Penulis: Wildan Sofa
Abdurrahman Chudlori, adalah putra sulung KH. Chudlori, ulama besar yang disegani pada era 1940-1977. Abdurahman lahir pada tanggal 31 desember 1943 di komplek Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, yang didirikan sang ayahanda.
Nyantri di Tegalrejo
Abdurrahman Chudlori, adalah putra sulung KH. Chudlori, ulama besar yang disegani pada era 1940-1977. Abdurahman lahir pada tanggal 31 desember 1943 di komplek Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, yang didirikan sang ayahanda.
Kebiasaan turun-temurun keluarga KH. Chudhlori adalah harus tabarrukan dulu di Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), pesantrennya sendiri. Demikian itu karena keluarga pesantren adalah generasi penerus kiprah dan perjuangan, maka selayaknya mereka mengetahui literatur kegiatan sehari-hari. Mbah Dur juga tak lepas dari pola itu, beliau juga nyantri di Tegalrejo sebagaimana santri yang lain. Termasuk ikut mematuhi peraturan, juga mendapat teguran jika melanggar dari sang kiai, yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Kedisiplinan Kiai Chudlori dalam mendidik Mbah Dur kecil, terserap murni menjadi salah satu gaya sikap beliau yang kelak mengantarkan pada kepribadian luhur, sebagai teladan bagi putra-putrinya di kemudian hari.
Demokratis namun Terarah
Usai belajar di pesantrennya, tahun 1956 Mbah Dur diperintahkan sang ayah untuk nyantri di pesantren Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur. Selama kurang lebih enam tahun beliau berguru kepada KH. Djazuli Utsman, dan juga kepada putra-putra Kiai Djazuli seperti Zainuddin (Gus Din), Nurul Huda (Gus Dah) dan Hamim Jazuli (Gus Miek), yang saat itu sudah ikut mengajar. Setelahnya, beliau belajar ngaji di Pondok Pesantren Futuhiyah Mranggen pada tahun 1964-1966.
Dari para gurunya itulah, beliau semakin berkembang sebagai pribadi yang demokratis namun terarah. Dengan sikap ini beliau lebih bisa menerima perbedaan dengan bijak, serta menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat sekitar, baik yang berkaitan dengan kepribadian atau urusan dunia dan akhirat.
Mengasuh Pesantren
Sepeninggal Kiai Chudlori, kepengasuhan Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) dipegang putra-putranya, yakni KH. Abdurrahman Chudlori, KH. Mudrik Chudlori dan KH. Mahin Chudlori. Ketiganya berkolaborasi apik dalam menjalankan roda kepemimpinan. Hasilnya, sekarang Pesantren Tegalrejo berkembang pesat dengan semakin bertambahnya santri, bertambahnya fasilitas, serta bertambahnya program pendidikan agama dan umum.
Dari sinilah kiprah Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo mulai banyak diterima semua kalangan. Pasalnya, Pesantren API melebarkan sayap dengan membangun sekolah formal Subbanul Wathan yang banyak diminati masyarakat. Mbah Dur sebagai promotor pembangunan lembaga formal memahami bahwa dewasa ini sudut pandang masyarakat yang mengarahkan legalitas pendidikan formal sebagai kebutuhan. Ujungnya sangat minim masyarakat sekitar Tegalrejo sendiri yang memondokkan putranya ke pesantren salaf.
Namun dalam perjalanannya, lembaga formal itu harus mandiri dan hanya mengekor pada Pesantren API, bukan menjadi satu pengurusan dengan pesantren. Mbah Dur mempercayakan pengembangan lembaga ini kepada Gus Yusuf, Gus Izzuddin dan Gus Nashrul Arif. Disamping itu secara tidak langsung Mbah Dur membimbing ketiganya agar bisa mandiri dan mampu memahami psikologi pemikiran orang lain yang hanya mengarahkan anaknya pada sekolah umum untuk masuk ke pesantren.
Berkiprah dalam Politik
Pergumulan politik Mbah Dur bermula dari kampanye PPP menjelang pemilu 1977 karena disuruh sang ayah, walaupun kala itu Mbah Dur terbilang sudah sangat sepuh. Bagi Mbah Dur, pesan sang ayah untuk terjun ke dunia politik seakan menjadi wasiat terakhirnya. Karena, tepat satu minggu setelah penyelenggaraan pemilu 1977, ulama sepuh yang sangat dihormati di antero Jawa Tengah dan Jawa Timur itu wafat. Sejak tahun 1977 itulah kiprah politik Mbah Dur dimulai.
Karena itulah, begitu keran reformasi dibuka ulama NU mufakat untuk membentuk wadah aspirasi politik warga NU yang dikenal dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa. Namun sayang, seiring berjalannya waktu, partai politik warga NU mulai ngalor ngidul tanpa kejelasan. Upaya para kiai pendiri PKB untuk membenahi agar kembali berjalan di atas niatan awal tenyata kandas. Setelahnya, bersama 17 kiai besar lain, dengan dipromotori langsung oleh KH. Makruf Amin dan KH. Abdullah Faqih Langitan sepakat mendirikan partai baru dengan nama PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama). Mbah Dur terpilih menjadi Ketua Dewan Syura berdasar pengalaman politiknya.
Konsep kenegaraan yang akan diperjuangkan para kiai sehingga merasa perlu mendirikan partai ini adalah berpedoman pada pendapat para hukama, ahli hukum dan hikmah, suatu negara akan tegak jika mempunyai lima pondasi: yaitu diinun muttaba’, agama yang dilaksanakan secara konsekwen; sulthanun qahirun, pemerintahan yang berwibawa; ‘adlun syamil, keadilan yang menyeluruh; amnun ‘aam, keamanan yang merata; amalun fasih, aspirasi yang sehat.”
Wafat
Pada 24 Januari 2011 KH. Abdurrahman Chudlori wafat. Langit Tegalrejo yang semula cerah berubah berawan, seakan menahan tangis atas kepergian salah satu bintang terang negeri ini. Bukan hanya keluarga, santri, masyarakat dan warga NU yang kehilangan beliau, namun bangsa ini kehilangan kiai dengan segudang ilmu, kiai karismatik yang getol memperjuangkan Islam.
Kabar tentang meninggalnya Mbah Dur dengan cepat menyebar, membawa peziarah yang berdesak-desakan hadir untuk memberi penghormatan terahir kepada kiai karismatik ini. Mbah Dur dimakamkan di Pemakaman Keluarga Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.
Selengkapnya bisa dibaca di sini
(Wildan Shofa, dari berbagai sumber)