Mengenang Ramadan di Desa - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

06 Mei 2019

Mengenang Ramadan di Desa

 
Alif.id
Penulis: Dimas Supriyanto

Atorcator.Com - Setiap kali memasuki hari besar keagamaan tiba, saya kembali terkenang ke masa kanak kanak. Selain Lebaran, perayaan Idul Fitri, juga saat bulan Ramadan tiba. Bulan puasa.

Masa kanak kanak yang romantis di saat menahan lapar dan harus di siang hari tergambar lagi setiap kali Ramadan datang.

Saya dibesarkan di kampung. Meski tinggal di pinggir jalan aspal di jalur selatan Jawa Tengah, kota kecamatan tempat saya tinggal hanya perlintasan dan selewat tiga rumah ke belakang dari tempat saya tinggal, sudah masuk suasana kampung. Sehingga saya menjalani kehidupan sebagai orang kampung.

Aliran listrik belum masuk pada saat saya masih kanak kanak. Sebagian rumah diterangi cahaya petromak - termasuk rumah saya - tapi sebagian besar lagi menggunakan lampu minyak seadanya, pelita (senthir), lampu tempel (teplok). Atau lampu gantung bukan listrik.

Listrik mengaliri desa saya setelah saya pindah ke ibukota, pada akhir tahun 1975.

Saya menjalani masa kanak kanak yang indah dan bahagia. Ketika melihat foto salon suasana desa dan saya mencomotnya di Google - maaf kepada pemilik karya dan hak ciptanya - saya terkenang lagi masa kanak kanak.

Kami biasa mandi di kali dan diam-diam minum seteguk dua teguk air. Main di kuburan, mengumpulkan buah buah yang jatuh dari pohon di sana atau berkumpul di pekarangan, dengan rimbun rumpun bambu, untuk main perak umpet, wayangan, kelereng, egrang, dan macam macam mainan sesuai musim.

Dalam suasana dan atmosfir seperti di foto foto atas itulah -  saya menjalani masa kanak kanak saya. Dan saya kira demikian generasi kami di era 1960-70an dan sebelumnya.

Anak anak di kampung saya dilatih puasa setengah hari. Namun banyak yang gagah berani puasa sampai beduh tiba. Saya salahsatunya.

Berkumpul di mushala setelah buka puasa untuk shalat tarawih adalah kegiatan rutin. Menjelang magrib anak anak berkalung sarung, berebut ambil air wudhu dengan sendal bakiak, lalu nyanyi dan puji pujian dalam bahasa Jawa, menjelang bedug magrib tiba. Lagu "Tombi Ati" yang dipopulerkan oleh Opick adalah nyanyian menjelang maghrib bagi anak anak di kampung kami dulu.

Saya terkejut ketika di ibukota, di tanah Betawi, sembarang bocah dan sembarang orang bebas adzan. Di kampung saya yang boleh adzan hanya mereka yang memiliki suara bagus, indah merdu dengan lafal yang benar. Padahal masa itu belum ada speaker.

Menjelang tengah bulan perbincangan di antara anak anak di kampung kami adalah baju lebaran. Sudah dibelikan? Apa modelnya? Apa warnanya? Beli di pasar mana?  Itulah yang paling sering ditanya. 

Di antara yang mengobrol dan bergosip (ndopok) sebagiannya ada yang diam saja, mendengarkan, karena sudah tahu tak akan punya baju baru. Atau hanya dapat "lungsuran" (baju bekas pemberian). Karena dari keluarga yang tidak mampu.

Jarang sekali kanak kanak masa itu dapat lebih dari satu stel - khususnya teman teman sepermainan saya.  Dapat baju baru satu saja sudah bersyukur.

Meski demikian, kami bahagia. Setidaknya saya masih mengenangkan masa masa itu indah, nostaligis dan bahagia.


Semoga Anda semua bisa melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan 1440 Hijriah ini dengan khidmad, khusuk dan mendapatkan pencerahan. Amin.