Penulis:
Jauharatu Nabila
Sabtu 13 Juli
2019 06:00
Ilustrasi/kaidah |
Atorcator.Com -
Bagi masyarakat Islam, Abu Nawas atau Abu Nuwas bukan lagi seseorang
yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya
melontarkan kritik-kritik yang dibungkus dengan humor. Selain daripada itu, ia
adalah seorang sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah
Harun Ar-Rasyid di Baghdad yang lahir pada tahun 145 H dan meninggal pada tahun
198 H.
Dalam kitab Tarikh
al-Adab al-‘Arabi dikisahkan bahwa sebagai jejaka tua, Abu Nawas sangat
gelisah. Di usianya yang tak lagi muda, Abu Nawas tak kunjung mendapatkan
pendamping hidup. Pada suatu ketika, Abu Nawas sangat tergila-gila pada seorang
wanita. Wanita itu sungguh cantik, cerdas dan ahli ibadah. Abu Nawas
berkeinginan untuk memperistri wanita shalihah itu. Meskipun Abu Nawas adalah
sosok yang cerdas dan banyak akal, tetap sulit baginya mengambil hati gadis
cantik tersebut.
Berbagai cara
ia lakukan untuk menaklukkan hati sang gadis, tapi itu selalu berbuah patah
hati. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Tapi baginya, cinta butuh perjuangan
dan restu dari Tuhan. Dengan perasaan cinta dalam hatinya yang sangat
menggebu-gebu, Abu Nawas menumpahkan harapannya pada Allah swt.
Dalam shalat
malamnya Abu Nawas berdo’a, “Ya Allah, berilah hamba istri yang cantik,
cerdas, humoris, murah senyum, dan pintar masak.” Ucapnya dengan
menyebut nama gadis itu beserta seluruh kriterianya dengan nada sedikit
memaksa.
Abu Nawas
melakukannya setiap selesai shalat. Setelah berbulan-bulan doa ia langitkan,
tampaknya belum ada tanda-tanda pengabulan juga. Abu Nawas-pun intropeksi diri
dan menurunkan target permintaannya. Kali ini tanpa diembel-embeli nama si
gadis dan segala sifat baiknya. Abu Nawas tak lagi ‘memaksa’. “Ya
Allah, jika Engkau berkenan, aku tidak muluk-muluk, aku hanya ingin punya
istri, tidak perlu cantik. Yang penting aku dapat istri, Ya Allah”.
Dalam
bulan-bulan berikutnya, jawaban tetap tak kunjung datang. Dengan kecerdasannya,
Abu Nawas akhirnya mengubah strategi doa. Kali ini ia merasa perlu berdiplomasi
dengan menggunakan nama Ibu untuk merayu Allah agar doanya cepat terkabul.
“Ya Allah. Aku tidak akan memita
macam-macam lagi. Kali ini aku tidak meminta untuk diriku. Aku hanya kasihan
pada ibuku yang sudah tua. Berilah dia seorang menantu yang baik. Kasihan jika
ia meninggal dunia dan belum pernah memiliki menantu. Sekali lagi ini bukan
untukku Rabbi, ini untuk ibuku yang sudah renta.” Begitu pinta Abu Nawas.
Akhirnya
beberapa tahun kemudian doa Abu Nawas terkabul. Keinginannya bukan lagi sekedar
mimpi. Usaha dan kesungguhannya membuahkan hasil. Allah menakdirkan wanita
cantik dan shalihah itu menjadi istri Abu Nawas. Kisah ini menjadi pelajaran
bagi setiap yang mendengar setelahnya, bahwa berdoa pada Allah harus
bersungguh-sungguh, bahwa meminta pada Sang Kuasa perlu sedikit memaksa jika
perlu menggunakan strategi agar Allah melihat kesungguhan kita. Ini merupakan
salah satu menifestasi dari penyerahan diri Abu Nawas kepada Allah swt. Bahwa
manusia, dengan segala keterbatasannya hanya memiliki doa sebagai satu-satunya
senjata setelah semua usaha telah diupayakan.
Selengkapnya di
sini
- Jauharatu Nabila Pengkaji Tafsir dan Sirah Nabawiyah. Alumni UIN Jakarta