Ilustrasi foto (Jokowi dan Prabowo) |
Penulis: Ninoy Karundeng
Atorcator.Com - Yang membuat Jokowi menang melawan Prabowo, salah satunya
adalah soal filosofi. Filosofi mendasari cara berpikir. Cara berpikir
memengaruhi tindakan. Tindakan strategis harus didasari filosofi yang pas. Nah,
dalam kaitan dengan strategi Pilpres 2019 tampak sekali. Prabowo memegang
kepala ular, Jokowi pegang ekornya.
Politik itu berbisa. Politik itu kejam. Licik. Jahat. Itu
asumsi pandangan subjektif. Padahal politik bisa jadi alat untuk kebajikan.
Alat untuk mencapai kemaslahatan rakyat. Aristotle memandang aktivitas politik
sebagai pelaksanaan nilai yang dijunjung tinggi (virtue). Jadi politik adalah
alat perjuangan untuk kebaikan bersama, negara, bangsa, kota, desa, keluarga.
Prabowo memahami politik secara dangkal. Dia melihat politik
seperti Mao. Menurut Mao Zedong, political power grows out of the barrel of a
gun. Kekuatan politik tumbuh dari penggunaan senjata. Kekerasan. Demonstrasi.
People power. Para penasihat politik dia menerapkan persaingan politik sebagai
perang. Amien Rais memrovokasi bahwa Pilpres 2019 adalah Perang Badar.
PKS, Mardani Ali, Neno Warisman, HTI, dan khilafah terus
melakukan agitasi, propaganda, dan pengibulan. Langkah yang membuat PKS menjadi
sarang, karena dukungan dari khilafah, FPI, Islam radikal, Ikhwanul Muslimin,
Wahabi, menyatu dalam bendera PKS.
Dalam tim Prabowo diisi oleh banyak orang yang berpikiran
nyleneh, bahkan sengkleh. Pilpres 2019 digunakan sebagai alat untuk mencari
keuntungan segelintir orang, di atas penderitaan banyak orang. Maka muncullah
tuduhan dari Andi Arif tentang Kivlan Zen sebagai orang yang pengepul organizer
demo. Pembuat bisnis demonstrasi. Persis sama dengan pendapat Smedley D.
Butler, dalam War Is A Racket (1935).
Maka tak mengherankan Prabowo diisi oleh kaum radikal.
Seperti yang dikatakan oleh Thomas Hobbes (1588-1679). Bahwa the condition of
man is a condition of war. Manusia yang selalu dirasuki kondisi mau perang.
Pikiran menyerang. Makanya dia meledak-ledak. Ngawur.
Dalam strategi kampanye pun, Prabowo memraktikkan perkataan
Niccolo Machiavelli. A prudent ruler cannot, and must not, honor his word.
Pemimpin yang maju tidak bisa, dan tidak boleh, menghargai (mempercayai)
perkataannya sendiri. Maka tak mengherankan kebohongan demi kebohongan, satu
hoaks dan hoaks lain, fitnah satu muncul lalu fitnah yang lain disemai. Karena
baginya tidak perlu ada yang dipercayai.
Dalam politik sebagai ular, Prabowo memegang kepala ular.
Ular yang dipegang kepalanya menggeliat, melilit, mengibaskan badan dan
ekornya, bahkan menggigitnya. Dia memegang kepalanya, (dan tidak menjadikan
dirinya sebagai kepala). Hanya orang yang tidak paham karakter ular (politik),
yang memegang kepala ular. Ular yang dipegang kepalanya akan menggeliat dan
menggigit.
Kalangan Islam radikal FPI, HTI, khilafah, 212, Ikhwanul
Muslimin, dan Wahabi pun menggigitnya. Kini, satu per satu pendukungnya pergi.
Kabur. PKS, PAN, Demokrat kabur. Mereka menggeliat di dalam koalisi. Ekor dan
badan ular yang tak terurus, karena kepalanya dipegang, mengibaskan diri. Unjuk
kekuatan mengoyak tuannya.
Sedangkan Jokowi melihat dengan cara yang berbeda. Jokowi
melihat politik sebagai sebuah seni (art) untuk menyatukan kesamaan
(association) yang dimiliki banyak orang. Dalam bahasa Johannes Althusius (1557-1638),
politics is the art of associating men. Bahwa politik adalah seni merangkul,
menyatukan banyak orang (yang berbeda).
Jokowi paham cara yang benar memegang ular (politik). Dia
pegang ekor dan badannya. Sama dengan pemahaman Johannes Althusius tadi. Dia
meyakini politik sebagai kegembiraan. Pilpres 2019 sebagai pesta demokrasi,
perayaan kegembiraan.
Dia merangkul semua pihak, untuk mencapai tujuan, virtue –
nilai-nilai kebaikan. Maka, badan dan ekor dipegangnya, ular (politik) itu bisa
dikendalikan. Ular bisa bermanuver menggigit orang lain dengan bebas.
Itulah penyebab kekalahan Prabowo, dan kemenangan Jokowi.
Semua bermula dari pola pikir.
- Ninoy Karundeng Wakil presiden penyair Indonesia, penyair, seniman, dan budayawan