Berita Utama.net |
Penulis:
Sunardian Wirodono
Atorcator.Com -
Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wasallam ngendika, ulama
yang buruk dan jahat, itu seburuk-buruk dan sejahat-jahatnya manusia.
Karena itu,
ketika ada yang menamakan diri ulama, kemudian berkumpul dan bikin statemen
politik wa bil khusus Pilpres 2019 di Indonesia, sebagaimana yang hobi
ber-ijtima sampai tiga kali, atas dasar apa tiba-tiba meminta salah satu paslon
didiskualifikasi? Ini ulama atau politikus? Ini tokoh nasional atau tokoh
comberan?
Emangnya siapa
sih yang pantas disebut ulama, atau tokoh nasional? Di depan Tuhan, tentu hanya
Tuhan yang tahu. Tapi di depan hukum yang berlaku di Indonesia, semua posisinya
sama. Apalagi jika ngomongin faham demokrasi kita berkait Pemilu atau Pilpres.
One man one vote. Artinya, mau ulama, bajingan, tokoh nasional, tokoh kampung,
hak suaranya sama.
Seolah-olah,
jika sudah memakai nama atau pakaian ‘ulama’, terus boleh bertindak apa saja?
Termasuk bertindak paling tidak rasional, dan menghina sebagian besar rakyat
Indonesia yang berbeda pilihan? Dalam sebuah kontestasi, memuja-muja diri dan
mendelegitimasi lawan, itu ciri pecundang. Apalagi jika pihaknya berada di
posisi jeblok. Lihat perbandingan hasil quickcount, sistem hitung real count
KPU, dan rekapitulasi berjenjang KPU. Angka-angkanya menunjukkan capres
dukungan mereka keok.
Jika mereka
minta mendiskualifikasi capres lawan, karena tudingan kecurangan namun tanpa
proses peradilan (atas kecurangan itu, dan apalagi tanpa bukti-bukti), apa
namanya jika bukan kesewenang-wenangan? Siapa mereka? Apa posisi hukum mereka?
Hanya karena mereka menyorongkan dan bikin kesepakatan dengan capres
dukungannya? Semua pihak bisa melakukan hal seperti itu, jika aturan dan
perundang-undangan yang telah disepakati mau dilanggar sepihak.
Pernyataan
orang-orang yang berada dalam ijtima ulama, sungguh tak pantas. Mereka bukan
siapa-siapa. Jika ngomong bahasa langit, bagaimana membuktikannya? Apa hak
mereka memonopoli kebenaran dan kemuliaan? Mereka tak pantas menyebut diri
ulama dan ‘tokoh nasional’, karena tindakan mereka tak mencerminkan keadilan,
sebagaimana ciri yang diminta dari mereka yang beriman dan berilmu.
Pemilu dan
Pilpres diselenggarakan atas dasar perintah UU. Direncanakan, dibicarakan
dipikirkan, diperdebatkan, disepakati, dan diputuskan bersama di Parlemen.
Merusak atau melanggar kesepakatan yang sudah menjadi UU, sementara mereka
hanya sekumpulan orang tak memiliki keistimewaan, adalah penghinaan atas
kesepakatan bersama di mana mereka tidak ikut serta.
Sekelompok
orang dalam ijtima ‘ulama’, mempergunakan dalil-dalil dogmatis untuk
memanipulasi kehendak-kehendak anti demokrasi. Dalam definisi Imam Al Ghazali,
mereka ialah ulama su’, para penjual ilmu dan harga diri yang menyesatkan,
karena dekat dengan kedzaliman. Naudzubillah min dzalik!