Penulis: Mohammad Rifki
______
Editor: Azam Ibrohimy
Publisher: Moh. Syahri
Senin 17 Juni 2019 20:53
Emmanuel Levinas |
Atorcator.Com - Saat ini kita patut bertanya: masihkah moral dan etika dijadikan sebagai pijakan pada setiap denyut kehidupan? Jawabnya, mungkin (iya), tetapi keduanya seperti berada di seberang jalan nun jauh. Tiba-tiba menjelma barang rongsokan yang dipandang tiada berguna lagi.
Tidak perluh heran bila keduanya (moral dan etika) sekedar
menjadi pemanis buah bibir belaka, baik pada momen seminar, kajian budaya,
maupun khutbah keagamaan. Ini bisa kita saksikan dalam dunia artifisial di mana
sikap saling caci, fitnah, menyalahkan segala yang beda, mengumbar atau
menelisik keburukan-keburukan yang tak sejalan. Itulah yang mengemuka hingga
cukup disayang membias pada kehidupan nyata, interaksi sehari-hari.
Sebabnya, cukup beragam, mulai dari perbedaan keyakinan,
agama, organisasi, yang kesemua itu bersumbu dari kepentingan politik karena
haus akan jabatan (kekuasaan). Lebih celaka lagi, sikap amoral tersebut justru
muncul dari mereka yang dijadikan sebagai panutan, diyakini memiliki
pengetahuan luas, plus lahir dari rahim lembaga pendidikan keagamaan yang
digembar-gemborkan penebar cinta penuh kedamaian.
Interaksi dengan makhluk lain, moral dan etika, juga
tidak jadi hal penting. Pada laut, kita membuang sampah berjibun-jibun tanpa
perlu berpikir bahwa di sana ada beragam jenis ikan dan terumbu karang yang
butuh wilayah bersih. Pohon-pohon kita tebang, hutan lindung tempat pelbagai
jenis flora dan fauna berkembang biak, kita babat habis.
Atas nama kemajuan dan pembangunan lahan-lahan subur
kita sulap menjadi tempat rekreasi, ‘ditanami’ beton dan lain semacamnya.
Bagaimana jika lahan tersebut merupakan milik seorang miskin dan satu-satunya tempat
menggantungkan hidupnya? Pertimbangan demikian sama sekali tak terlintas dalam
benak kita. Tentu sikap-sikap amoral ini dapat kita perpanjang lagi daftarnya.
Di tengah kondisi demikian itulah, menurut saya,
kita perlu berdialog dengan salah seorang filsuf kelahiran Kovno, Lithuania,
Emmanuel Levinas. Levinas menengarai ada yang salah pada tradisi pemikiran modern
(Barat) yang walaupun, pada satu sisi, membuat dunia berdecak-decak kagum
dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Kesalahan dimaksud adalah menempatkan
sesuatu di luar ‘ego’ semata-mata sebagai objek.
Fenomenologi Alteritas
Mengarungi pemikiran Levinas terlebih dulu kita harus
memulainya dari salah satu cabang filsafat, yakni fenomenologi. Mudahnya, fenomenologi
merupakan cara berfilsafat yang berusaha secara radikal guna menemukan kebenaran
atau makna dari suatu gejala, yang menampakkan diri pada kesadaran. Gejala yang
dimaksud dalam hal ini adalah segala hal yang dapat ditangkap secara indrawi
maupun non-indrawi.
Syarat yang harus dilakukan untuk mengungkap
kebenaran dari suatu gejala menuntut kita bersikap sebagai pemula. Suatu gejala
seakan-akan baru pertama kali hadir di hadapan kesadaran dan menggoda untuk
memaknainya. Dalam momen inilah segala prasangka, pengetahuan, atau dogma
tentang suatu gejala harus terlebih dahulu diletakkan dalam kurung. Sikap
demikian dapat melepaskan kita dari bayang-bayang persepsi dan mengenali suatu
gejala dengan kemurniannya. Kata Edmund Husserl, Zuruck zu den Sachen selbst (kembalilah ke hal-hal itu sendiri)
atau biarkan gejala berbicara sendiri pada kesadaran kita.
Proses demikian dapat dilakukan melalui dua tahap, epochè dan reduksi. Epochè berarti penundaan (suspension)
atau pengurungan (bracketing) segala
tindakan mengambil kesimpulan, dengan dua tujuan. Pertama, agar hal-hal yang ditunda atau dikurung tidak mengganggu
proses analisis gejala. Kedua, menuntun
atau meembantu kita untuk sampai pada kondisi tanpa pengandaian (presuppositionless) atau kesadaran
murni. Keberlangsungan epochè terjadi
bersamaan dengan reduksi (David Tobing:2018).
Dalam fenomenologi Husserl, secara umum, reduksi
dibagi menjadi dua, yaitu reduksi deskriptif dan transendental. Melalui reduksi
deskriptif gejala hadir secara imanen bagi kesadaran dan hadir secara murni,
kesadaran seakan-akan baru pertama kali mengalami perjumpaan. Berbeda dengan
reduksi transendental, di mana pemaknaan terhadap suatu gejala atau fenomena,
bergantung serta sepenuhnya ditentukan oleh kesadaran. Kita pun tahu bahwa fase akhir dari pemikiran
Husserl lebih menitik beratkan pada kesadaran sebagai pusat atau barometer di
dalam mengungkap kebenaran dari suatu gejala atau reduksi transendental.
Dengan
demikian, gejala sebagai sesuatu yang terberi tidak lagi punya ‘nilai’, segala
atributif yang unik dari gejala dilucuti. Oleh karena itu, alteritas yang bisa
timbul daripada gejala, terlebih dahulu dipermak; disesuaikan dengan (harus
sesuai) garis-garis kesadaran. Pada titik inilah Levinas merasa ada sesuatu
yang terasa ganjal.
Singkat kata, fenomenologi Husserl telah menciptakan
suatu relasi yang timpang dengan mereduksi Yang-Lain kepada Yang-Sama; gejala
(harus) tunduk-patuh di bawa kendali kesadaran (Ego). Sebaliknya, Levinas (fenomenologi alteritas) memilih membiarkan
gejalah itu tetap menjadi dirinya sendiri atau Yang-Lain (the other) dengan segala keberlainannya.
‘Tuhan itu... Wajah Yang Lain’
Reduksi terhadap gejala atau Yang-Lain dengan
menempatkan kesadaran atau ‘Ego’ sebagai totalitas, bagi Levinas telah lama
mewarnai tradisi pemikiran modern (Barat) bahkan sudah menjadi karakter. Akibat
yang ditimbulkannya pun bukan perkara biasa bagi berlangsungnya kehidupan.
Seperti tersebut di atas, lingkungan tempat di mana
kita berkreasi melulu dipandang hanya sebagai objek, yang sah diperlakukan
seperti apa saja. Pada ranah keyakinan, misal, kondisinya pun tidak jauh beda.
Mereka yang berada di luar keyakinan kita dipaksa seirama dengan keyakinan yang
kita imani. Relasi demikian kita bisa perlebar lagi sampai kepada, misal,
agama, politik, tradisi, dan lain sebagainya.
Levinas, bertolak belakang dari itu semua. Dengan
membiarkan Yang-Lain atau gejala tetap menjadi dirinya sendiri dengan segala
keberlainannya. Dengan ini Levinas tengah mendobrak dominasi ‘Ego’ sebagai
pusat yang telah bercokol lama dalam tradisi pemikiran moder (Barat).
Menurut filsuf keturunan Yahudi ini, Ego, seketika
akan runtuh saat berpapasan dengan Yang-Tak Berhinnga yang terpapar di hadapa
Ego, Levinas menyebutnya dengan istilah Wajah. Tentu Wajah dalam hal ini tidak
bermakna fisik atau empiris, yang terdiri dari bibir, hidung, dagu, mata, dan
seterusnya. Wajah ialah le visage nu: Wajah
telanjang, apa adanya.
Karena itu, perjumpaan dengan Wajah tersebut telah
membangun suatu relasi etis yang berpola asimetris. Segala kebaikan yang telah
kita beri tidak perlu berharap akan berbuah balasan, dan orang lain yang
menerima sikap kebaikan kita itu, sama sekali tiada kewajiban membalasnya.
Selain itu, perjumpaan dengan Wajah, bagi Levinas, bukan
momen biasa, melainkan seperti suatu momen menghadapi yang Lain sama sekali,
yaitu Tuhan. Tetapi ini tidak berlangsung pada taraf pengenalan teoretis,
melainkan dalam konteks etis. Tuhan hadir bagi saya sejauh saya mengamalkan
kebaikan dan keadilan kepada sesama (K. Bertens: 2001).
Ala kulli hal, memaksakan suatu keyakinan (kebenaran)
yang diimani terhadap mereka yang berbeda merupakan tindakan yang sama sekali
tidak populis. Sebab, kata Levinas, Tuhan ‘mewujud’ dalam diri selain kita (the
other). Lagi pula keragaman ialah keniscayaan dalam jagad raya ini.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran, “...sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji
kamu...” (QS. Al-Maidah 5:48).
Wallahu
‘alam
- Mohammad Rifki Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kini tinggal di Sumenep Madura