(foto/nu-or.id) |
Penulis: KH. DR. Miftah el-Banjary, MA
Atorcator.Com - Di dalam Alquran, Allah Swt tidak menjelaskan secara
eksplisit kapan terjadinya malam lailatul qadar itu secara pasti. Allah memang
sengaja merahasiakan turunnya malam lailatul qadar pada setiap tahun di bulan
Ramadhan.
Hikmah dirahasiakan turunnnya malam mulia itu setiap tahunnya
agar setiap orang mukmin bersungguh-sungguh menantikan dan memperolehnya sejak
awal Ramadhan hingga akhirnya.
Ketiadaan informasi yang jelas tentang kapan turunnya malam
keutamaan itu, bukan berarti tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Para golongan ‘arifin, para ulama serta orang-orang mukmin
yang memang terpilih mampu mengenali malam yang bertepatan lailatul qadar
melalui pertandanya.
Mereka dapat mengenali sejumlah tanda-tanda yang memang
secara implisit disebutkan sejumlah keterangan dari hadis-hadis nabi SAW.
Bahkan sejumlah golongan arifin mampu memprediksikan
terjadinya malam lailatul qadar itu berdasarkan pengalaman empiris dan
pengetahuan mukasyafah yang Allah karuniakan melalui kebersihan hati mereka.
Di antara sejumlah tokoh ulama besar yang mampu memperkirakan
terjadinya malam lailatul qadar tersebut adalah Ibnu Abbas, Ibnu Araby Syekh
Abdul, Imam al-Ghazali, Imam as-Syadzili dan sejumlah tokoh sufi lainnya.
Sebagian para ulama ada yang menyatakan terjadinya pada malam
21 Ramadhan. Namun, ada pula sejumlah ulama yang memberikan kepastian
berdasarkan pengalaman spritual mereka.
Ibnu Abbas misalnya, beliau menyatakan tafsiran beliau
terhadap surah al-Qadr bahwa maksud malam lailatul qadar yang dimaksud
terjadinya pada malam 27 Ramadhan.
Sedangkan para kalangan sufi, seperti Imam Ghazali, Ibnu
Araby, dan Imam as-Syadzili malah mampu membuat semacam kaidah rumus prediksi
terjadinya malam lailatul qadar berdasarkan hari dimulainya awal bulan
Ramadhan.
Keterangan kaidah perumusan tersebut dapat ditemui pada
keterangan Kitab Hasyiah Baijury, Tuhfah as-Syarwany wal Jamal dan ‘Inatut
Thalibin.
Ada kesamaan kaidah antara al-Imam al-Ghazali dan Imam
as-Syadzili dalam menentukan malam terjadinya lailatul qadar, menurut
perhitungannya: “Jika awal puasa dimulai hari Ahad, maka ia jatuh pada malam ke
[29], jika pada hari Senin [21], Selasa [27], Rabu [19], Kamis [25], Jum’at
[17], Sabtu [23].”
Sedangkan ada perbedaan dengan prediksi Ibnu Araby yang
menurutnya, “Jika awal puasa dimulai pada hari ahad, maka malam lailatul qadar
jatuh pada malam ke-[27] hari Senin [19], Selasa [25], Rabu [17], Jum’at [29],
Sabtu [21].”
Sedangkan jika terjadinya awal puasa pada hari kamis, Ibnu
Araby tidak memberikan angka kepastian yang jelas, melainkan hanya memberikan
batasan terjadinya pada malam-malam ganjil pada malam sepuluh terakhir bulan
Ramadhan.
Menurut keterangan di dalam kitab Sulamul Futuhat terdapat
perbedaan lagi, “Jika Ahad [27], Senin [29], Selasa [25], Rabu [27], Kamis
[21], Jum’at [29], Sabtu [21].”
Sedangkan menurut keterangan Syekh Ali bin Abdurrahman
al-Kalantani di di dalam kitab Jauhur al-Mauhub menyebutkan jika awal puasa
dimulai pada hari Ahad, maka malam lailatul qadar jatuh pada malam ke- [27],
Senin [29], Selasa [25], Rabu [27] Kamis [21], Sabtu [21], di sana tidak
disebutkan hari Jumat.
Imam Nawawi pun memiliki kaidah yang sedikit berbeda, menurut
beliau pada hari Ahad [29] Senin [21] Selasa [27] Rabu [29] Kamis [25] Jum’at
[27] Sabtu [23].
Menurut Imam Ghazali di dalam kitab Mukasyafatul Qulub, malam
lailatul qadar itu dapat diketahui dari sejumlah pertanda fenomena alam.
Di antaranya pada malam itu, suasana cerah, hening dan
nyaman, tidak dingin dan tidak pula panas, tidak pula hujan, atau gerimis.
Bintang-bintang bersinar gemerlapan. Pada pagi harinya, matahari bersinar agak
redup, disebabkan kepakan sayap malaikat yang turun naik silih berganti hingga
fajar.
Tujuan utama kita beribadah semata-mata mengharapkan
ridha-Nya, bukan semata malam lailatul qadar. Keutamaan lailatul qadar hanya
bonus. Syukur kita jika memperoleh keutamannya.
Hal yang terpenting yang diajarkan oleh Rasulullullah ketika
kita menemui malam mulia itu hendaknya berdoa.
“Allahumma inni as’aluka ridhaka wal jannah, wa ‘azubika min
sakhatika wannar. Ya Allah, aku meminta ridha-Mu dan surga-Mu dan aku
berlindung dari azab api kemurkaan-Mu.”
- KH. DR. Miftah el-Banjary, MA Penulis National Bestseller | Dosen | Pakar Linguistik Arab & Sejarah Peradaban Islam | Lulusan Institute of Arab Studies Cairo Mesir