FB-Ahmad Husain Fahasbu |
Penulis: Ahmad Husain Fahasbu
Atorcator.Com - Dua hari ini,
timeline facebook saya ramai dengan apa yg disebut dengan "ijtima
ulama". bagi saya mungkin juga teman-teman yang lain istilah ini tidak perlu
dipersoalkan. karena "ijtima" yang bermakna berkumpul, dan makna
lengkapnya "berkumpulnya para ulama" adalah hal yang positif.
Lebih-lebih
"perkumpulan ulama" itu membahas hal-hal yg krusial yang menyentuh
langsung kehidupan manusia, misalnya bagaimana pandangan islam terhadap kaum
disabilitas, bagaimana islam memandang revolusi industri 0.4, bagaimana
pandangan islam terhadap para korban konflik agraria yang lahan produktifnya
dirampas, bagaimana islam memandang maraknya pelecehan dan eksploitasi terhadap
tubuh perempuan dan lain sebagainya. kalau pembahasannya begini, saya acungi
jempol. Dahsyat!
Sebelum
melangkah lebih jauh, penting dijelaskan siapa itu ulama? Dan apa syarat-syarat
seorang disebut ulama? Term "ulama" adalah bentuk jamak/plural
dari akar kata "alim" yg dalam bahasa Indonesia diterjemahkan,
"orang yang ahli/paham/mengetahui". Maka dari keterangan ini, ibu Sri
Mulyani yang menteri keuangan itu adalah ulama. karena ia adalah orang yang
tahu/ahli terhadap masalah ekonomi dan keuangan. Steven Hawking, Albert
Eisnten, dan para Saintis barat adalah ulama. Karena mereka adalah orang yang
ahli, mengetahui, pakar, sesuai masing-masing bidang.
Hanya saja,
menurut al-Imam al-Nawawi, seorang fakih (ahli fikih) mazhab Syafi'iyah, dalam
mognum opus-nya Minhaj al-Thalibin menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulama
adalah mereka yang memiliki kualifikasi terhadap ilmu-ilmu keislaman seperti
tafsir, hadis, fikih. itu saja. sementara orang yang ahli qiraah, ahli sastra
arab, dokter, ahli ilmu kalam bukan termasuk ulama (al-Ulama ashab ulum
al-Syar'i min tafsir wa hadis wa fiqh la muqri' wa adib. selengkapnya lihat
al-Minhaj karya al-Nawawi bab Washaya)
Guru saya KH.
Afifuddin Muhajir sering menjelaskan bahwa ulama itu adalah orang yang padanya
terdapat ketakwaan dan keilmuan yang mendalam (man jama'a bayna al-Khasyah wa
al-Fiqh). Kesimpulan ini sebenarnya diilhami dari penggalan surat Alquran surat
Fathir ayat 28.
انما يخشى الله من عباده العلماء
"Hanya
saja hamba-hamba yang takut kepada Allah Swt. adalah mereka yang ulama".
Perpaduan
keilmuan dan ketakwaan adalah sebuah keharusan seseorang mendapat gelar ulama. Karena orang berilmu tanpa ketakwaan akat menjadi jahat, sementara bertakwa
tanpa ilmu adalah sesat. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyebutkan barang
siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah ketakwaanya maka ia semakin
jauh dari Tuhannya.
Lantas siapa di
Indonesia yang memiliki dua kualifikasi ini, ketakwaan dan keilmuaan. Saya
berhusnuzzan, Kiai Zuhri Zaini memiliki kualifikasi ini. Siapa Kiai Zuhri
Zaini? Beliau adalah pengasuh Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Pesantren Nurul
Jadid adalah pesantren besar yang santrinya lebih dari "7 juta" orang. Bahkan mungkin jumlah ini sangat sedikit dibanding jumlah yang sebenarnya. Bukan hanya keren dalam angka, pesantren ini juga dikenal karena kualitasnya. Dari pesantren ini lahir, kiai, guru, dosen, politisi dan orang-orang yang
bermanfaat kepada negeri. Universitas Nurul Jadid adalah simbol kemajuan
pendidikan di pesantren ini. Padahal secara usia, pesantren ini belum mencapai
satu abad, tetapi oleh kementrian Riset dan Tekhnologi, Pesantren yang
didirikan oleh KH. Zaini Munim ini diperkenankan mengelola sebuah universitas
bergengsi.
Ketika di luar
kebencian terhadap orang china menguat, pesantren ini setiap tahun mengirim
santrinya ke sana untuk belajar dan mencari ilmu Allah. Kemampuan bahasa
mandarin para santri sama seperti mereka mampu berbahasa Indonesia. Jadi tak
pernah terdengar dari pesantren ini, ganyang china, bunuh china dan lain
sebagainya. Mereka terus diajari bahwa carilah ilmu walau ke negeri China.
Kembali ke soal
pengasuhnya, Kiai Zuhri Zaini. secara keilmuan beliau adalah orang yang tak
perlu diragukan. Mahfudz MD dalam sebuah cuitan di Twiter menyebut bahwa di
Jawa Timur ada dua kiai yang walaupun tidak kuliah ke arab dan ke barat tetapi
mampu menulis makalah ilmiah dan buku dengan baik. Dua kiai itu adalah Kiai
Afifuddin Muhajir Situbondo dan Kiai Zuhri Zaini Probolinggo.
Dari segi
katakwaan, akhlak dan sopan santun ini yang lebih masyaAllah. Beliau tidak
hanya membaca kitab tasawuf untuk para santri. tetapi ia adalah
"laboratorium tasawuf" yang bisa dirujuk oleh para santri. Kesederhanannya, luar biasa. Beliau sederhana dalam ucapan, tindakan dan
pakaian.
Coba simak
ketika beliau berpidato atau memberi ceramah, pembawaanya datar, tenang, sejuk,
sederhana dan tidak teriak-teriak. Intonasi yang sederhana dan tubuhnya yang
ringkih, mengecoh para pendengarnya bahwa ia adalah seorang kiai yang alim dan
mengasuh pesantren besar.
Dari segi
tindakan, beliau sederhananya juga masyaAllah. Kalau berjalan selalu merunduk. Baru ketika berpasasan dengan orang lain ia menaikkan pandangannya. Lalu lebih
dahulu melempar senyum kepada orang lain tersebut. Ini bukan katanya-katanya
(qila wa qala), tetapi dialami oleh saya sendiri.
Beliau juga
mengajar di Ma'had Aly Situbondo, tempat saya belajar. suatu waktu, saya sedang
buru-buru ke kamar mandi, hanya mengunakan sarung, kaos dan handuk yang saya
pegang, ketika baru turun dari tangga, beliau berjalan dari arah yang
berlawanan. Tiba-tiba beliau memandang saya dengan tatapan sejuk dan
melemparkan senyum. Saya seperti disambar petir. Ini kiai egaliternya sundul
langit begini!
Salah seorang
senior saya pernah bercerita, ketika mau ngisi pengajian sebagaimana biasa ia
menunggu beliau keluar dari wisma dosen, tujuannya adalah untuk membawakan
kitabnya. Namun, ketika kitab itu diminta, beliau berujar, tikkhel tak usah,
saya kuat (bahasa madura, terjemahnya; sudah tak perlu, saya masih kuat)
Terus,
senior saya tersebut berjalan di belakang kiai. Ketika mendekati pintu masuk,
kiai tiba-tiba berhenti dan menoleh lalu mempersilahkan senior saya itu masuk
ruang kuliah terlebih dahulu. Senior saya itu kemudian salting, bingung
sekaligus malu.
Sejauh dalam
pandangan saya, Kiai Zuhri ini kalau pergi ke undangan atau sebuah acara, ia
tidak ditemani siapa-siapa, tidak dikawal khaddam yang jumlahnya puluhan
apalagi sampai pakai pawai. Bahkan sopirnya selalu disuruh menunggu dalam
mobil. Begitu juga ketika memiliki keperluan dan ingin membeli sesuatu, ia
pergi sendiri ke tokoh Basmalah atau ke swalayan yang lain tanpa pengawalan.
Dari segi
pakaian dan fashion, tak perlu ditanya lagi. pakaian beliau sangat sederhana
juga. Bahkan jika dibandingkan dengan pakaian saya saja, sarung dan baju kiai
kalah. Apalagi mau dibandingkan dengan ustaz-ustaz seleb itu. Jauh sekali. Pakaian yang biasa dipakai Kiai Zuhri adalah sarung berwarna putih, baju koko
warna putih, sesekali pakai coklat dan kopyah putih. Semuanya sangat sederhana
dan harga sangat murah sekali.
Rumah yang
beliau tempati begitu sederhana dan apa adanya. Tidak sejalan dan sebanding
dengan gedung-gedung pesantren miliknya yang amat mentereng. Mungkin kiai zuhri
paham bahwa dunia adalah tempat sementara dan akhirat adalah tujuan selamanya. Maka biarlah rumah sederhana, asal pesantren tempat mencetak generasi megah
berdiri dan menjulang tinggi.
Padahal secara
trah dan garis keturunan beliau termasuk darah biru, leluhurnya bersambung
dengan raja-raja Sumenep melalui Bhindere Saod. Jaraknya sangat dekat, sehingga
untuk menelusuri ketinggian nasab beliau sangat mudah. Tapi keluhuran nasab
tersebut tidak membikin kiai Zuhri jumawa dan merendahkan orang selainnya.
Ciri-ciri
keserderhanaan, baik pada ucapan, tindakan dan pakaian yang melekat pada diri
Kiai Zuhri adalah sebagai tanda bahwa ia adalah ulama. al-Ghazali berkata:
واعلم ان اللائق بالعالم المتدين ان يكون مطعمه وملبسه ومسكنه وجميع
ما يتعلق بمعاشه في دنياه وسطا لا يميل الى الترفه والتنعم.
Ketahuilah!
bahwa yang patut disebut ulama adalah orang yang makanan, pakaian, dan tempat
tinggalnya dan seluruh kehidupan duniawi sederhana tidak bermewah-mewah dan
tidak berlebihan dalam kenikmatan.
Melihat Kiai
Zuhri Zaini ini jujur ada energi positif yang dahsyat dan masuk ke jantung
hati. Tamparan, sindiran dan pukulan telak kepada saya yang sering angkuh dan
jumawa padahal tak memiliki apa-apa.
Ibnu Athaillah
al-Sakandari dalam al-Hikam pernah berkata:
تسبق انوار الحكماء اقوالهم فحيث صار التنوير وصل التعبير
"Cahaya
bijak bestari mendahului kata-katanya. ketika batin tercerahkan, kata-kata
mereka sampai ke (lubuk hati pendengarnya)."
Maka, siapapun
anda yang mungkin beberapa minggu ini kecewa karena kalah di pilpres, gagal
menjadi anggota legislatif atau masalah-masalah dunia lain yang remeh itu, coba
sowan ke Kiai Zuhri Zaini di Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Pandangilah bagaimana beliau menerima tamu, tata cara menghidangkan teh untuk
para tamu, senyum tulusnya dan ketika tangannya hendak dicium ia segera melepas
dan menariknya. Siapa tahu dengan ketemu beliau stres mu jadi hilang. kalau
masih tetap stress, mboh aku!.
Ahmad Husain
Fahasbu, santri kemarin sore yang baru belajar tasrifan.