Penulis: Prof. Rochmat Wahab
Rabu 21 Agustus 2019
Atorcator.Com - Peristiwa di Papua mewarnai Indonesia di saat-saat bangsa Indonesia merayakan HUT RI ke-74. Di satu sisi seluruh peserta upacara bersukaria menggunakan pakaian daerahnya masih-masing atau daerah lain dengan semangat persatuan, tetapi di sisi lain terjadi prahara berbasis ras. Suatu yang paradoks. Peristiwa ini tidak bisa dibiarkan, bahkan wajib menjadi prioritas pemerintah dan seluruh pihak untuk segera dituntaskan, sehingga tercapai persatuan dan kesatuan serta perdamaian.
Kita harus memberikan perhatian besar terhadap peristiwa yang terjadi di Jawa Timur dan Papua sebagaimana ungkapan para pimpinan daerah masing-masing. Pak Lukas E., Gubernur Papua, menyatakan bahwa “Kita sudah 74 tahun merdeka, seharusnya tindakan-tindakan intoleran, rasial, diskriminatif tidak boleh terjadi di negara Pancasila yang kita junjung bersama,". Juga “Tindakan rasial di Surabaya sangat menyakitkan," tambah dia. Yang tidak lama diikuti ungkapan permintaan maaf dari Ibu Khafifah IP, Gubernur Jatim dan Bapak Sutiaji, Walikota Malang Jatim atas peristiwa yang terjadi sebelumnya di Malang dan Surabaya.
Tiada reaksi tanpa aksi. Tak ada akibat tanpa sebab. Ada penyebab yang mudah dapat diidentifikasi, tetapi ada yang sulit diidentifikasi. Konflik terjadi bisa disebabkan oleh faktor internal, tetapi bisa juga faktor eksternal. Konflik bisa terawal dari ego personal, tetapi juga bisa berawal dari ego kolektif. Konflik skala kecil, jika tidak segera dituntaskan bisa membesar, terus membesar, dan bahkan bisa sampai pada tataran negara. Apapun bentuk konflik tidak akan pernah memberikan kepuasan, terutama yang terlibat konflik. Bahkan bisa merugikan pihak yang tidak terlibat dalam konflik. Karena itu rekonsiliasi dan kehidupan harmoni harus menjadi solusi.
Menurut Alfred Adler, ahli psikologi individual, menegaskan bahwa “man is unique”, manusia itu unik. Karena uniknya, manusia punya style of life sendiri-sendiri. Tidak ada yang sama antara individu yang satu dan lainnya. Bahkan kita juga diingatkan oleh Allah swt, dalam QS Al Hujurat:13, yang artinya, yaitu “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Dengan begitu individual differences merupakan fitrah manusia dan tidak bisa dihindari. Apapun perbedaan kita, KITA ADALAH BASODARA.
Kejadian manusia, baik sebagai individu, kelompok, suku, maupun bangsa, disamping oleh Tuhan diberi kekuatan ada kelemahan, di samping diberi kelebihan ada kekurangan, yang demikian ini bisa menjadikan sikap superior dan inferior. Yang memiliki kekuatan dan kelebihan harus bisa melindungi yang lemah dan kurang. Yang berkuasa wajib melindungi yang dikuasai. Dunia diciptakan secara fitrah untuk semua, tidak ada yang bisa menclaim memiliki lebih dari yang lain. Tidak bisa Adigang Adigung Adiguno, yaitu bersikap mentang-mentang. Yang mayoritas melindungi minoritas. Yang berkuasa melindungi dan melayani yang dikuasai. Yang berkuasa adalah khaadimul ummah (pelayan ummat). Karena itu tidak ada alasan sombong dan angker bagi penguasa. Ingat kekuasaan, kekuatan, atau kehebatan itu sementara.
Suatu kebijakan untuk menghargai local wisdom adalah sesuatu terpuji. Misalnya menggunakan penggunaan baju daerah adalah langkah positif. Membuat simbol penghargaan terhadap keunggulan hasil cipta leluhur, di samping memiliki keuntungan bagi industri kreatif, sehingga keunggulan daerah tetap terjaga dan berkembang. Upaya ini sebenarnya lebih pada keinginan untuk saling menghargai keunggulan masing-masing untuk tercipta kebanggaan bersama, sehingga persatuan dan kesatuan semakin menguat. Hal ini tidak cukup bersifat formalitas, namun yang jauh lebih penting adalah rasa respek, persatuan dan kesatuan serta suka perdamaian harus mengkarakter.
Di samping manusia sebagai makhluk individu, manusia juga sebagai makhluk sosial. Antara yang satu dan lainnya saling mengenal dan membantu. Demikian pula terjadi antara kelompok, suku, dan bangsa saling mengenal, hidup berdampingan saling membantu. Jika terjadi gesekan atau konflik bukan berakhir dengan saling menjatuhkan, bahkan merugikan, melainkan saling mengetahui mana yang menjaga kesamaan dan perbedaan, yang selanjutnya saling menghargai karena perbedaan itu menjadi kekuatan masing-masing. Jika itu bisa dimanaj, menjadi kekuatan yang lebih besar milik bersama.
Kita sangat mengapresiasi kehadiran suatu intitusi BPIP sebagai lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi kepada institusi terkait untuk implementasi. Kini saatnya BPIP segera mendorong implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan be negara secara benar dan konsekuen, sehingga tercipta kehidupan yang toleran, damai dan harmoni serta memperkuat persatuan dan kesatuan.
Peristiwa konflik yang pernah terjadi di Aceh, di Poso, di Ambon, dan Kalimantan Barat, serta yang terakhir di Papua, harus dijadikan pelajaran untuk kita semua, bangsa Indonesia. Ungkapan jargon yang baik-baik perlu segera diikuti dengan aksi nyata untuk hidup berdampingan dan saling toleran yang dilandasi dengan sikap respek antar sesama. Tindakan afirmatif terhadap warga negara RI yang berada di daerah 3T perlu terus digalakkan dan tindakan affirmatif lainnya terhadap warga dan masyarakat yang tak beruntung dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, geografis dan berkebutuhan khusus, sehingga setiap orang memperoleh perlindungan negara. Semoga Indonesia bersatu dan damai. Aamiin. (Rochmat Wahab, Yogyakarta, 21/08/2019, Rabu, pk. 08.35).
Rabu 21 Agustus 2019
Ilustrasi: jitunews.com |
Kita harus memberikan perhatian besar terhadap peristiwa yang terjadi di Jawa Timur dan Papua sebagaimana ungkapan para pimpinan daerah masing-masing. Pak Lukas E., Gubernur Papua, menyatakan bahwa “Kita sudah 74 tahun merdeka, seharusnya tindakan-tindakan intoleran, rasial, diskriminatif tidak boleh terjadi di negara Pancasila yang kita junjung bersama,". Juga “Tindakan rasial di Surabaya sangat menyakitkan," tambah dia. Yang tidak lama diikuti ungkapan permintaan maaf dari Ibu Khafifah IP, Gubernur Jatim dan Bapak Sutiaji, Walikota Malang Jatim atas peristiwa yang terjadi sebelumnya di Malang dan Surabaya.
Tiada reaksi tanpa aksi. Tak ada akibat tanpa sebab. Ada penyebab yang mudah dapat diidentifikasi, tetapi ada yang sulit diidentifikasi. Konflik terjadi bisa disebabkan oleh faktor internal, tetapi bisa juga faktor eksternal. Konflik bisa terawal dari ego personal, tetapi juga bisa berawal dari ego kolektif. Konflik skala kecil, jika tidak segera dituntaskan bisa membesar, terus membesar, dan bahkan bisa sampai pada tataran negara. Apapun bentuk konflik tidak akan pernah memberikan kepuasan, terutama yang terlibat konflik. Bahkan bisa merugikan pihak yang tidak terlibat dalam konflik. Karena itu rekonsiliasi dan kehidupan harmoni harus menjadi solusi.
Menurut Alfred Adler, ahli psikologi individual, menegaskan bahwa “man is unique”, manusia itu unik. Karena uniknya, manusia punya style of life sendiri-sendiri. Tidak ada yang sama antara individu yang satu dan lainnya. Bahkan kita juga diingatkan oleh Allah swt, dalam QS Al Hujurat:13, yang artinya, yaitu “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Dengan begitu individual differences merupakan fitrah manusia dan tidak bisa dihindari. Apapun perbedaan kita, KITA ADALAH BASODARA.
Kejadian manusia, baik sebagai individu, kelompok, suku, maupun bangsa, disamping oleh Tuhan diberi kekuatan ada kelemahan, di samping diberi kelebihan ada kekurangan, yang demikian ini bisa menjadikan sikap superior dan inferior. Yang memiliki kekuatan dan kelebihan harus bisa melindungi yang lemah dan kurang. Yang berkuasa wajib melindungi yang dikuasai. Dunia diciptakan secara fitrah untuk semua, tidak ada yang bisa menclaim memiliki lebih dari yang lain. Tidak bisa Adigang Adigung Adiguno, yaitu bersikap mentang-mentang. Yang mayoritas melindungi minoritas. Yang berkuasa melindungi dan melayani yang dikuasai. Yang berkuasa adalah khaadimul ummah (pelayan ummat). Karena itu tidak ada alasan sombong dan angker bagi penguasa. Ingat kekuasaan, kekuatan, atau kehebatan itu sementara.
Suatu kebijakan untuk menghargai local wisdom adalah sesuatu terpuji. Misalnya menggunakan penggunaan baju daerah adalah langkah positif. Membuat simbol penghargaan terhadap keunggulan hasil cipta leluhur, di samping memiliki keuntungan bagi industri kreatif, sehingga keunggulan daerah tetap terjaga dan berkembang. Upaya ini sebenarnya lebih pada keinginan untuk saling menghargai keunggulan masing-masing untuk tercipta kebanggaan bersama, sehingga persatuan dan kesatuan semakin menguat. Hal ini tidak cukup bersifat formalitas, namun yang jauh lebih penting adalah rasa respek, persatuan dan kesatuan serta suka perdamaian harus mengkarakter.
Di samping manusia sebagai makhluk individu, manusia juga sebagai makhluk sosial. Antara yang satu dan lainnya saling mengenal dan membantu. Demikian pula terjadi antara kelompok, suku, dan bangsa saling mengenal, hidup berdampingan saling membantu. Jika terjadi gesekan atau konflik bukan berakhir dengan saling menjatuhkan, bahkan merugikan, melainkan saling mengetahui mana yang menjaga kesamaan dan perbedaan, yang selanjutnya saling menghargai karena perbedaan itu menjadi kekuatan masing-masing. Jika itu bisa dimanaj, menjadi kekuatan yang lebih besar milik bersama.
Kita sangat mengapresiasi kehadiran suatu intitusi BPIP sebagai lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi kepada institusi terkait untuk implementasi. Kini saatnya BPIP segera mendorong implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan be negara secara benar dan konsekuen, sehingga tercipta kehidupan yang toleran, damai dan harmoni serta memperkuat persatuan dan kesatuan.
Peristiwa konflik yang pernah terjadi di Aceh, di Poso, di Ambon, dan Kalimantan Barat, serta yang terakhir di Papua, harus dijadikan pelajaran untuk kita semua, bangsa Indonesia. Ungkapan jargon yang baik-baik perlu segera diikuti dengan aksi nyata untuk hidup berdampingan dan saling toleran yang dilandasi dengan sikap respek antar sesama. Tindakan afirmatif terhadap warga negara RI yang berada di daerah 3T perlu terus digalakkan dan tindakan affirmatif lainnya terhadap warga dan masyarakat yang tak beruntung dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, geografis dan berkebutuhan khusus, sehingga setiap orang memperoleh perlindungan negara. Semoga Indonesia bersatu dan damai. Aamiin. (Rochmat Wahab, Yogyakarta, 21/08/2019, Rabu, pk. 08.35).