KH. Abdul Hamid Baidlowi Lasem; Ulama Tegas Yang Berhati Lembut - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Minggu, Juli 07, 2019

KH. Abdul Hamid Baidlowi Lasem; Ulama Tegas Yang Berhati Lembut


Penulis: Agus Murtadlo
Ahad 7 Juli 2019 00:06
Ilustrasi foto/majalah Langitan

Nasab dan Pendidikan

Abdul Hamid Baidlowi Pengasuh Pondok Pesantren Al-Wahdah Lasem lahir di Lasem pada tanggal 30 Desember 1945. Beliau putra KH. Baidlowi Lasem, yang merupakan salah seorang pendiri NU. KH. Baidlowi juga merupakan Rais al-Akbar Thariqah NU se-Indonesia, sekaligus sebagai pencetus gagasan status Presiden RI Ir. H. Soekarno sebagai “Waliyyul Amri ad-Dharuri bi as-Syaukah” pada saat Indonesia dalam keadaan  genting, yaitu berupa krisis kepemimpinan nasional yang terancam dengan adanya pemberontakan di berbagai daerah.

Nasab KH. Abdul Hamid sendiri apabila diurutkan berdasarkan silsilah secara lengkap, maka akan sampai pada Ki Joyotirto, selanjutnya sampai Mbah Sambu keturunan Pangeran Benawa putra Jaka Tingkir atau Sultan Pajang.

Adapun pendidikan beliau di masa muda adalah dimulai dari Pondok Pesantren Al-Wahdah Lasem, kemudian melanjutkan di Pondok Tebuireng Jombang. Setelah itu, beliau kembali menimba ilmu di Pesantren Sarang Kabupaten Rembang. Dan pada akhirnya, beliau menempuh pendidikan di Makkah al-Mukarramah. Setelah kepulangan beliau dari Makkah, Kiai Hamid kemudian menikah dengan Ning Jamilah alumnus Pesantren Al-Hidayat Lasem.

Kharisma Kiai Hamid

Kiai Hamid merupakan seorang orator dan politisi yang penuh kharismatik dan unik. Ketokohannya sudah diakui sampai di tingkat nasional, seperti yang disampaikan oleh KH. Maemun Zubair Sarang dalam menilai adik iparnya itu. Kepiawaian dan kelincahan beliau dalam berbagi bidang, sering membuat bingung lawan, bahkan kadang kawannya sendiri.

Ketika di masa muda, beliau sempat menjabat sebagai pimpinan PCNU Lasem selama beberapa tahun. Dan setahun sebelum beliau wafat, beliau juga sempat tercatat sebagai Ketua Dewan Syuro atau penasehat nasional FPI (Front Pembela Islam). Di kalangan NU, dan ormas Islam lainnya, beliau sangat disegani. Hal itu tidak terlepas dari kewibawaan, keberanian, keteguhan dan kealiman beliau sebagai ahli hadis.

Keihlasannya berjuang membuat dirinya rela berkorban, bersikap tegas dan menerima resiko meski tidak populer atau tidak disukai orang. Salah satu contoh ketegasan beliau adalah ketika ada beberapa tokoh NU ramai-ramai membela Syi’ah, yaitu dengan mengamankan stempel status sosial dirinya sebagai tokoh toleran, Kiai Hamid secara tegas berpidato di mana-mana menolak ajaran Syi’ah sambil menulis makalah, bahkan sampai mengarang Kitab kelemahan Syi’ah secara syariat.

Keponakan beliau, yaitu KH. Najih Maimoen Zubair kerap diajak beliau mengikuti forum lintas ormas menghadapi tantangan dakwah terkini. Beliau sesungguhnya menerima toleransi perbedaan, namun tidak setuju istilah pluralisme karena ideologi asing dan liberal itu dinilai tidak sejalan dengan Islam dan Pancasila. Dan menurut beliau, kata yang  benar adalah pluralitas tanpa isme.

Karir Kiai Hamid

PP. Al-Wahdah Lesem yang berada di bawah asuhnya pernah menjadi tuan rumah Kongres PP. IPNU-IPPNU, tepatnya ketika beliau menjabat ketua PCNU Lasem. Beliau juga memiliki peran dalam konsolidasi lahan dan pembangunan lembaga pendidikan di bawah LP Ma’arif yang terdiri dari MA NU, SMP NU dan SMK NU yang berdiri cukup megah. Kemudian dalam perkembangannya dilanjutkan oleh PCNU periode setelahnya di bawah kepemimpinan KH. Rogib Mabrur dan KH M. Zaim Ahmad Ma’shoem.
Secara tidak langsung, di bawah pengaruh beliau selama bertahun-tahun stabilitas Kota Lasem dan sekitarnya kondusif. Sebagai contoh adalah penutupan Bupati  Rembang atas megaproyek Stakong, atas dasar penolakan warga setempat dan berbagai elemen umat Islam. Yang mana megaproyek tersebut rencana akan dibangun di tengah-tengah mayoritas komunitas muslim. Apalagi kondisi pembangunan lembaga Islam di sekitarnya masih berbenah. Beliau juga berjasa atas berdirinya Masjid megah Al-Khitthah, Tulis, Lasem.

Selain itu, Kiai Hamid tercatat sebagai Anggota DPA RI tahun 1998-2004. Kedudukan beliau sebagai penasihat presiden dalam kapasitas dirinya sebagai ulama, berjalan sejak masa kepresidenan Prof. Ir. B.J. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati sampai pada Susilo Bambang Yudhoyono. Dan sudah tidak diragukan lagi bahwa berbagai pertimbangan beliau bagi pembangunan Indonesia menorehkan tinta emas yang dicatat dalam berita acara lembaran negara.

Keteladanan KH. Abdul Hamid Baidlowi

Pasca masa pilpres yang cukup menegangkan, bagi masing-masing kubu yang bersaing, tentu sangat merasa kehilangan beliau. Termasuk yang dulu berseberangan dengan beliau, kini baru menyadari dan membutuhkan figur beliau, yaitu pribadi yang memiliki pengaruh dan relasi yang sangat kuat sebagai perekat persatuan.
Sebagai pribadi, beliau dikenal sangat mencintai keluarga. Bahkan terhadap keluarganya yang relatif agak jauh, beliau juga masih berusaha menjalin tali silaturahim.

Kalau kita bisa lebih dekat padanya, maka akan menemukan beliau dengan pribadi yang santai meski sikapnya tegas. Mungkin banyak orang melihat sisi tegasnya saja. Dan hal itu tidak terlepas dari figur panutan beliau, yaitu Sayidina Umar bin Khatthab ra. KA. Thoyfur, MC Lasem yang di masa karir politiknya sempat berseberangan dengannya menyampaikan pada kadernya: “Justru sikapnya itu sebenarnya beliau ingin mengangkat level saya.”

Berpulangnya Kiai Hamid

Tepatnya pada hari Ahad, tanggal 15 Juni 2014 atau bertepatan dengan tanggal 17 Sya’ban 1435 H, beliau berpulang ke rahmatullah. KH. Musthofa Bisri, Rais Am PBNU setelah menjadi imam shalat jenazah di Masjid Jami’ Lasem, menyatakan bahwa almarhum sebagai ulama yang sangat teguh memegang prinsip, serta hatinya juga sangat lembut. Alfatihah.

Selengkapnya bisa dibaca di sini

[Agus Murtadlo]