Penulis: Hilmy Firdausy
Di tahun 1951, Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Kiai Wahid Hasyim gagal memberangkatkan ¾ jamaah haji ke tanah suci Makkah. Sontak kasus ini menjadi pusat pembicaraan. Muncul suara-suara sumbang yang mempersoalkan segala hal sebagai biang kegagalan berangkatnya ribuan jamaah haji Indonesia. Mulai dari dugaan korupsi hingga manipulasi berita tentang wabah penyakit. Keributan yang pada akhirnya melahirkan interpelasi dari DPR kepada pihak kementerian.
Atorcator.Com - Tidaklah aneh, bilamana kekuasaan memonopoli itu besar sekali terhadap pihak jang dimonopoli, karena ibaratnja orang jang dimonopoli itu seperti seekor kutjing jang mendjilati kikir; ia merasakan darah jang keluar dari lidahnja itu nikmat sekali; ia tiada insjaf, bahwa darah itu adalah darahnja sendiri; ia tidak berhentinja mendjilati kikir tadi, sehingga habislah lidahnja, dan bersama dengan itu habis pulalah djiwanja.”
____ KH. Wahid Hasyim
Di tahun 1951, Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Kiai Wahid Hasyim gagal memberangkatkan ¾ jamaah haji ke tanah suci Makkah. Sontak kasus ini menjadi pusat pembicaraan. Muncul suara-suara sumbang yang mempersoalkan segala hal sebagai biang kegagalan berangkatnya ribuan jamaah haji Indonesia. Mulai dari dugaan korupsi hingga manipulasi berita tentang wabah penyakit. Keributan yang pada akhirnya melahirkan interpelasi dari DPR kepada pihak kementerian.
Pertanyaan yang diajukan DPR didasarkan pada banyak sekali kericuhan pemberitaan. Dugaan permainan uang dalam penyewaan kapal laut, masalah inkoordinasi pihak Kementerian Agama di Indonesia dan Arab mengenai wabah penyakit pes dan problem lainnya dipakai dan dijadikan argumentasi interpelasi untuk menguak apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Selain itu, pertanyaan dan upaya meragukan kebijakan haji Kementerian Agama pun melebar ke mana-mana. Selain dugaan korupsi, isu wabah dan lain sebagainya. Kiai Siradjuddin Abbas misalnya, mempertanyakan masalah fatwa “haji tidak wajib di tahun tersebut” dan regulasi “calon jamaah haji tidak boleh buta huruf dan harus dari kalangan orang mampu”.
Muncul juga tuduhan bahwa kegagalan keberangkatan jamaah haji disebabkan oleh persoalan rumit terkait jasa maskapai pelayaran. Saat itu, sebuah pelayaran asing Belanda-Inggris bernama “Kongsi Tiga” menjadi penguasa jasa pelayaran yang memonopoli dan menjadi kegiatan pengangkutan jamaah haji Indonesia ke Tanah Suci Mekkah. Dan ini sudah terjadi sejak zaman Belanda.
Dibanding dengan latar belakang dugaan-dugaan yang lain, saya kira upaya Kiai Wahid Hasyim dan Kementerian Agama di tahun 1951 untuk memutus monopoli pelayaran asing terkait agenda keberangkatan haji di Indonesia adalah problem yang paling rasional dan menjawab mengapa di tahun tersebut tiga per empat jamaah gagal diberangkatkan ke Mekkah. Namun sebelum merinci persoalan tersebut, begini cerita awalnya;
Pelaksanaan ibadah haji pernah ditutup tahun 1923 karena percahnya perang antara Raja Saud (kini keturunannya menjadi Raja-Raja Arab Saudi dan Sultan Syarif (keturunannya menjadi Raja-Raja Yordania). Di tahun 1926 tanah suci Mekkah kembali dibuka dan pelaksanaan ibadah haji kembali diizinkan. Di tahun tersebut masuklah maskapai pelayaran India untuk bersaing di Indonesia dalam hal jasa pengangkutan jamaah haji.
Pemerintah Belanda yang memang rakus sejak awal tidak suka dengan hadirnya maskapai baru yang menjadi sainganya itu. Di tahun yang sama ketika maskapai India ke Indonesia, Pemerintah menyusun sebuah ordonansi yang menguntungkan maskapai pelayaran Barat. Beberapa aturan yang tertera dalam ordonansi tersebut, yaitu:
Pertama, dek kapal yang dipakai untuk mengangkut jamaah haji haruslah terbuat dari kayu agar tidak panas ketika terkena matahari di tengah pelayaran dan membahayakan penumpang. Ordonansi ini didasarkan pada fakta bahwa dek kapal milik maskapai pelayaran Belanda seluruhnya terbuat dari kayu, sedangkan dek kapal milik India seluruhnya terbuat dari besi.
Kedua, setiap maskapai diwajibkan menyetor 150 rupiah untuk tiap jamaah haji yang diangkut sebagai jaminan jikalau nanti maskapai terkait tidak mampu memulangkan kembali jamaah haji ke Indonesia. Melalui dua aturan ini, maskapai India sedikit demi sedikit mundur dan maskapai pelayaran Belanda-Inggris semakin menancapkan monopoli pelayarannya di Indonesia.
Monopoli pelayaran asing [Barat] yang dilegitimasi berdasarkan ordonansi tahun 1926 tersebut terus menancapkan kuasanya sampai tahun 1950-an. Jamaah haji di Indonesia sudah bisa dipastikan menjadi jatah kapal-kapal Belanda dan Inggris.
Sampai akhirnya Kiai Wahid Hasyim muncul dan membuat gebrakan dengan mengupayakan memutus monopoli pelayaran dan menginisasi perusahaan jasa pelayaran milik negara. Langkah awalnya adalah menaikkan biaya haji dan mengalokasikannya untuk pembangunan maskapai pelayaran nasional, sembari memberikan jarak dan hentakan kecil kepada maskapai-maskapai asing yang selama ini memonopoli jasa pelayaran di Indonesia.
Atas kesadaran semacam itu, Kiai Wahid menjelaskan dengan lantang:
“Kewadjiban tiap tiap putera Indonesia jang pertimbangan serta pikirannja masih djernih, ialah berusaha untuk memetjahkan monopoli tadi, terutama bagi putera-putera Muslim Indonesia, jang diwadjibkan oleh agamanja akan mempunjai perlatan hidup ditangannja sendiri; apalagi bagi perdjalanan ibadat Hadji. Pemerintah sebagaimana disebutkan didalam instruksi bersama 6 Kementerian dan 3 Djawatan mengenai persiapan perdjalanan djemaah Hadji telah menentukan tambahan uang 500 rupiah untuk dibelikan saham maskapai pelajaran nasional; hal ini diputuskan oleh karena Pemerintah insjaf, bahwa biilamana usaha memetjahkan monopoli itu ditunda-tunda, maka akan berakibat kegagalan karena pihak Indonesia jang dikungkung makin lama makin lemah dan pihak monopoli makin lama makin kuat.
Soal memetjahkan monopoli ini bukanlah soal ekonomi semata-mata, tetapi terutama soal kekuasaan. Djika tidak segera kekuasaan diambil ditangan bangsa dan rakjat Indonesia, maka kekuasaan itu akan tetap dipegang oleh tangan jang semula buat selama-lamanja atau buat waktu jang sangat lama. Tidaklah aneh, bilamana kekuasaan memonopoli itu besar sekali terhadap pihak jang dimonopoli, karena ibaratnja orang jang dimonopoli itu seperti seekor kutjing jang mendjilati kikir; ia merasakan darah jang keluar dari lidahnja itu nikmat sekali; ia tiada insjaf, bahwa darah itu adalah darahnja sendiri; ia tidak berhentinja mendjilati kikir tadi, sehingga habislah lidahnja, dan bersama dengan itu habis pulalah djiwanja.”
Kiai Wahid Hasyim mengatakan bahwa memutus monopoli asing dan mengalihkan fokus pada pembangunan maskapai pelayaran nasional adalah kewajiban dan dipertintahkan langsung oleh agama. Menurutnya, dengan membiarkan monopoli terus bekerja, secara tidak langsung kita juga sedang membiarkan kekuasaan maskapai asing memperkuat dirinya.
Maka sudah saatnya, menurut Kiai Wahid, proses menghapus monopoli diupayakan. Konsekuensinya, di tahun tersebut; tahun awal upaya memutus monopoli, Kementerian Agama gagal memberangkatkan tiga per empat jamaah haji Indonesia ke tanah suci Mekkah.
Maka sudah saatnya, menurut Kiai Wahid, proses menghapus monopoli diupayakan. Konsekuensinya, di tahun tersebut; tahun awal upaya memutus monopoli, Kementerian Agama gagal memberangkatkan tiga per empat jamaah haji Indonesia ke tanah suci Mekkah.
Tulisan ini sebelumnya sudah diterbitkan di harakah.id dan bincangsyariah.com
- Hilmy Firdausy Mengajar di Pesantren Darus-Sunnah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta