Ilustrasi Foto |
Penulis: KH. DR. Miftah el-Banjary, MA
Atorcator.Com -
Mengawali pembahasan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk
menyelami sejarah lebih kritis agar pembacaan historis tak sekedar teoritis
yang datar dan membosankan.
Akan tetapi,
bagaimana landasan sejarah itu dapat menjadi landasan berpikir dalam menjawab
persoalan serta dapat memahami realita hari ini, paling tidak dapat meneguhkan
prinsip yang sudah menjadi kebenaran universal.
Untuk memenuhi
keinginantahuan pembaca tentang sejarah Arab pra-Islam, saya tidak ingin
menyajikan tulisan copy-paste dari banyak artikel yang sudah ada, karena saya
ingin sebuah tulisan dari sebuah proses pemikiran yang menyegarkan akal nalar
kekinian.
Baik, saya akan
memulai dari pertanyaan "Mengapa Nabi Muhammad tidak pandai membaca dan
menulis? Benarkah? Apa hubungan dengan peradaban pra Islam?"
Pertanyaan
kritis pernah saya dapatkan dari seorang Master Filsafat Barat, tepatnya pada
bulan Ramadhan satu tahun yang lalu di sebuah Kafe miliknya di Jogja.
Sebuah
pertanyaan yang membuat saya terhenyak. "Benarkah orang Arab itu tidak
memiliki peradaban tulisan? Tulisan yang dikenal Arab hari ini, bukan berasal
dari orang Arab?!!"
Ada dua jawaban
yang delematis!
Jika saya
mengatakan benar, maka secara tidak langsung, saya ikut mengaminkan bahwa
bangsa Arab sebelum Islam tidak memiliki peradaban tertulis.
Sementara
faktanya saat itu budaya sastra berkembang pesat dan mencapai puncak
peradabannya. Bahkan pada momentum tertentu, syair dan puisi diposisikan
sebagai pendongkrak populiritas dan status sosial seseorang.
Uniknya, ketika
itu ada pasar yang dikenal sebagai pasar Ukkaz atau pasar tempat berkumpulnya
para penyair dan pujangga-pujangga Arab.
Di
dinding-dinding Ka'bah tergantung syair-syair terbaik pujangga klasik yang
dikenal dengan sebutan "Muallaqat" atau puisi yang tergantung di
kiswah Ka'bah. Sangat terkenal pada masa era Jahiliyyah, ada 7 puisi terbaik
yang disebut dengan "Mu'allaqat as-Sab'ah".
Jadi, budaya
literasi ketika itu memang sudah ada, tapi hanya segelintir orang saja yang
memiliki kemampuan itu. Ketika itu, bagi kebanyakan masyarakat orang Arab,
menuliskan ilmu pengetahuan dianggap tabu, sebab orang Arab dianggap bodoh,
bila tak memiliki ingatan hapalan yang kuat.
Nah, ketika saya
tidak ikut mengamini bahwa bangsa Arab pra Islam memang tidak memiliki budaya
literasi, bangsa Arab jahiliyyah tidak pernah menciptakan dan menemukan
abjad-nya sendiri membuat saya sanksi sendiri, apakah benar era Jahiliyyah yang
dimaknai sebagai era kebodohan berarti matinya intelektual dan tidak adanya
aktivitas tulis-menulis?
Persoalan ini
tidak sederhana.
Sebab hal ini
nantinya akan mengiring opini untuk mempersoalkan kesucian wahyu al-Qur'an yang
dituliskan dalam bahasa Arab itu sendiri.
Harus dipahami
bahwa kedangkalan orang awam muslim memahami sejarah agamanya sendiri bisa
menjadi celah bagi kaum liberalis untuk mengulik kekurangan dan kelemahan
al-Qur'an untuk dibuat ragu atau disanksikan, meski sebenarnya apa yang mereka
sebutkan kelemahan semua bisa terbantahkan.
Berbicara
tentang fase Arab Jahiliyyah masa pra Islam, kita tidak cukup terfokus pada
masyarakat Arab Jahiliyyah di kota Makkah saja. Kita harus menarik pemahaman
sejarah lebih jauh lagi pada periodesasi awal lahirnya bangsa Arab dari anak
cucu Ismail putra nabi Ibrahim alaihimassalam.
Jauh sebelum
kedatangan suku Arab dari Bani Jurhum yang menempati gurun sahara yang tandus
di wadi (lembah) Bakkah (Makkah), kelompok bangsa Arab menurut Philip K Hitti
terbagi menjadi dua kelompok utama:
• Arab Bai’dah
• Arab Baqiyah;
- Aribah dan
Musta’ribah.
Arab Ba’idah
adalah kelompok orang Arab yang sudah punah seperti bangsa kaum Tsamud, Ad,
Thasem, Madyan, dan Jadis. Arab Baidah telah dimusnahkan oleh Allah sebagaimana
ada banyak kisah di dalam al-Qur'an.
Sementara itu
kelompok yang masih ada sampai saat ini adalah Arab Baqiyah dimana yang
termasuk di dalamya adalah Arab Aribah dan Musta’ribah.
Menurut para
sejarawan, orang Arab Aribah adalah orang-orang Yaman keturunan Qathan dan
Adnan, dari keturunan Adnan inilah nantinya Akan lahir Nabi Muhamad. SAW.
Dari masa ke
masa orang-orang Arab tersebut terus mengalami perkembangan baik dari sisi
sosial dan kebudayaan, hingga pada akhirnya agama islam yang lahir di Jazirah
Arab pun terhubung olehnya.
Nah, dalam
konteks peradaban literasi dan tulis menulis, sebenarnya telah ditemukan pada
kelompok Arab Baqiyah Aribah yang menemukan cara penulisan huruf Hijaiyyah hari
ini, semisal garis lurus dikenal huruf Alif, garis datar melengkung dikenal
Ba', Ta, atau Tsa'.
Namun uniknya,
ketika itu huruf-huruf hijaiyyah sampai masa Rasulullah dan sahabat belum lagi
menggunakan titik, harakat dan tanda baca seperti hari ini.
Sehingga sulit
bagi orang non-Arab membedakannya, sehingga pada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib (656-660 M) memerintahkan muridnya Abu Aswad Ad-Du'aly untuk memberikan
tanda baca pada huruf-huruf Arab.
Dengan
demikian, huruf-huruf Arab memang merupakan hasil karya cipta bangsa Arab
sendiri, bukan sebagaimana dugaan sebagian orang yang menyatakan bahwa orang
Arab tidak memiliki peradaban tulisan.
Pertanyaan serupa,
"Mengapa Nabi Muhammad seorang yang buta huruf? Benarkah? Mengapa seorang
yang dikenal jenius tidak mampu membaca dan menulis? Apa rahasia dibalik
itu?"
Nabi Muhammad
memang terlahir dan tumbuh dewasa dalam keadaan buta huruf atau dalam istilah
Arab lebih dikenal dengan sebutan "al- Ummi".
Sifat
"Ummi" Nabi Muhammad bukan berarti beliau seorang yang bodoh dan
terkebelakang, sebagaimana stigma buta huruf pada masyarakat modern hari ini.
Sifat
"buta huruf" bagi Nabi Muhammad, tidaklah menjadi kekurangan atau
kelemahan beliau, sebab beliau hidup di suatu masyarakat yang memang belum
menghargai dan mentradisikan tulisan sebagai barometer kemajuan berkebudayaan.
Nabi Muhammad
Saw tumbuh berkembang pada masyarakat Arab klasik yang sangat menghargai
kekuatan hapalan sebagai barometer ukuran kecerdasan seseorang. Dan soal
kekuatan hapalan, kecerdasan Rasulullah berkali lipat ganda lebih cerdas dari
orang-orang cerdas yang pernah hidup di zamannya.
Justru,
sekiranya Nabi Muhammad pandai membaca dan menulis, beliau tidak akan
dipercayai sebagai seorang Nabi akhir zaman. Orang-orang Yahudi akan menuduh
Muhammad membaca Taurat dan Injil dan menjiplak atau menirunya.
Namun tuduhan
itu, tidak pernah terbukti. Nabi Muhammad, seorang ummi tidak mungkin
mendapatkan pengetahuan tentang sejarah dan ajaran agama-agama terdahulu, jika
tanpa datangnya bersumber dari Sang Maha Pencipta Allah Rabb Azza Wajalla
melalui wahyu ilahiyyah.
Namun, ada juga
sebagian yang berpandangan bahwa yang dimaksudkan dengan istilah
"al-Ummi" di sini bukan dalam pengertian tidak mampu secara literasi.
Nabi Muhammad Saw. mampu membaca dan menulis Arab, namun beliau belum pernah
membaca atau belajar tentang kitab-kitab agama Yahudi dan Nasrani sebelumnya.
Pandangan ini
ditulis oleh Muhammad Izzat Darwazah dalam kitabnya "Sejarah Kenabian
Dalam Perspektif Tafsir".
Adapun
dalil-dalil naqli yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad memang benar-benar tidak
memiliki kemampuan dalam hal menulis dan membaca kitab-kitab terdahulu
ditegaskan di dalam al-Qur'an, diantaranya:
"Dan
kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur'an) sesuatu Kitab pun dan kamu
tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu
pernah) membaca dan menulis, benar-benar ragulah orang yang mengingkari-(mu)."
[QS. Al-Ankabut 48]
Selanjutnya
kita akan melanjutkan pada pembahasan "Apakah Orangtua Nabi Muhammad
Muslim?"
KH. DR. Miftah el-Banjary, MA Penulis National Bestseller | Dosen | Pakar Linguistik Arab & Sejarah Peradaban Islam | Lulusan Institute of Arab Studies Cairo Mesir.