Penulis: Moh. Syahri
Selasa 13 Agustus 2019
Atorcator.Com - Tidak sengaja ketika saya menghadiri undangan ke ndalem kiai di kampung saya, sebut saja kiai Ahmad tiba-tiba ada tamu yang datang bersamaan penuh takzim dan merendah luar biasa di hadapan kiai itu. Orang Madura menghormat kiai seringkali melebihi penghormatan kepada orang tuanya sendiri.
Kiai ini memang dikenal dengan kiai yang alim, wara', bisa juga ceramah, bahkan konon katanya juga pernah nabligh ke pelosok Jawa. Sekalipun kiai ini orang Madura asli yang tinggal di desa yang kampungnya kampung tapi ia paham dan fasih bahasa Jawa, bahkan sampai-sampai ke kromo-kromonya. Luar biasanya, kiai ini juga dikenal dengan kiai yang selalu siap ditanya apa saja, suka menolong dengan kemampuan ilmu yang dimiliki. Tak heran, jika banyak tamu yang datang, mulai dari pejabat, petani, birokrasi dan politisi. Kabarnya kiai ini juga punya kedigdayaan. Maklum, hidup di kampung selain harus alim juga harus sakti dan penuh dedikasi untuk menjaga keamanan desanya.
Berdasarkan pengalaman, kiai ini memang tampak sederhana, bersahaja, penuh bijaksana, dan seolah-olah tau banyak hal. Kiai ini sangat waskita, karenanya banyak para petani sowan ke beliau kapan saat yang tepat untuk menebar benih tanaman, kapan saat yang tepat untuk manen tanaman, dan upaya yang harus dilakukan untuk mewaspadai hama tanaman yang menyerang.
Bersamaan dengan itu, ada satu petani yang sowan ke beliau prihal tanaman tembakaunya untuk dipanen di keesokan harinya:
Been apa Cong? (Kamu ada perlu apa cong), Tanya beliau dengan kalimat yang singkat tapi mudah dipahami. Sebenarnya beliau sangat akrab dan kenal dengan petani itu namun karena keakrabannya beliau biasa memanggil "Cong".
Abdina molongah bekoh kakdintoh, (Saya mau memanen tembakau kiai). Jawab petani itu yang sebenarnya bukan jawaban tapi semacam pemberitahuan. Tapi sang kiai itu langsung paham sekalipun petani itu tidak menjelaskan maksud dan tujuannya ke ke kiai itu lantas berkata:
"Oh, iyeh-iyeh, Mon reng tanih lakar jet kodhu pabennyak bis cabisan, lebih-lebih nyo'on dua' ka kiai ben Ulama sebab reng tanih apapole engak osom pekoh reyah kabennyaan paya, lessoh, ben deng-deng, deddi bisa-bisa tak sempat kaangguy adua' ka pengeran kalaben khosok, karena repot ngurus taninah" (O iya iya, klo petani memang harus memperbanyak sowan, minta doa ke kiai dan ulama, sebab petani apalagi musim tembakau seperti ini kebanyakan payah, letih, dan bisa bikin pusing. Jadi tak sempat berdoa secara khusyuk kepada Allah karena sibuk dengan taninya)", ungkapnya dengan nada yang sangat halus dan lembut.
"Engki" (iya), Jawab petani dengan memanggutkan kepalanya layaknya orang yang memang benar-benar mendengarkan.
"Benni polanah engkok terro ecabisnah been. Enjek. Ka sapaah beih" (Bukan karena saya ingin disowani kamu. Tidak. Kesiapa saja boleh sowan), Lanjut kiai dengan penuh ketegasan.
Begitulah cara kiai menasehati masyarakat, santri dan siapapun yang datang ke beliau. Halus, lembut, dan sarat dengan ilmu pranata sosial.
Selang beberapa saat kemudian, kiai datang membawa buntelan kecil yang terbuat dari plastik. Lalu kemudia diserahkan ke petani dengan seraya dauh:
"Dekkik reyah camporaki ben gulenah se etabureh ka pekoh pasatan" (Ini nanti campurkan dengan gula yang akan ditabur ke tembakaunya). Tambahnya.
Orang Madura termasuk orang-orang yang ada di kampung saya masih kuat dan tinggi kepercayaannya dengan kiai untuk ngalap berkah. Termasuk urusan tani, penganten, nyelametin anak saat melahirkan, nyelametin motor yang baru dibeli.
Ini merupakan bentuk kepercayaan diri dari orang Madura akan barakah yang datang melalu sosok kiai dan guru yang memiliki dedikasi nyata terhadap peradaban keilmuan dan memiliki kekuatan supranatural. Inilah kenapa orang Madura begitu respek dan tidak terima manakala ada kiai yang dilecehkan bahkan diinjak-injak kehormatannya. Contoh sederhananya adalah Gus Dur ketika dulu dilengserkan dari kursi kepresidenan dengan cara yang tak berkeadaban.
Wallahu a'lam
Moh. Syahri Founder Atorcator | Santri Darul Istiqomah Batuan Sumenep Madura
Selasa 13 Agustus 2019
Ilustrasi foto: aktual |
Kiai ini memang dikenal dengan kiai yang alim, wara', bisa juga ceramah, bahkan konon katanya juga pernah nabligh ke pelosok Jawa. Sekalipun kiai ini orang Madura asli yang tinggal di desa yang kampungnya kampung tapi ia paham dan fasih bahasa Jawa, bahkan sampai-sampai ke kromo-kromonya. Luar biasanya, kiai ini juga dikenal dengan kiai yang selalu siap ditanya apa saja, suka menolong dengan kemampuan ilmu yang dimiliki. Tak heran, jika banyak tamu yang datang, mulai dari pejabat, petani, birokrasi dan politisi. Kabarnya kiai ini juga punya kedigdayaan. Maklum, hidup di kampung selain harus alim juga harus sakti dan penuh dedikasi untuk menjaga keamanan desanya.
Berdasarkan pengalaman, kiai ini memang tampak sederhana, bersahaja, penuh bijaksana, dan seolah-olah tau banyak hal. Kiai ini sangat waskita, karenanya banyak para petani sowan ke beliau kapan saat yang tepat untuk menebar benih tanaman, kapan saat yang tepat untuk manen tanaman, dan upaya yang harus dilakukan untuk mewaspadai hama tanaman yang menyerang.
Bersamaan dengan itu, ada satu petani yang sowan ke beliau prihal tanaman tembakaunya untuk dipanen di keesokan harinya:
Been apa Cong? (Kamu ada perlu apa cong), Tanya beliau dengan kalimat yang singkat tapi mudah dipahami. Sebenarnya beliau sangat akrab dan kenal dengan petani itu namun karena keakrabannya beliau biasa memanggil "Cong".
Abdina molongah bekoh kakdintoh, (Saya mau memanen tembakau kiai). Jawab petani itu yang sebenarnya bukan jawaban tapi semacam pemberitahuan. Tapi sang kiai itu langsung paham sekalipun petani itu tidak menjelaskan maksud dan tujuannya ke ke kiai itu lantas berkata:
"Oh, iyeh-iyeh, Mon reng tanih lakar jet kodhu pabennyak bis cabisan, lebih-lebih nyo'on dua' ka kiai ben Ulama sebab reng tanih apapole engak osom pekoh reyah kabennyaan paya, lessoh, ben deng-deng, deddi bisa-bisa tak sempat kaangguy adua' ka pengeran kalaben khosok, karena repot ngurus taninah" (O iya iya, klo petani memang harus memperbanyak sowan, minta doa ke kiai dan ulama, sebab petani apalagi musim tembakau seperti ini kebanyakan payah, letih, dan bisa bikin pusing. Jadi tak sempat berdoa secara khusyuk kepada Allah karena sibuk dengan taninya)", ungkapnya dengan nada yang sangat halus dan lembut.
"Engki" (iya), Jawab petani dengan memanggutkan kepalanya layaknya orang yang memang benar-benar mendengarkan.
"Benni polanah engkok terro ecabisnah been. Enjek. Ka sapaah beih" (Bukan karena saya ingin disowani kamu. Tidak. Kesiapa saja boleh sowan), Lanjut kiai dengan penuh ketegasan.
Begitulah cara kiai menasehati masyarakat, santri dan siapapun yang datang ke beliau. Halus, lembut, dan sarat dengan ilmu pranata sosial.
Selang beberapa saat kemudian, kiai datang membawa buntelan kecil yang terbuat dari plastik. Lalu kemudia diserahkan ke petani dengan seraya dauh:
"Dekkik reyah camporaki ben gulenah se etabureh ka pekoh pasatan" (Ini nanti campurkan dengan gula yang akan ditabur ke tembakaunya). Tambahnya.
Orang Madura termasuk orang-orang yang ada di kampung saya masih kuat dan tinggi kepercayaannya dengan kiai untuk ngalap berkah. Termasuk urusan tani, penganten, nyelametin anak saat melahirkan, nyelametin motor yang baru dibeli.
Ini merupakan bentuk kepercayaan diri dari orang Madura akan barakah yang datang melalu sosok kiai dan guru yang memiliki dedikasi nyata terhadap peradaban keilmuan dan memiliki kekuatan supranatural. Inilah kenapa orang Madura begitu respek dan tidak terima manakala ada kiai yang dilecehkan bahkan diinjak-injak kehormatannya. Contoh sederhananya adalah Gus Dur ketika dulu dilengserkan dari kursi kepresidenan dengan cara yang tak berkeadaban.
Wallahu a'lam
Moh. Syahri Founder Atorcator | Santri Darul Istiqomah Batuan Sumenep Madura