Hikayat tentang Kesalihan Ekologis: Umar Bin Khattab dan Burung Emprit - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Selasa, Mei 28, 2019

Hikayat tentang Kesalihan Ekologis: Umar Bin Khattab dan Burung Emprit

Ilustrasi Foto (Suara Islam)
Penulis: Saifir Rohman

Atorcator.Com - Suatu hari saat sedang melintasi sebuah gang di kota Madinah, Sahabat Umar Bin Khattab Ra. berjumpa dengan seorang bocah yang sedang asyik bermain-main dengan seekor burung usfur (sejenis emprit) di tangannya. Karena merasa kasihan, beliau pun membelinya dari tangan si bocah, kemudian melepaskannya terbang ke habitatnya.

Syahdan, pasca beliau wafat, beberapa ulama diberi keistimewaan berjumpa beliau dalam mimpi. Dalam pertemuan yang tak terekam kamera itu, mereka (jumhur) bertanya kabar Umar di alam baka: “Apa yang Allah perbuat terhadap jenengan, wahai Sahabat Umar?” “Allah telah memengampuniku,” jawab beliau. Mereka bertanya lagi, “Amal apa yang membuatmu diampuni? Apakah karena kedermawananmu, atau karena keadilanmu, ataukah karena zuhudmu?”

Di luar dugaan, beliau bercerita, “Saat kalian meletakkanku di liang lahat dan menimbunku dengan tanah, lalu kalian pergi meninggalkanku seorang diri, datanglah dua malaikat yang sangat mengerikan. Saat itulah, akalku membubung, sendi-sendiku gemetar karena ketakukan. Mereka berdua menghampiri dan mendudukkanku, hendak mengintrogasi. Kemudian, aku mendengar seruan tanpa sosok: “Tinggalkan hamba-Ku ini wahai dua malaikat dan janganlah kalian menakut-nakutinya. Sungguh Aku mengasihi dan telah mengampuninya. Sebab semasa di dunia dia pernah mengasihani seekor emprit, maka Aku pun mengasihaninya di akhirat.”

Hikayat ini disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Abu Bakar, atau yang populer dengan al-‘Ushfuri dalam kitab berjudul al-Mawa’idh al-‘Ushfuriyah.

Seorang muslim, selain dibebani kewajiban melakukan ibadah mahdhah (ritual-vertikal), sesuai dengan tugasnya sebagai khalifah ia pun dituntut untuk melakukan ihsan (kebaikan) dan ishlah (perbaikan) di muka bumi. Hal ini juga merupakan konsekuensi logis dari visi Islam sebagai rahmat bagi jagad raya.

Sementara itu, Hasan Amali dalam Mafhum al-Islah fi al-Qur’an al-Karim wa Aliyatu Tathbiqihi min Khilal as-Sunnah an-Nabawiyyah  menegaskan bahwa ishlah juga termasuk kategori ibadah. Menurutnya pula, ishlah harus mencakup seluruh aspek kehidupan manusia secara komperhensip. (Amali, 2012:85)

Maka menjadi lucu tatkala ada segolongan umat yang katanya sedang melakukan ibadah dengan berjihad melawan kelaliman, tetapi saat itu juga, dengan sengaja pula mereka lakukan ifsad (perusakan) terhadap fasilitas publik.

Kembali ke kisah Sayyidina Umar, dalam konteks ini, kita dapat menilai apa yang dipraktikkannya sebagai wujud ishlah atau kesalihan dalam dimensi ekologis. Kesalihan dalam menjaga ekosistem, khususnya melestarikan makhluk hidup melalui cara yang membebaskan, memberikan hak-haknya untuk hidup aman di habitatnya. Tidak seperti mereka yang mendaku sebagai pecinta satwa, tetapi justru secara bersamaan, mereka mengebiri kebebasan satwa dengan membelenggunya dengan rantai atau meringkusnya ke dalam sangkar.  

Sayangnya, kesalihan macam ini jarang dilirik dan tidak populer. Mayoritas masyarakat masih lebih memilih menjadi salih dengan berkali-kali naik haji atau umrah. Atau berbondong-bondong terjun menjadi demonstran, berkoar-koar di jalan-jalan dengan embel-embel jihad. Sementara itu, menyaksikan sungai—sungai terus dicemari, alam dirusak, atau badak mati ditembak untuk diambil culanya mereka diam saja, seakan tidak terjadi apa-apa.

Sekali lagi, apa yang percontohkan Sayyidina Umar mengajak kita untuk tidak egois sebagai umat beragama. Di samping terus berupaya meningkatkan kualitas kehambaan dengan banyak beribadah. Jangan sampai lupa untuk mengimbanginya dengan beribadah menjaga lingkungan. Sebab alam dan lingkungan telah banyak berkontribusi bagi kehidupan manusia.

Dalam hadist yang diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar Rasulullah bersabda:
“Para pengasih akan dikasihani oleh Allah (ar-Rahman). Kasihanilah makhluk yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihani oleh Allah (berikut para makhluk) yang ada di langit.”
Barangkali, rahmat yang akan Allah berikan kepada mereka yang mengasihi sesama hidup tidak hanya dilimpahkan nanti di hari kelak, sebagaimana yang dialami Sayyidina Umar dalam hikayat di atas. Akan tetapi rahmat itu juga bisa dirasakan sejak di dunia, kalau bukan oleh kita, barangkali oleh generasi kita selanjutnya. Bukankah selamat dari fasad (kerusakan) lingkungan juga merupakan rahmat?!


Wallah a’lam

  • Saifir Rohman Santri mahasiswa, penggemar kretek, kopi dan puisi