![]() |
Ilustrasi Foto (Moh. Syahri) |
Penulis: Moh. Syahri
Atorcator.Com -
Mungkin sudah ada yang punya rencana usai pengumuman kemenangan
pemilihan umum baik dari pasangan calon legislatif maupun eksekutif untuk
mensyukuri kemenangannya. Dan hal itu biasa terjadi di pedesaan dalam pemilihan
kepala desa.
Ada cerita menarik yang patut kita renungkan bersama dari Pak Djohan Effendi yang mana
beliau pernah menyaksikan seorang temannya yang dikenal sebagai santri yang
baru saja dilantik menjadi menteri sekaligus mengadakan syukuran besar-besaran
di rumah dinas menterinya. Pak Djohan waktu itu datang menghadiri undangan,
tapi beliau tidak masuk karena saking membludaknya para undangan yang hadir.
"Baru jadi menteri kok syukurannya sudah sehebat ini ya?" Tanyanya
heran, sambil geleng-geleng kepala.
Di dalam benak
Pak Djohan ingin mengatakan bahwa, belum bekerja apa-apa, kok sudah seheboh itu
pestanya, tugas menteri itu kan berat apa bisa menjamin pekerjaan lima tahun ke
depan bisa baik semua dan tuntas. Kadang, kita memang terlalu euforia menyambut
sebuah kemenangan sampai lupa akan esensi dari kemenangan itu sendiri. Bukankah
menjadi menteri harus bersikap kesatria bukan justru heboh berpesta ria.
Seharusnya lebih banyak persiapan menghadapi badai karena jabatan bukan hanya
sekadar pemegang kekuasaan tetapi juga pengendali segala kerusakan.
Menurut Pak
Djohan, esensi syukur itu seharusnya ditangkap hayati dalam konteksnya yang
lebih rendah hati, lebih mawas diri, lebih korektif dan instrospektif. Artinya
pesta atau syukuran itu sebaiknya dilakukan ketika sudah menjalankan
tugas-tugas kenegaraan dengan baik. Dengan demikian, menunjukkan tanda terima
kasih atas bimbingan Allah dan segala pertolonganNya sehingga bisa menjalankan
amanah dengan baik. Bagaimana pun juga, syukuran itu memang sebaiknya dilakukan
di akhir jabatan bukan di awal jabatan.
Boleh, jika itu
hanya sekadar mensyukuri atas keterpilihannya. Bukankah anugerah itu tidak
semata-mata jabatan, tetapi juga kesempatan dan kelapangan dalam menjalankan
tugas-tugas berat yang diembankan kepada kita, baik itu melalui jabatan atau
tugas keseharian kita? Berpestalah sebagai bentuk rasa syukur dengan cara-cara
yang sederhana.
Syukuran yang
sederhana tentu akan meminimalisir rasa sombong, saling gagah-gagahan. Tentu
yang paling penting adalah dibalik kemenangan ada orang yang kalah yang
seharusnya dihormati.
Oleh karenanya, menjadi perhatian serius bagi kita semua apa yang dikatakan pak Djohan bahwasanya "Syukuran besar di tengah orang kesusahan cari makan adalah kepongahan". Mengurus kebutuhan orang banyak tidak bisa diberikan kepada orang yang memiliki sifat sombong. Sebab, akan menjadikan kepentingan pribadinya lebih diprioritaskan daripada kepentingan orang lain.
Syukuran
politik yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat kadang bukan karena
ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan tetapi karena adanya hantu
kegengsian yang terus dipelihara dan harga diri yang terus ingin dipandang
sebagai super hero. Jadi syukuran itu bukan sesuatu yang sulit untuk
ditafsirkan, aromanya sudah sangat politis demi gengsi sosial.
Di
tengah-tengah penentuan kemenangan politik yang sangat krusial ini berbagai
macam dinamika politik sudah terjadi akan lebih elok jika pesta kemenangan
dirayakan dengan tanpa harus menyimpan dendam, tanpa harus bersikap berlebihan
dengan menghambur-hamburkan harta kekayaan. Apalagi disertai dengan berbagai
antraksi hiburan yang gila-gilaan.
Menyikapi
kemenangan dengan sederhana, penuh etika, akan memberikan kesan baik bagi
mereka yang belum meraih kemenangan. Ambillah misal Anda didukung oleh ulama,
para kiai, dan tokoh masyarakat sebagai pemenang tetapi perlu diingat bahwa
kekalahan mereka juga didukung oleh ulama yang patut dijaga perasaannya.
Wallahu ‘alam
- Moh. Syahri Founder Atorcator dan Pimpinan Redaksi Atorcator | Pernah Nyantri di Pondok Pesantren Darul Istiqomah Batuan Sumenep Madura | Kontributor penulis esai 30 terbaik Nasional "Inspirasi Indonesia", dan kontributor buku "Dedikasi Nyata Untuk Negeri"