Penulis:
Rifan Haqiqi
Senin
26 Agustus 2019
Ilustrasi: Madina online |
Atorcator.Com
- Beragama
(Islam) berarti bersikap moderat, tidak ekstrem. Itulah pendapat Imam Ḥasan
Al-Bashri yang dinukil Syaikh ‘Abdullah bin Bayyah dalam Khitāb al-Amn
fi al-Islām wa tsaqāfah al-Tasāmuḥ wa al-Wi`ām, kata beliau:
فَالدِّيْنُ
وَاسِطَةٌ بَيْنَ الْغُلُوِّ وَالتَّقْصِيْرِ كَمَا يَقُوْلُ التَّابِعِيُّ
الجَلِيْلُ الحَسَنُ البَصْرِيُّ وَكَذَا قَالَ ابْنُ عِبَادِ النَّفْزِيُّ “وَلَا
شَيْءَ أَشَدَّ عَلَى النَّفْسِ مِنْ مُتَابَعَةِ الشَّرْعِ وَهُوَ التَّوَسُّطُ
فِي الْأُمُوْرِ كَلِّهَا فَهِيَ أَبَدًا مُتَفَلِّتَةٌ إِلَى أَحَدِ
الطَّرَفَيْنِ لِوُجُوْدِ هَوَاهَا فِيْهِ “
“Beragama
(Islam) berarti berada di posisi moderat, tidak ekstrem kanan atau kiri,
seperti yang pernah diungkapkan Imam Ḥasan Bashri. Mengenai hal ini, Ibn
‘Ibād Al-Nafzī mengatakan “Berada di jalan syariat adalah hal terberat untuk
dilakukan, karena hal itu berarti selalu bersikap adil dan berada di
tengah-tengah (moderat) dalam segala hal”
Kebalikan
dari moderat adalah ekstrem (tatharruf) yang dalam hal ini terbagi
menjadi dua, kanan dan kiri, ekstrem kanan (ghuluw) adalah sikap
berlebih-lebihan dalam beragama, menyusahkan dan memberatkan (takalluf),
sedangkan ekstrem kiri (taqshīr) adalah sikap teledor dalam beragama
yang disebabkan kurangnya perhatian terhadap urusan agama. Keduanya sama-sama
tidak dapat dibenarkan, tidak perlu uraian panjang untuk menjelaskan kekeliruan
ekstrem kiri (taqshīr), dilihat dari bentuknya saja sudah bisa
membuktikan bahwa hal itu salah. Beda halnya dengan ekstrem kanan, banyak orang
yang terjebak dalam hal ini, sikap berlebih-lebihan dianggap sebagai kewajiban.
Allah Swt berfirman:
يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوْا فِي دِيْنِكُمْ (النساء : 171)
“Wahai
Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam beragama” (QS. Al-Nisā` : 171)
Ayat
tersebut adalah seruan untuk orang Nasrani agar tidak berlebihan dalam
beragama, dalam kasus ini adalah pemujaan mereka kepada nabi Isa As yang
berlebihan. Tapi seruan untuk tidak berlebihan dalam beragama tersebut tidak
hanya ditujukan kepada mereka, namun juga kepada umat muslim. Larangan ini
dipertegas oleh Nabi Saw dalam sabdanya:
إِيَّاكُمْ
وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ
فِي الدِّيْنِ (رواه ابن خزيمة)
“Berhati-hatilah
dengan sikap berlebih-lebihan dalam beragama, sesungguhnya sebab hancurnya umat
sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan dalam beragama” (HR. Ibn Khuzaimah)
Keharusan
bersikap moderat (tengah-tengah) tersebut adalah sebagai penyelaras dari ajaran
Islam sendiri, yang mana selalu berusaha membuat keadaan menjadi normal dan
berimbang, tidak terdominasi satu sisi baik kiri atau kanan. Karena kepentingan
menyeimbangkan inilah syariat menjadi bermacam, ada yang bercorak memberatkan (tasydīd)
seperti hukum-hukum yang berbentuk larangan, ancaman, dan peringatan keras guna
ditujukan kepada orang yang teledor dan kurang memperhatikan urusan agama, ada
yang ringan (takhfīf) seperti kringanan hukum (rukhshah) agar
diperuntukkan kepada orang yang dalam keadaan sulit, atau dogma-dogma yang
menjelaskan rahmat dan kemurahan Allah Swt sebagai ‘penenang’ bagi orang yang
rasa takutnya (khauf) kepada Allah Swt lebih dominan daripada mengharap
rahmatnya (rajā`). Allah Swt Berfirman :
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ
الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا (البقرة : 143)
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah : 143)
Imam
Al-Thabari dalam kitab Tafsirnya berpendapat bahwa maksud kata adil pada ayat
di atas adalah sebuah posisi tengah di antara dua sisi, maksudnya adalah umat
Islam dijadikan umat yang adil, tidak berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw)
seperti umat Nasrani yang berlebihan mengkultuskan nabi Isa As dan tidak
teledor (taqshīr) seperti umat Yahudi yang menalsukan kitab suci mereka
dan membunuh para nabi. Ibn Qayyim dalam Madārij al-Sālikīn mengatakan:
قَالَ
صَاحِبُ الْمَنَازِلِ الْأَدَبُ حِفْظُ الْحَدِّ بَيْنَ الْغُلُوِّ
وَالْجَفَاءِ بِمَعْرِفَةِ ضَرَرِ الْعُدْوَانِ هَذَا مِنْ أَحْسَنِ الْحُدُودِ
فَإِنَّ الِانْحِرَافَ إِلَى أَحَدِ طَرَفَيِ الْغُلُوِّ وَالْجَفَاءِ هُوَ
قِلَّةُ الْأَدَبِ وَالْأَدَبُ الْوُقُوفُ فِي الْوَسَطِ بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ
فَلَا يُقَصِّرُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ عَنْ تَمَامِهَا وَلَا يَتَجَاوَزُ بِهَا مَا
جُعِلَتْ حُدُودًا لَهُ فَكِلَاهُمَا عُدْوَانٌ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُعْتَدِينَ وَالْعُدْوَانُ هُوَ سُوءُ الْأَدَبِ وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ
دِينُ اللَّهِ بَيْنَ الْغَالِي فِيهِ وَالْجَافِي عَنْهُ
“Penulis
kitab Al-Manāzil berkata: Adab berarti tetap konsisten pada keadaan seimbang,
di tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan teledor, sesungguhnya kecondongan
pada salah satu dari dua hal tersebut adalah hal yang biadab, karena adab
terletak pada keseimbangan antara keduanya, dengan tidak teledor pada
aturan-aturan yang ditetapkan syariat, juga tidak melewati batas aturan-aturan
tersebut, karena kedua hal itu adalah kelaliman, dan Allah tidak menyukai
hambanya yang yang lalim. Sebagian Ulama berkata: Agama Allah terletak di
tengah-tengah antara dua sifat ekstrem; kanan dan kiri”
Islam
ditinjau dari perspektif yang luas sebagaimana telah dijelaskan memberikan
pengertian bahwa Islam adalah agama damai. Bahkan Islam adalah esensi kedamaian
itu sendiri. Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana kedudukan Islam dalam
menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Dengan demikian, segala bentuk tindakan
yang tidak mencerminkan kedamaian bukanlah sesuatu yang autentik Islam. Dan hal
itu muncul akibat pemahaman yang salah dan tidak komperhensif mengenai Islam.
Source
selengkapnya bisa dibaca di BincangSyariah.Com
Rifan
Haqiqi Penulis merupakan pengajar di Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien, Kediri dan Madrasah Diniyah Haji Ya'qub, Kediri. Penulis
juga aktif di berbagai forum Bahtsul Masail