![]() |
Ilustrasi foto (Islami.co) |
Penulis: Ahmad
Sarwat, Lc, MA
Atorcator.Com -
Tanpa sadar banyak dari kita mengenal Islam lewat jalur peperangan.
Maksudnya pendekatan ilmu agama kita lebih banyak disituasikan dengan
suasana-suasana perang.
Coba saja
ketika kita angkat kisah-kisah teladan buat anak-anak, selalunya kisah
kepahlawanan saja yang dominan. Sahahabat anu dan anu, beliau pahlawan di
perang ini dan itu.
Tidak ada yang
salah sih sebenarnya untuk mengangkat kisah heroik zaman shahabat. Cuma itu
tadi, kok pendekatannya selalu yang berbau perang melulu ya?
Apa iya para
shahabat itu kerjaan cuma perang melulu? Dari 23 tahun hidup mendampingi nabi
SAW, suasana yang diangkat selalu suasana perang, perang dan perang. Terus
damainya kapan?
Padahal ada
banyak kisah shahabat yang lebih humanis, bernilai kesantunan, kasih sayang,
termasuk juga kebaikan meski dengan orang kafir sekalipun. Sayangnya saya kok
merasa kisah kayak gitu agak kurang ya, atau malah tidak ada sama sekali.
Padahal pengalaman
ketika menulis 18 jilid Seri Fiqih Kehidupan, banyak sekali dalil-dalil dalam
ilmu fiqih yang merujuk kepada kasus atau kisah para shahabat, yang tidak
selalu urusan perang melulu. Bahkan dalam kisah perang pun, saya mendapatkan
banyak potongan kasus yang humanis.
Kisah Abul Ash
dan Zainab puteri Rasulullah SAW
Misalnya kasus
melelehnya air mata nabi ketika diberikan kalung emas sebagai tebusan atas
tawanan perang Badr. Tawanannya sendiri adalah menantu Beliau SAW, suami dari
puteri tercinta.
Rupanya kalung
itu punya cerita, aslinya kalung itu milik Khadijah radhiyallahuanha. Diberikan
kepada puteri mereka, Zainab binti Rasulullah SAW. Lalu Zainab menikah dengan
suaminya, Abul Ash bin Rabi', yang saat itu memang belum masuk zaman kenabian.
Zainab ikut
masuk Islam, tapi tidak dengan sang suami. Dia tetap dengan agama nenek moyang
dan memilih untuk menetap di Mekkah. Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, Abul
Ash dan Zainab tetap tinggal di Mekkah.
Tahun kedua
hijriyah, Abul Ash malah ikut dalam Perang Badr dan berada di pihak musyrikin
Mekkah. Dia ditangkap dan dijadikan tawanan perang. Lalu untuk kebebasannya,
harus ada harta tebusan.
Ya,
tebusannya berupa kalung emas dengan batu onix zafar, yang dulunya milik
almarhumah Khadijah radhiyallahuanha, istri Rasulullah SAW. Rupanya dari
Mekkah, Zainab puteri Rasulullah SAW lah yang mengirimkan kalung itu sebagai
tebusan pembebasan suaminya, dikirimkan langsung kepada ayahanda sendiri.
Kalung itu
asalnya adalah pemberian ibundanya sendiri, Khadijah radhiyallahuanha,
diberikan kepada Zainab ketika waktu itu menikah dengan Abul Ash. Dan kalung
tebusan untuk Abul Ash itulah yang bikin air mata Nabi SAW meleleh. Teringat
Beliau akan masa lalu hidup indah bersama Khadijah istri tercinta, yang kini
telah mendahului di alam barzakh.
Abul Ash
kemudian dibebaskan oleh Rasulullah SAW dan dipulangkan ke Mekkah dengan
disuruh bawa kembali pulang kalung kenangan itu kepada Zainab sang puteri. Abul
Ash dibebaskan tanpa tebusan oleh Rasulullah SAW.
Kisahnya masih
panjang sih, tapi saya kudu selesaikan dulu sampai disini. Pokoknya nanti
akhirnya Abul Ash sang menantu masuk Islam juga. Dan oleh Nabi dipertemukan
kembali dengan istrinya, Zainab binti Rasulullah SAW.
Meski sempat
terpisah aqidah, agama dan kota tempat tinggal selama bertahun-tahun, namun
pasangan itu telah berkumpul kembali menjadi suami istri. Tidak ada nikah
ulang, karena ikatan pernikahan mereka tidak pernah terputus secara hukum
syariah.
Sumber: Facebook Ahmad Sarwat,
Lc, MA
- Ahmad Sarwat, Lc, MA Pendiri Rumah Fiqih Indonesia (RFI), Direktur Sekolah Fiqih, dan Penulis 18 Seri Fiqih Kehidupan