Penulis: Moh.Syahri
Ilustrasi:Twitter-Santri-Menulis |
Atorcator.Com - Sedari
dulu saya menyadari bahwa pesantren tidak hanya tempat santri beretorika dan
tempat berdiskusi saja. Pesantren tidak hanya tempat melatih orang berbicara
dan mendengar. Menulis belum menjadi tradisi keilmuan yang begitu menarik di
kalangan pesantren. Padahal ulama-ulama terdahulu karya tulisnya hebat-hebat.
Santri
seringkali diidentik dengan kaum tradisional, kaum yang mempertahankan
tradisi-tradisi kuno, kolot, kampungan dan ndeso. Arti tradisional
tidak mesti harus diartikan seperti demikian. Lebih-lebih untuk kaum santri.
Kita
akui saja santri memang bagian dari kaum tradisionalis yaitu santri yang
benar-benar konsisten untuk mempertahankan tradisi lama dengan membaca dan
menulis.
Hal
demikian, harus ada dalam diri seorang santri. Lebih-lebih di era yang serba
gonjang-ganjing narasi keagamaan yang salah kaprah. Santri harus keluar dari
sarangnya. Salah satunya dengan menulis. Santri tidak boleh menyepi dari
keramaian problematika sosial. Santri harus menulis supaya tradisi keilmuan di
pesantren tidak terasa sunyi.
Internet
sudah menjadi media yang sangat praktis untuk berdakwah lewat tulisan-tulisan
untuk menyampaikan ide, gagasan dan syiar Islam. Karenanya, santri harus masuk
ke dunia internet. Santri harus bisa berkontribusi dalam menyuarakan aspirasi
dan syiar-syiar Islam via online.
Dengan
menggunakan metode dakwah tulisan lewat internet, santri bisa menangkal
narasi-narasi menyesatkan yang sering dilontarkan oleh kelompok konservatif
yang kaku memahami Islam. Dunia internet harus dikuasai oleh orang-orang yang
paham dengan Islam toleran, ramah, progresif, dan penuh kasih sayang. Bukan
oleh orang-orang yang beriman tapi tidak punya integritas keimanan.
Perjuangan
seperti itu merupakan bagian dari perjuangan ulama terdahulu. Nah, sekarang
saatnya kita sebagai santri untuk melanjutkan perjuangan mereka dengan situasi
dan kondisi yang berbeda.
Mari
kita sebagai santri untuk membudayakan membaca kemudian kita menulis. Para
ulama Indonesia adalah tidak lepas dari tradisi menulis bahkan kebanyakan
mereka penulis produktif. Seperti kiai KH. Saifudin Zuhri, Mahbub
Djunaidi, KH. Abrurahman Wahid, KH. A. Musthofa Bisri, Ahmad Tohari, D. Zawawi
Imron, Acep Zamzam Noor, Nur Cholis Madjid, dan lain-lain. Dengan karya mereka
keilmuan di pesantren tetap membumi, bergerak ke mana-mana, bahkan tetap
lestari.
Terakhir,
Sebagai motivasi dan inspirasi. Tulisan ini saya kutip dari tulisan KH Husein
Muhammad di Beranda Facebooknya, seorang sastrawan sekaligus teolog besar, Abu
‘Amr al-Jahizh menulis tentang buku dan pena:
الْقَلَمُ
اَبْقَى أَثَراً وَاللِّسَانُ أَكْثَرُ هَدَراً
لَوْلاَ
الْكِتَابُ لَاخْتَلَّتْ أَخْبَارُ الْمَاضِيْنَ
وَانْقَطَعَ
أَثَرُ الْغَائِبِيْنَ
وَاِنَّمَا
اللِّسَانُ شَاهِدٌ لَكَ وَالْقَلَمُ لِلْغَائِبِ عَنْك
الْكِتَابُ يُقْرَأُ بِكُلِّ مَكَانٍ وَيُدْرَسُ فِى كُلِّ زَمَانٍ
Jejak goresan pena lebih
abadi
Suara
lidah acap tak jelas
Andai
tak ada buku
Tak
lagi ada cerita masa lalu
Dan
terputuslah jejak
mereka
yang telah pulang
Tulisan ini sebelumnya dimuat di BincangSyahriah.com