Empat Pokok Ajaran Kanjeng Sunan Drajat - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Sabtu, Juli 20, 2019

Empat Pokok Ajaran Kanjeng Sunan Drajat

Penulis: Wildan Sofa
Sabtu 20 Juli 2019
foto: Laduni

Atorcator.Com - Nama Sunan Drajat Lamongan sudah sangat familiar di telinga kaum Muslim Nusantara. Beliau termasuk salah satu Wali Songo penyebar Islam di Pulau Jawa, yang sudah dikenal khalayak luas. Tidak diragukan lagi jasa, keilmuan, dan tingginya derajat beliau di sisi Allah Swt. Setiap hari tidak kurang 2000 peziarah dari berbagai daerah berkunjung ke makamnya guna memanjatkan do’a, berdzikir, dan membaca kalimat thoyyibah.

Untuk mencapai kompleks makam beliau tidaklah sulit, karena terdapat plang besar yang menunjukkan arah. Seperti makam-makam Wali Songo lainnya, makam Sunan Drajat juga terletak tidak jauh dari pesisir laut utara pulau Jawa, tepatnya di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Menaiki sepeda motor, kami memerlukan waktu sekitar 1 jam perjalanan dari pondok untuk sampai di makam tersebut.

Di kompleks pemakaman Sunan Drajat terdapat tiga tingkat. Yang paling belakang adalah tingkat paling tinggi. Di dinding inilah dibangun cungkup makam Sunan Drajat, di mana di dalamnya juga memuat cungkup berbahan kayu ukiran. Di situlah Sunan Drajat beserta istrinya bersemayam.

Pertolongan Ikan

Raden Qosim atau lebih dikenal dengan Sunan Drajat merupakan putra Sunan Ampel. Beliau menghabiskan masa kanak-kanaknya di Ampeldenta Surabaya. Berbeda derngan kebanyakan anak lainnya, Sunan Drajat kecil lebih sering menghabiskan waktu dengan mengaji al Qur’an dan kitab kuning. Kecerdasannya yang tinggi membuat Sunan Drajat lebih cepat bisa memahami dan menghafalkan pelajaran.

Ketika beliau menginjak usia remaja, sang ayah memberi tugas untuk mengajarkan Islam di Pesisir Gresik. Saat berlayar menuju lokasi yang dimaksud, naasnya perahu yang beliau tumpangi dihantam badai  dan pecah. Untungnya beliau selamat setelah ditolong ikan cucut dan ikan cakalang dengan menunggang di atasnya hingga sampai di desa Jelak. Di sana beliau mulai berdakwah, menetap, dan menikah dengan putri tokoh masyarakat setempat. Di tempat itu pula beliau mendirikan surau kecil sebagai tempat mengaji dan belajar agama. Lambat laun desa ini menjadi besar dan ramai dengan masyarakat yang tentram dan damai.

Setelah cukup lama berjuang, Sunan Drajat berpindah ke daerah selatan, tepatnya di atas bukit. Maklumlah, desa Jelak sering dilanda banjir. Walaupun daerah baru ini terkenal dengan keangkerannya, namun warga Jelak tetap mengikuti Sunan Drajat. Mereka tahu, bahwa kesaktian Sunan Drajat mampu mengendalikan jin dan ruh halus. Desa yang baru ditempati tersebut kemudian diberi nama Drajat.

Metode Dakwah

Sunan darajat terkenal dengan kearifan dan keluhuran budi. Beliau mengajarkan Islam dengan penuh kasih sayang, bil-hikmah, serta tanpa disertai paksaan. Beliau sadar bahwa masyarakat kurang menerima kekerasan dan enggan dipaksa. Dengan konsep dakwah seperti ini, lambat laun mereka mampu memahami hakikat ajaran Islam dan kebenarannya.

Beliau mengenalkan Islam dengan mengadakan pengajian di masjid secara bergantian, mendirikan surau sebagai tempat mengaji, bersedia menjadi tempat curahan hati warga sekaligus memberikan solusi terhadap permasalahan masyarakat. Dalam berdakwah, beliau melantunkan  tembang-tembang dengan diiringi musik gamelan. Adapun adat istiadat masyarakat setempat yang kurang memenuhi etika Islam, secara bertahap disesuaikan dengan syariat Islam.

Ada empat pokok ajaran Sunan Drajat yaitu: wenehono teken marang wong kang wuto (berilah tongkat orang buta), wenehono pangan marang wong kang keluwen (berilah makan orang kelaparan), wenehono payung marang wong kang kaudanan (berilah payung orang yang kehujanan), wenehono sandang marang wong kang kawudan (berilah pakaian orang yang telanjang).

Tawassul

Untuk memasuki area pemakaman, kita harus berjalan lewat selatan menuju gapura berbahan kayu dan melewati lorong. Letak makam Sunan Drajat berada di teras ketiga dan yang paling tinggi. Untuk memasukinya, kita harus melepas sandal. Di sana kita disambut oleh para penjaga makam dengan pakaian khas Jawa. Mereka mencatat setiap peziarah yang berkunjung, baik jumlah rombongan maupun kota asalnya.

Kebanyakan dari para peziarah membaca surat yasin dan tahlil. Lantas mereka berdo’a kepada Allah dan bertawassul kepada Sunan Drajat. Tawassul seperti ini diperbolehkan oleh syariat, bahkan banyak hadits yang membolehkannya. Pada hakikatnya, mereka berdo’a kepada Allah, bukan kepada Sunan Drajat. Mereka menjadikan Sunan Drajat sebagai jembatan kepada Allah, dengan harapan agar do’a yang dipanjatkan terkabulkan. Hal ini mengingat bahwa Sunan Drajat lebih dekat dengan Allah.

Ibaratnya, mengirim surat kepada presiden sangat sulit dilakukan oleh rakyat jelata yang tidak dikenalnya. Lain halnya jika surat itu dititipkan kepada anggota DPR ataupun orang yang dekat dengan presiden, maka akan sangat mudah sampai karena mereka mempunyai kedudukan lebih di hati presiden. Begitu pula dengan Sunan Drajat. Beliau memiliki kedudukan lebih tinggi dan lebih dekat dengan Allah. Maka bukan tidak mungkin do’a kita akan lebih cepat sampai kepada Allah dengan cara bertawassulkepadanya.

Museum

Setelah selesai berdo’a, kami berniat pulang. Tidak sulit menemukan jalan keluar, sebab plang penunjuk terpasang dengan jelas. Saat berjalan keluar, tepatnya di bagian atas perbukitan, berdiri sebuah museum. Di sana diabadikan berbagai benda peninggalan Sunan Drajat, baik pusaka ataupun kitab-kitab kuno. Uniknya, museum tersebut juga menyimpan dayung perahu. Konon, dahulu dayung perahu itulah yang dijadikan pegangan Sunan Drajat ketika perahu beliau pecah dihantam badai yang kemudian ditolong oleh ikan cakalang.

Museum ini dibangun sangat sederhana dan telah diresmikan oleh Kepala Daerah setempat pada tanggal 30 Maret 1992. Di sampingnya terdapat foto-foto jaman dahulu dengan warna cerah yang menjadikannya bersinar walau di malam hari.

Di kompleks pemakaman, tepatnya di sebelah barat cungkup makam Sunan Drajat, terdapat air yang disediakan untuk para peziarah. Air ini dipercaya mengandung barokah, sebab merupakan peninggalan sang sunan. Air ini tersedia dalam sebuah gentong besar, di mana hampir semua peziarah memanfaatkannya, baik dengan cara meminumnya ataupun memasukkannya ke botol. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia sama sekali tidak dikenai biaya sepeser pun.

Selengkapnya bisa dibaca di sini

[Wildan Shofa/Ahsan/Syadzili]