Penulis: Zaky Zulhazmi
Kamis 20 juni 2019 22:08
Ilustrasi foto/Gus Dur....... |
Atorcator.Com - Stadion
Sriwedari Solo penuh sesak manusia pada acara puncak haul Gus Dur, 23
Februari lalu. Hadir di acara itu sejumlah tokoh antara lain: Sudjiatmi
Noto Mihardjo, Yenny Wahid, Gus Mus, KH Abdul Rozaq Shofawi, Mahfud MD,
Oman Fathurahman, Gus Yasin, Irjen Condro Kirono,dan F.X Hadi
Rudyatmo. Apa yang disampaikan Yenny Wahid di acara itu patut
kita catat: pesan Gus Dur hanya satu kepada anak-anaknya, ia mengatakan hidup
itu adalah cinta dan ibadah.
Mengenang Gus Dur saya teringat salah
satu kisah dibuku Seperti Bulan danMatahari karya Stanley Harsha. Saya menemukan buku itu di sebuah bazr.Setelah sekilas membuka bukabuku, dan tahu pemberi kata pengantar adalah AzyumardiAzra (dosen saya di
SPS UIN Jakarta), saya putuskan membeli buku Seperti Bulandan Matahari yang
ditulis mantan diplomat AS itu.
Pada tulisan bertajuk Jodoh,
Harsha mengisahkan perjuangannya dalam menyunting Henny Mangoendipoero. Sebagai
“orang asing” Harsha tentu harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan
banyak hal. Menyatukan dua kebudayaan yang sama sekali berlainan tentu bukan
perkara mudah. Terlebih lagi dalam soal agama. Henny muslim, sedang Harsha
Nasrani.
Bagi Harsha, tidak mudah baginya untuk
berpindah agama. Sedang Henny bersikukuh jika Harsha ingin menikahinya harus
menjadi muslim. Sampai pada suatu ketika, Henny menyarankan Harsha untuk
bertemu Gus Dur, yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU. Harsha dan Gus Dur pun
berdiskusi panjang lebar.
Bagi Harsha, Gus Dur adalah sosok yang
hangat. Harsha mencatat: Ia berbincang-bincang dengan saya
selama beberapa jam, memberi pelajaran tentang Islam. Seorang yang sangat
baik dan hangat, membuat saya langsung mempercainya, selagi ia menjelaskan
bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan cinta, perdamaian, dan amal.
Dalam pertemuan itu Harsha tak lupa
menyampaikan curhatnya kepada Gus Dur perihal rencana pernikahnnya dan soal
pindah agama. Harsha bilang ia tak bisa meninggalkan begitu saja ajaran Yesus.
Gus Dur lalu menjelaskan bahwa Isa juga diakui sebagai nabi dalam Islam. Penjelasan
itu itu, menurut Harsha, selaras dengan pandangannya. Harsa mengaku dibesarkan
di lingkungan Divine Science Cruch, yang meyakini bahwa Yesus adalah seorang
Nabi yang diterangi cahaya Tuhan.
Harsha kemudian perlahan-lahan mulai
mendalami Islam. Semakin ia belajar semakin ia hormat dan kagum pada sumbangsih
Islam bagi dunia. Pada akhirnya, Harsha memutuskan masuk Islam.
Mencermati kisah masuk Islamnya Harsha
saya kira kita dapat mencatat sejumlah hal. Bahwa semangat dialogis perlu
diutamakan dalam laku beragama. Tentu dialog dengan bekal keilmuan yang memadai
Tidak perlu debat sengit dan menunjukkan siapa menang siapa kalah untuk membuat
orang masuk Islam. Pada titik tertentu, debat hanya menyisakan luka, sakit hati
dan kebencian.
Harsha, diplomat yang bertugas di
Indonesia selama 12 tahun, telah memberikan tinggalan yang penting bagi kita.
Boleh jadi, di masa sekarang ini, lataran cerita Harsha, kita jadi merindukan
sosok Gus Dur. Alfatihah..
- Zakky Zulhazmi adalah penulis buku Propaganda Islam Radikal di Media Siber (2015). Sekarang dosen di IAIN Surakarta.