentang kematian KPPS penyelenggara Pemilu 2019. Prabowo,
Fadli Zon menakuti Indonesia bubar. Ekonomi merosot.
Maka sekarang bisa paham. Kenapa
Bambang Widjojanto menarasikan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan rezim korup?
Kenapa dia ngomong ngawur seperti junjungannya Prabowo? Karena ideologi Post
Truth yang dianut.
Bagi kaum Kampret, penyembah Post
Truth, tidak ada batas kebenaran dan ketidakbenaran. Bahkan agama bagi mereka
hanyalah alat. Agama bukan tujuan untuk mencapai kebenaran. Oleh sebab itu
mereka suka sekali mengaduk-aduk emosi soal agama. Dan, itu cocok dengan teori
dasar ideologi Post Truth.
Lalu bagaimana melawan Post Truth?
Memahami dan bersiap hidup dalam alam baru, berdampingan dengan ideologi baru.
Post Truth. Tantangan antara Old Truth melawan Post Truth. Apa senjata melawan
Post Truth? Kekuasaan dan hukum. Bagaimana kalau penegak hukum jadi bagian kaum
Post Truth atau Kampret? Pantas Mahfud MD khawatir terhadap MK.
- Ninoy N Karundeng Wakil presiden penyair Indonesia, penyair, seniman, dan budayawan