Penulis: Abdul
Karem Munte
Sabtu 13 Juli
2019 06:00
Ilustrasi foto: Prof. Dr. Hazairin, SH |
Atorcator.Com -
Setiap pengkaji hukum di Indonesia pasti kenal sosok Hazairin. Pria
kelahiran Sumatera Barat pada 28 November 1906. Lahir dari keluarga yang taat
beragama, kakeknya adalah seorang ulama. Ia adalah guru besar hukum adat di
Universitas Indonesia.
Berbagai
terobosan hukum telah dilahirkan dari buah pemikiran beliau. Di antara yang
cukup fenomenal sekaligus kontroversial bagi sebagian orang adalah pandangan
beliau terkait kewarisan Islam. Hazairin memiliki pandangan yang berbeda soal
kewarisan. Perbedaan ini dilatar belakangi oleh pandangan beliau soal bentuk
keluarga yang dikehendaki oleh Islam.
Dari tiga
bentuk keluarga yang dikenal yaitu matrilineal yang melihat keturunan
berdasarkan garis keibuan, patrilineal yang melihat keturunan berdasarkan garis
bapak, dan bilateral yang melihat keturunan berdasarkan garis keturunan ibu dan
bapak. Beliau meyakini bahwa Islam sebenarnya mengingikan model bilateral.
Beberapa alasan
beliau kemukakan, di antaranya adalah terlihat dari aturan larangan perkawinan
dan sistem kewarisan Islam. Atas dasar pemikiran tersebut beliau mengeluarkan
beberapa pandangan yang berbeda dengan umumnya mazhab Syafi’i.
Beberapa contoh
di sini dapat kita lihat. Kewarisan saudara. Beliau melihat bahwa saudara tidak
tampil sebagai ahli waris jika masih ada keturunan pewaris. Tidak pengarus
apakah itu anak laki-laki atau perempuan. Beliau tidak melihat Bapak sebagai
penghalang saudara sebagai mewaris.
Terkait saudara
ini juga beliau tidak membedakan antara saudara sekandung, saudara sebapak, dan
saudara seibu. Semuanya adalah sama.
Pendangan lain
adalah cucu. Jika dalam mazhab al-Syafi’i cucu itu hanya dari anak laki-laki,
maka menurut Hazairin cucu itu tidak hanya dari anak laki-laki, tapi juga dari
anak perempuan. Dalam hal ini cucu dapat tampil sebagai ahli waris sebagai
pengganti dari anak atau orang tua cucu tersebut.
Demikian pula
halnya dengan kakek dan nenek. Jika dalam mazhab Syafi’i kakek dan nenek yang
mendapatkan warisan itu hanya yang sahih atau shahihah saja. Kakek shahih
menurut mazhab al-Syafi’i adalah kakek dari pihak bapak, sehingga kakek dari
pihak ibu tidak tampil sebagai ahli waris. Sedangkan nenek sahih adalah nenek
dan pihak bapak atau pihak ibu. Maka menurut hazairin semua kakek dan nenek
dapat tampil sebagai ahli waris, tinggal melihat posisi mereka dalam kelompok
keutamaan.
Beberapa
pendangan di atas turut mempengaruhi perkembangan fikih kewarisan Islam di
Indonesia. Pemikiran tersebut dapat kita lihat dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang dikeluarkan pada tahun 1991. Bahkan sampai saat ini model atau
manhaj beliau dalam merumuskan hukum kewarisan Islam tetap diterapkan dalam
beberapa kasus di Pengadilan Agama.
Pemikiran
beliau dalam hal ini sangat khas. Tidak berlebihan jika dikatakan beliau adalah
salah satu pelopor fikih Indonesia. Ahli hukum yang mampu melihat kondisi
masyarakat Indonesia dan nash-nash syari’ah.
Selama hidupnya
pemikiran lainnya dapat kita lihat dari karya-karya yang telah beliau lahirkan.
Pada 11 Desember 1975. Pada tahun 1999 Prof. Hazairin dianugerahi gelar
pahlawan nasional.
Wallahu a’lam
Selengkapnya di
sini
- Abdul Karim Munte Direktur el-Bukhari Institute dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.