Fb-Muhammad Al-fayyadl |
Penulis: Muhammad
Al-Fayyadl
Atorcator.Com -
Meskipun baju mereka hitam-hitam, hati mereka putih. Hati mereka
putih, karena aspirasi mereka cuma satu: dunia tanpa penindasan dan
kesewenangan.
Mereka
anak-anak buruh dan (sebagian) anak-anak kelas menengah kota yang nuraninya
kecut oleh dunia yang tidak adil dan timpang. Sebagai perlawanan atas sikap sok
suci kaum berpakaian putih (kalangan agamawan, pengusaha, politisi) dan sikap
abu-abu kaum aktivis, mereka memilih warna hitam. Juga sebagai alarm
peringatan: mereka akan terus hadir sebagai hantu bagi kapitalisme dan
Negara-Kapitalis dan aparatnya.
Keliru menyebut
mereka anti-polisi. Yang mereka lawan adalah aparat Negara-Kapitalis. Dan
kepolisian hari ini di Indonesia, di banyak tempat, kerap menjadi alat
pengamanan kelas pemilik modal.
Keliru juga
menyebut mereka ateis. Para filsuf mereka di Eropa memang punya motto, "Ni
Dieu ni MaƮtre" (No God No Master). Tapi di Indonesia, Anda tak perlu kaget
kalau menemukan spanduk-spanduk yang mereka bentangkan berbunyi: "Membela
Buruh adalah Jihad". Atau ungkapan-ungkapan patriotik khas kaum agamawan.
Karena yang mereka lawan adalah agama yang menindas, bukan agama itu sendiri
sebagai suatu spiritualitas (soal ini bisa jadi perdebatan filosofis yang
panjang).
Mereka ada
banyak faksi. Keliru menyebut mereka tunggal dan seragam. Hanya sekelompok
faksi kecil dari mereka -- di Indonesia -- yang memakai kekerasan sebagai
metode. Faksi ini terkadang sektarian, seperti kelompok yang kemudian
teridentifikasi -- melalui dokumen yang beredar beberapa minggu kemudian --
sebagai faksi "Mawar Hitam", yang pernah membakar pos polisi di
MayDay tahun kemarin di Jogja dan manuvernya membuat lumpuh gerakan perlawanan
tolak bandara. Kurangnya koordinasi dan sikap "semau gue" oleh faksi
sektarian ini menjadi bumerang bagi gerakan. Namun, tidak semua kaum muda
anarko demikian. Sebagiannya lagi mengambil aksi jalanan yang cukup solid
dengan elemen lain, sebagian lain menjadi penggerak solidaritas-solidaritas
kemanusiaan di area-area konflik. Ya, itu karena mereka anak-anak muda yang
berani dan militan. Mereka tidak terbebani senioritas. Prinsip harga mati bagi
kaum anarko adalah egalitarianisme radikal. Kesetaraan semua manusia tanpa
kecuali.
Apa yang
disebut "vandalisme" lalu menjadi politis di sini. Bagi mereka, itu
seni jalanan. Cara membuat jalanan menjadi panggung teater bagi aksi politik.
Yang mereka corat-coret biasanya hal-hal yang mereka persepsi sebagai properti
kaum kapitalis, properti aparat Negara-Kapitalis, atau tempat-tempat publik
yang sengaja dinetralkan supaya apolitis (kampus, jalan raya, dll). Tak pernah
mereka merusak properti rakyat miskin, merusak masjid, atau merusak fasilitas
umum yang dipakai secara demokratis.
Bila orang
lebih banyak bicara vandalisme kaum anarko Indonesia, orang lupa bahwa kaum
pemodal jauh lebih merusak: gunung mereka tambang, lahan-lahan rakyat digusur,
udara bersih dicemari. Ongkos membersihkan coretan itu tak seberapa, dibanding
memulihkan bekas tambang yang puluhan tahun lamanya, kerap dengan korban nyawa.
Publik umum
sering tak adil. Atau tak mau belajar memahami. Kerap orang mengidolakan
ketertiban dan keamanan. Padahal ketertiban dan keamanan itu semu, karena
dibangun di atas "bara dalam sekam" marjinalisasi dan kekerasan
sehari-hari. Betapa "mindset" polisionil dan militeristik kerap
tertancap tanpa sadar dalam penyikapan spontan atas perilaku anak-anak muda
anarko ini. Mereka dianggap layak dipermalukan, dihukum, dilecehkan. Kegeraman
yang lebih sulit ditunjukkan orang terhadap koruptor sekalipun.
Andai Anda
geram dan buru-buru mencap mereka "perusuh", "tukang onar",
atau "provokator", muhasabah dulu, apakah Anda juga geram melihat
koruptor atau pemodal yang bisnisnya merugikan masyarakat? Kalau belum, berarti
ada yang salah dengan reaksi spontan Anda, karena terjebak dalam ekstremitas
yang berat-sebelah. "Adillah sejak dari pikiran", kata Pram.
Selamat
berpuasa, sebentar lagi. Tahan amarah. Selain agar tak cepat lapar, simpan
amarah Anda untuk membangun sesuatu yang lebih penting setelah Hari Raya:
membangun blok politik alternatif. Marahlah kepada ketidakadilan, korupsi,
kesewenangan, dan berbagai "fasaad fil ardh" akibat akumulasi
kekuasaan dan modal. Bukan kepada anak-anak muda seperti para anarko.