Penulis: Birgaldo
Sinaga
Atorcator.Com -
Sejak kanak-kanak saya sudah berbaur dengan teman dari
beragam suku dan agama berbeda. Tetangga saya muslim Jawa. Setiap sore
menjelang Mahgrib, Pak Sunarto menyetel radio tausiah dari Dai Sejuta Umat KH
Zainudin MZ. Saya ikutan mendengarnya. Wong suara radionya kenceng, apalagi
zaman tahun 80 an yang punya radio itu nggak banyak yang punya.
Kenapa saya
senang dengar tausiah Kyai Zainudin MZ? Ya ceramahnya penuh guyon. Enak
didengar dan ringan mudah dimengerti. Saban dengarnya kasih tausiah pasti saya
tertawa terpingkal-pingkal. Soal sandal jepit yang hilang pas Jumatan misalnya.
Masa kecil saya
banyak bersama teman-teman muslim. Di lingkungan kampung saya dari ratusan
kepala keluarga yang nonmuslim cuma 4 kepala keluarga. Selebihnya muslim Jawa.
Tidak heran
saya bisa mengerti seluk beluk kehidupan muslim terutama muslim NU. Pak Sunarto
tetangga saya sering bikin acara zikir dirumahnya. Dari sela-sela dinding rumah
terdengar suara kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah“
Saat menyebut
kalimat itu kepala mereka seperti geleng-geleng ke kiri ke kanan.
Cukup lama
mereka mengucapkan kalimat itu. Saya tidak tahu jumlah zikirnya. Semakin di
ujung semakin cepat ketukan zikirnya. Herannya, puluhan orang itu bisa serentak
mengucapkannya dan bisa tepat menghitung jumlah zikirnya.
Acara tahlilan
orang yang meninggal dunia juga saya tahu. Ada acara tahlil 7 hari. Acara
tahlil 40 hari. Acara 1000 hari. Sering saya dapat makanan dari keluarga yang
bikin acara tahlilan. Saya duduk manis saja di tikar saat tahlilan berlangsung.
Buku kecil Yasinan jadi bacaan doa saat tahlilan.
Nah pas tiba
bulan puasa, ini benar-benar rezeki nomplok buat saya. Kebayang sahur dan buka
puasa. Biasanya, selepas sahur teman-teman saya keliling kampung. Bangunin warga
dengan kentongan bambu. Anak-anak kampung gerilya pake sarung.
Selepas itu
kami ramai-ramai jalan kaki ke Pintu Gerbang Tol Tj Mulia Medan. Di sana ramai
orang berkumpul. Orang menyebut asmara subuh. Banyak remaja selepas sahur
nongkrong di sana. Akhirnya saling lirik, jadi deh pacaran. hehhee
Saat berbuka,
ini bikin bertambah gizi saya. Semua jenis makanan menggugah selera ada. Dan
hebatnya keluarga Indonesia, menu berbuka itu selalu istimewa.
Bulan puasa
dianggap bulan berkah. Bulan ampunan. Bulan penuh pahala. Saya setuju, karena
di bulan puasa anak-anak seperti saya selalu dapat berkah. Dapat makan enak.
Selepas sholat
Tarawih, biasanya kami bermain di tanah lapang. Kadang main bola api yang
ditendang berkejaran. Bola api ini dari batu apung yang dicelupkan minyak
tanah. Kadang dilempar ditangkap
Jika bosan,
kami bermain sambar elang. Seharian bulan puasa dari subuh sampai malam adalah bermain.
Saya ingat sekali masa-masa puasa zaman saya kecil.
Ustad dikampung
saya dulu sama seperti warga kebanyakan. Kalo berpapasan suka menegur ayah
saya. "Pak Nagaaaa ", tegur Pak Ustad saat lewat depan rumah kami.
Guyub, rukun, damai dan tentram. Begitu suasana harmoni beragama waktu saya
kecil.
Mei 2018 lalu
saya hadir di Pondok Pesantren Motivasi Indonesia, Bekasi. Saya diundang Kyai
Enha, pengasuh pondok. Ada Halaqah Kebangsaan yang juga dihadiri tokoh besar
Prof Dr Nadirsyah Hosen PhD, Guru Besar Monash University Australia. Beliau
juga Ketua PCNU Australia.
Dan juga ada
Rois Syuriah PBNU Kyai Haji Ahmad Ishomuddin. Kyai Ishom sosok pemikir utama
NU. Kyai Ishom bukan saja cerdas, namun punya keberanian yang sulit
dicari tandingnya.
Saat banyak
ulama menolak menjadi saksi ahli untuk Ahok, Kyai Ishom berani menerima beban
itu. Ujungnya, berbulan-bulan Kyai Ishom dihujat, dinista,
diolok2. Disebut dajjal, PKI, antek aseng sudah sarapan paginya. Kyai
Ishom juga menjadi saksi ahli melawan gugatan HTI di PTUN. Saya beruntung
bertemu dengan beliau.
Halaqah
Kebangsaan ini mengambil tema "Khilafnya Penyeru Khilafah".
Saya hadir
bersama Permadi Heddy Setya, Awan Kurniawan, Eko Kuntadhi dan politisi muda
Tsamara.
Di joglo Pondok
Pesantren, Kyai Ishom dan Gus Nadir menjadi bintangnya. Kami duduk melingkar.
Senangnya kalau duduk dengan Kyai NU itu pasti awet muda. Dapat siraman rohani
plus jasmani jadi bugar segar. Gimana gak segar bugar kalo tertawa sepanjang
obrolan. Padahal yang disampaikan itu serius lho.
Saya
membayangkan andai negeriku ini dipenuhi ulama cerdas namun rendah hati
sekaliber Kyai Ishom Gus Nadir dan Kyai Enha alangkah bahagia dan damainya
negeriku. Saya serasa seperti keluarga bersama dengan mereka.
Sore menjelang
pulang, saya ditawari minum air zam zam oleh Kyai Enha.
"Bro
Bir..kemari..ini teguk air zam zam biar sampeyan jadi mualaf", ledek Kyai
Enha.
Saya melangkah
mendekat. Secangkir kecil dituangkan dari teko berwarna keemasan. Lalu saya
teguk. Glek..glek.
"Lho
Kyai..kok tiba-tiba saya dapat bisikan jadi cawapres Jokowi ya..", guyon
saya sambil memasang wajah serius seperti kemasukan roh halus.
Spontan semua
tertawa mendengar saya membalas guyon mualaf Kyai Enha.
"Ya pantes
ente jadi cawapres Jokowi bro..tapi musti muslim dulu", ledek Kyai Enha.
"Kyai..lha
ada satu mualaf seperti Felix aja dah buat negeri ini rame..apalagi kalo saya
mualaf . Bisa bubar negeri ini", balas saya sambil ngakak.
"Saya ini
ngucap sholawat udah sering, tinggal syahadad aja yang belum kyai. Hampir sama
dengan kyai. Sudah hafal Doa Bapa Kami tinggal dibaptis aja", tambah
saya sambil membetulkan peci hitam pemberian Kyai Enha.
"Ya uwis
penjenengan saya kukuhkan jadi Gus Bir ya", ujar Kyai Enha.
"Wah
makasih Yai gelarnya. Saya mungkin satu-satunya Gus yang haram ya...Gus Bir...Bir
kan haram yai", balas saya sambil ngakak.
Semua kami yang
duduk lesehan di joglo Pondok Pesantren Motivasi ngakak pol. Benar2 cair guyub
adem tentrem persaudaraan kami. Meski berbeda keyakinan tapi kami saudara dalam
kemanusiaan.
Begitulah sejatinya
manusia. Kita berbeda bukan untuk merasa benar sendiri, tapi saling melengkapi
untuk tujuan hidup yang baik penuh kebajikan. Semuanya menjadi manusia yang
manfaat bagi sesamanya. Menjadi rahmatan lil alamin.
Salam
perjuangan penuh cinta
Sumber: Facebook Brigaldo Sinaga