Penulis: Ren
Muhammad
Kamis 20 Juni
2019 14:31
Gus Dur/Ngopi Bareng |
Atorcator.Com -
Gus Dur tampak berbeda pagi itu. Ia minta dicarikan baju koko dan
sarung baru. Persis hendak menyambut Lebaran. Alhasil terpilihlah pakaian milik
santri untuk dikenakan. Anehnya, para tamu terhormat di depan rumah Ciganjur
tak ada yang boleh masuk. Kecuali kakek tua cungkring berpeci hitam, janggut
putih, dengan kain diselempang ke bahu, dan celana pangsi selutut. Bila
tertawa, wajahnya mirip seperti bayi imut.
Menurut
pengakuan kakek cungkring, yang saat itu diantar seorang aktivis Aceh, ia
berjalan kaki dari tanah Serambi Makkah. Setelah dipersilakan masuk, Gus Dur
mengajaknya duduk di karpet. Lalu keduanya tidur selama 15 menit—dalam kondisi
duduk. Setelah terbangun, kakek cungkring pun pamit. Santri yang sejak awal
direpoti Gus Dur pun bertanya dan beroleh jawaban singkat.
Tamunya tadi
adalah seorang Wali Allah dan hanya satu di Indonesia. Wali yang sejenis
dengannya, hanya ada di Sudan. Merujuk pada la ya’riful wali illal wali (tiada
yang mengetahui wali selain wali), sudah jelas bagaimana Gus Dur memosisikan
dirinya. Dengan kata lain, bangsa besar ini pernah dipimpin oleh seorang Wali
besar yang lahir di tanah keramat: Nusantara.
Dari kejadian
itu mencuatlah nama Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Kiyai)
Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen.
Lahir di
kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada 1919 M. Abu
Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR). Selebihnya menempuh
pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun.
Sosok ini merupakan
orang yang sangat dihormati di Aceh. Masyarakat di sana memanggilnya “Tgk
Beurahim Wayla” dan percaya bahwa ia sering menunaikan Salat Jumat di Makkah
dan kembali pada hari itu juga. Ia bisa berjalan cepat dan lebih cepat dari
mobil. Sudah terlalu banyak saksi yang melihatnya bisa menghilang. Inilah “dewa
tidur” dari Aceh, yang menghabiskan harinya dengan tidur semata. Posisi
tidurnya pun melengkung (meukewien). Mirip kucing. Abu Ibrahim Woyla juga bisa
mengetahui perilaku seseorang dan sering kali orang yang menemui beliau
dibacakan kesalahannya agar diperbaiki.
Sebelum terjadi
tsunami, Abu Ibrahim pernah berkata bahwa, ”Air laut bakal naik sampai setinggi
pohon kelapa.”
Mungkin
perjamuan di Ciganjur itu semacam MoU Pulang bersama antara Gus Dur dan Abu
Ibrahim Woyla. Abu Ibrahim wafat pada 18 Juli 2009 dalam usia 90 tahun, sedang
Gus Dur pada 30 Desember, tahun yang sama, dalam usia 69 tahun. Pusara terakhir
Abu Ibrahim tak jauh dari kediamannya di Desa Pasi Aceh, Kecamatan Woyla,
Kabupaten Aceh Barat. Selama sebulan penuh, ribuan masyarakat berduyun melayat
demi memberi penghormatan terakhir pada manusia mulia yang pernah lahir di
Tanah Rencong.
Maqbarah Gus
Dur berjajar tiga dengan kakeknya yang mulia, Hadratussyaikh Muhammad Hasyim
Asy’ari dan ayahanda tercinta, KH Wahid Hasyim, di Ponpes Tebuireng. Seperti
Ibrahim Woyla, ribuan orang tumpah ke jalan demi mengantar Wali Tidur ini ke
haribaan Ibu Pertiwi, dan berjabat erat dengan waktu.
Hukum Waktu
Waktu merenggut
usia kita dan mengembalikannya pada semesta. Kenapa kita? Kerana hanya kita lah
di dunia ini yang selalu punya urusan dan perhitungan dengan waktu. Bahkan
tuhan bersumpah atas nama waktu dan memaklumatkan kerugian besar manusia yang
tersimpan dalam waktu (QS. Al ‘Asr [103]: 1-2). Kesadaran pada hukum waktu
itulah yang membedakan kita dengan makhluk lian di jagat raya. Kita belaka lah
yang getun menunggu putaran waktu kelahiran, merayakannya, bersuka cita, dan
kemudian meratapi diri yang terus menua. Usia seolah bertambah. Tapi jatah
hidup makin tersisa sedikit saja.
Hukum waktu
membedakan antara dunia, zaman, bumi, dan masa buatan peradaban manusia modern
yang terpisah dari lingkungan asalinya, semesta hidup: kosmos. Hal ini
menegaskan bahwa semua pergolakan planet dan kekacauan sosial yang kita alami
sekarang, berhubungan langsung dengan pengutamaan berlebihan pada teknologi
manusia, bukan tatanan Ilahi dan kodrat kehidupan. Soalnya disebabkan
kesalahpahaman kolektif terhadap rambatan (frekuensi) waktu. Hidup di waktu
yang artifisial (palsu), membuat hubungan kita terputus—dengan alam kita
sendiri. Kita selalu merasa seperti memiliki “waktu yang cukup lama.” Padahal
sebaliknya.
Sebagaimana
waktu diperam oleh batu, kita pun memiliki kemampuan itu dalam 260 unit matriks
harmoni, 13 sendi tangan, 20 jari jemari, dan 360 ruas tulang dalam tubuh.
Semua merekam putaran waktu dunia kita masingmasing. Lalu kita memilih
perpisahan dengan (dan dalam) waktu. Kita selalu menyukai perjumpaan, dan
sangat mengkhawatirkan perpisahan. Kemudian kita pun bersedih, terluka,
sengsara.
Kita
terus-menerus berjumpa dengan kekinian, dan selalu gagal menyikapi kenyataan,
sehingga mencuatlah konsep masa lalu dan yang akan datang. Rekaman waktu di
masa lampau kita namai kenangan. Apa yang kemudian akan terjadi, kita sebut
harapan. Keduanya kian mempersulit hidup kita sendiri. Padahal, tak ada yang
bisa melampaui kenyataan, selain tindakan kesadaran. Agar jadi manusia yang
utuh, kita harus belajar melunturkan segala atribut dan label yang kadung
nempel sejak kecil sampai kini.
Hukum Waktu
menyatakan: Energi yang diperhitungkan menurut waktu sama dengan seni. Dalam
persamaan ini, (E[nergi]) mengacu pada semua fenomena dalam proses hidup kita;
dan (W[aktu]) adalah momen saat ini yang bekerja sesuai perhitungan tetap. Maka
segala sesuatu yang terbentuk oleh waktu adalah seni. Berdasar itulah, kita
bisa menahbiskan hidup sama dengan seni. Keindahan penciptaan tuhan yang takkan
berulang. Mandiri. Satusatunya. Tunggal manunggal. Tak bisa disamakan dengan
persamaan apa pun. Kita yang sedemikian rupa ini, adalah objek sekaligus subjek
utama hidup yang melintas bersama waktu.
Mari kita
belajar dari para penyintas waktu. Mereka yang telah hadir di masa lalu, masih
terus ada hingga saat ini. Nama dan hidup mereka kita catat jadi sejarah. Peran
dan fungsi mereka, mangkus dalam hidupnya.
Jutaan manusia
hari ini mengagumi kerja nyata mereka—yang berjalan dalam titik, garis, bidang,
dan ruang semesta kecil. Mikrokosmos. Jagat alit. Menjadi wajar jika pusara
mereka masih ramai dikunjungi peziarah kehidupan. Umat beragama menyebut ini
sebagai karomah, keramat, berkah, tuah, santa—dari daya mati. Sudah puluhan,
ratusan, bahkan ribuan tahun mereka pergi mendahului kita, selamanya, namun
kian berkibar pula nama mereka di dunia ini. Harum nan mewangi. Akhir kalam,
kita punya satu soal semata: menyintas kehidupan.
Umbu kita Mpu
Tantular tentu tak sedang iseng ketika menggurat kalimat, “Bhineka tunggal ika.
Tan hana dharma mangrwa,” dalam kitab Sutasoma yang ia tulis di Trowulan,
Majapahit, pada abad ke-14 M. Pikirannya yang ugahari itu ternyata langgeng
hingga kini. “Berbedabeda namun tetap satu. Tak ada agama yang mendua.” Kita
memang beda. Tapi teramat banyak kesamaannya. Islam, pun agama yang lain, tak
pernah mengajak pemeluknya jadi bromocorah.
Mencari titik
senggang di antara kita, nyaris seperti meludah. Meskipun menemukan batas
tenggangnya, jauh lebih mudah. Manusia memang pemuja keingintahuan. Sebab ia
tahu, bahwa ia tak tahu. Seorang petapa di pegunungan Dieng pernah berkata,
“Sebanyak apa pun yang kautahu, masih lebih banyak lagi yang tak kauketahui.”
Itu artinya, keingintahuan kita mencuat lantaran ketidaktahuan. Predikat itulah
yang menempel begitu dekat pada manusia.
Mendebat sebuah
keyakinan beragama, sama dengan bertungkus lumus dengan riwayatnya yang ribuan
tahun. Padahal kita tak menjadi saksi dari sebuah deklarasi suci yang dibacakan
para Nabi pembawa agama, di hadapan umat terawalnya. Keyakinan kita dalam
beragama, sampai di ranah ini, masih dibungkus dogma-doktrin belaka. Jauh dari
pembuktian sejati. Kita begitu dekat dengan kenaifan, keluguan, kepolosan—yang
entah kenapa harus dibalut kesombongan, kedengkian, kemarahan, dan kebencian.
Dalam sejarah
kehidupan Rasul Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam dikenal adanya Haji
Wada’, yaitu ibadah haji terakhir yang dilakukan Nabi Saw sebagai sajian
perpisahan. Pada peristiwa haji itu Rasulullah Saw menerima wahyu yang
menjelaskan kesempurnaan agama Islam, sebagai agama yang diridhai Allah,
demikian juga karunia nikmat Allah telah dianugerahkan kepada Nabi Muhammad dan
umatnya secara lengkap dan sempurna. Wahyu itu terdapat dalam surah al-Maidah
[5]: 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari
ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku lengkapi karunia
nikmat-Ku atasmu serta telah Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu.”
Rasulullah Saw
bersama para Sahabatnya telah menyalakan pelita yang menyinari seluruh umat
manusia, yaitu berupa kebenaran dan petunjuk. Sebelum menunaikan Haji Wada’,
Nabi telah merasakan adanya saat-saat perpisahan dengan umat yang dicintainya,
ketika Nabi masih berada di Mina. Misi Agung yang diembannya menjelang
paripurna. Maka turunlah kemudian Wahyu terakhir yang disebut dalam surah al-Nashr:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ
يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ
وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
”Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk ke
dalam agama Allah dengan berduyun-duyun, maka bertasbihlah dengan memuji nama
Tuhanmu dan mohonlah ampun pada-Nya. Sesungguhnya Ia adalah Mahapenerima
Taubat.” (QS al-Nashr [110]: 1-3)
Ayat tersebut
di atas mengisyaratkan tentang adanya Hari Perpisahan. Muhammad sebagai Nabi
dan Rasul, telah menyampaikan risalah-Nya selama bertahun-tahun dan berhasil
membebaskan Makkah al Mukarromah dari pemberhalaan. Kejayaan agama akhir zaman
tak dapat dihalangi, atau ditangguhkan lagi. Rasulullah Saw pun segera mengumpulkan
jamaah Haji Wada’ yang berjumlah sekira 150.000 orang. Terdiri dari pelbagai
lapisan kabilah Arab, suku-suku, dan kaum muslimin dari bangsa lain.
Ketika itulah
Sang Nabi Agung menyampaikan pidato fenomenal yang terekam sejarah hingga kini.
Seperti Isa as yang berpidato di Bukit Golgota, Rasulullah Saw menaiki sebuah
bukit di Makkah, lalu menatap hangat ke seluruh umat yang ia kasihi, sayangi,
dan cintai:
أَيُّهَا النَّاسُ اِسْمَعُوْا قَوْلِيْ فَإِنِّيْ لاَ أَدْرِيْ
لَعَلِّيْ لاَ أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِيْ هذَا، بِهذَا الْمَوْقَفِ أَبَداً
“Wahai
saudara-saudariku, dengarlah dengan baik kata-kataku ini, sesungguhnya aku
tidak mengetahui, barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian dalam
suasana seperti ini untuk selama-lamanya.”
Demi mendengar
kalimat pertama dari pidato itu, kaum Muslim seketika terperanjat. Tak
terkecuali empat Sahabat utama yang berada di jarak terdekat dengan Beliau.
Pusparagam perasaan membuncah tak tertahan dalam dada mereka yang hadir di
sana. Ada yang mulai diserang haru, suka cita, kebahagiaan, kesedihan,
kepiluan, dan meneteskan air mata. Ada yang tak sanggup menahan sesunggukannya,
dan ada pula yang tenggelam dalam perasaan tak tepermanai.
Betapa tidak,
seorang manusia adiluhung yang telah hidup di antara mereka selama 63 tahun,
menyampaikan nubuat tentang perpisahan yang selama ini tak pernah terpikir
mereka sama sekali. Sebelum kita juga larut dalam suasana demikian, kami
nukilkan lagi salah sebuah pesan universal dari pidato tersebut:
“Wahai
manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian Satu, dan sungguh nenek moyang kalian pun
satu. Kalian berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Orang paling mulia
di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Tidak ada kelebihan orang Arab
atas orang non-Arab, kecuali dalam ketakwaannya. Demikian pula, orang kulit
putih tidak punya kelebihan atas orang kulit hitam, tidak jua orang kulit hitam
memiliki kelebihan atas orang kulit putih, kecuali dalam ketakwaannya.”
Selengkapnya bisa dibaca di sini