Penulis: Ninoy N Karundeng
Rabu 21 Agustus 2019
Atorcator.Com - Sejak sebelum Pilpres 2019, bahkan sejak keberhasilan kampanye Pilgub Ayat dan Mayat 2017, Jokowi telah memperingatkan ancaman terhadap keutuhan NKRI. Bahaya radikalisme, terorisme, korupsi, Ikhwanul Muslimin, Wahabi, khilafah ada di depan mata. Maka salah satu ancaman terbesar ya HTI. Ormas berideologi khilafah dibubarkan oleh Jokowi. Selesai? Tidak.
Keberanian Jokowi membubarkan HTI menimbulkan perlawanan. Bahkan parpol GerIndra, PAN, PKS mendorong HTI untuk banding. Tak hanya itu, politik identitas agama dipraktikkan untuk menggerakkan sentimen SARA, demi nafsu politik.
Pilgub DKI 2017
Kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 adalah contoh efektif meruntuhkan nalar, logika, akal sehat politik warga DKI Jakarta yang dianggap cerdas. Soal politik digiring ke ranah iman, suku, agama, ras, dan antar golongan.
Masjid dijadikan tempat persemaian intoleransi, politisasi masjid terjadi. Pembiaran terjadi. Kisah Djarot usai salat Jumat diusir pun benar terjadi – karena perbedaan keyakinan politik. Kata Djarot: “Itulah bentuk yang saya sebut sebagai politisasi masjid, untuk kepentingan-kepentingan politik praktis.”
Intoleransi akibat perbedaan pilihan politik disebarkan. Bahkan, ancaman jika seseorang memilih Ahok, maka kalau mati tidak akan disalatkan digeber ke pelosok Jakarta. Aneh. Dan, itu terjadi. Nenek Hindun yang memilih Ahok tidak disalatkan di musala, tak ada warga yang menyolatkan selain keluarganya dan Ustadz Syafii.
Kemenangan Anies Baswedan sebagai simbol kemenangan kaum intoleran, ingin dilanjutkan ke Pilpres 2019. Intrik saling tunggang terjadi antara kaum intoleran dan politikus. Prabowo dianggap representasi Islam – lewat dukungan Ijtima yang meng-klaim sebagai representasi ulama. Publik yang cenderung mendukung intoleransi merapat, muncullah FPI, FUI, PKS, Garis, eks HTI, mendukung Prabowo. Gagal. Selesai? Tidak.
Somad Simbol Pergerakan
Somad. Dia adalah bagian dari rasa keimanan pendukungnya. Sementara perasaan didzolimi, teraniaya, adalah senjata penggerak sentimen SARA. Maka pasca kekalahan Prabowo, video 3,5 tahun lalu disebar. Tujuannya? Pemenjaraan Somad. Selesai? Tidak.
Harapan skenario-nya, Somad yang dipenjara akan menjadi isu besar: Jokowi mengriminalisasi ulama. Isu yang disebar dan mati-matian pendukung Jokowi meng-counter, meluruskan, melawan hoaks tersebut. Suasana panas pro-kontra mengalir deras di medsos.
Sebagian Netizen setuju Somad dibawa ke ranah hukum. Sebagian Netizen menahan diri paham terhadap dampak dan akibat jebakan Batman, jika pemenjaraan Somad terjadi. Api panas akan membara dari puing bara yang hampir padam pasca Pilpres 2019. Bisa membakar seluruh negeri.
Kaum Kristiani pun menahan diri, diajak untuk memberikan pemaafan terhadap ucapan dan video provokatif Somad. Mengikuti teladan perilaku Yesus. Belum mereda.
Surabaya dan Malang
Maka meledaklah komentar menohok dari Malang dan Surabaya. Bahkan yang di Surabaya, kaum FPI dan PP bersatu. Kisruh pun membakar Manokwari, Sorong, dan Jayapura. Pemerintah Papua, Jatim, Papua Barat, Walikota Malang, semua bergerak meredakan situasi. Hoaks bersebaran dan dikembangkan di Manokwari, Jayapura, Sorong, maka mereka terpancing berita hoaks.
Warga di Jawa Timur, Jateng dan Jabar pun harus menghargai saudara-saudara kita dari Papua yang kebetulan ada di Jawa. Demikian kata Tito Karnavian.
“Ada ketersinggungan, sebagai sebangsa dan setanah air, saling memaafkan itu baik,” kata Jokowi menanggapi situasi di Papua.
Pernyataan Jokowi itu juga layak direnungkan untuk meredakan situasi di Papua. Ini juga pesan untuk situasi panas di Medsos soal Somad. Dua ketersinggungan yang kebetulan menyasar tepat ke Papua yang mayoritas adalah penganut Kristiani.
Kebetulan yang harus dicegah. Tidak memberi ruang bagi pergerakan untuk menjadikan Indonesia seperti Syria. Menggagalkan upaya para teroris, khilafah, dan begundal politik, untuk men-Syiria-kan Indonesia. Agar Indonesia hancur dan terjadi perang saudara. Jangan sampai!
(Penulis: Ninoy N Karundeng)
Rabu 21 Agustus 2019
ilustrasi foto: republika |
Keberanian Jokowi membubarkan HTI menimbulkan perlawanan. Bahkan parpol GerIndra, PAN, PKS mendorong HTI untuk banding. Tak hanya itu, politik identitas agama dipraktikkan untuk menggerakkan sentimen SARA, demi nafsu politik.
Pilgub DKI 2017
Kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 adalah contoh efektif meruntuhkan nalar, logika, akal sehat politik warga DKI Jakarta yang dianggap cerdas. Soal politik digiring ke ranah iman, suku, agama, ras, dan antar golongan.
Masjid dijadikan tempat persemaian intoleransi, politisasi masjid terjadi. Pembiaran terjadi. Kisah Djarot usai salat Jumat diusir pun benar terjadi – karena perbedaan keyakinan politik. Kata Djarot: “Itulah bentuk yang saya sebut sebagai politisasi masjid, untuk kepentingan-kepentingan politik praktis.”
Intoleransi akibat perbedaan pilihan politik disebarkan. Bahkan, ancaman jika seseorang memilih Ahok, maka kalau mati tidak akan disalatkan digeber ke pelosok Jakarta. Aneh. Dan, itu terjadi. Nenek Hindun yang memilih Ahok tidak disalatkan di musala, tak ada warga yang menyolatkan selain keluarganya dan Ustadz Syafii.
Kemenangan Anies Baswedan sebagai simbol kemenangan kaum intoleran, ingin dilanjutkan ke Pilpres 2019. Intrik saling tunggang terjadi antara kaum intoleran dan politikus. Prabowo dianggap representasi Islam – lewat dukungan Ijtima yang meng-klaim sebagai representasi ulama. Publik yang cenderung mendukung intoleransi merapat, muncullah FPI, FUI, PKS, Garis, eks HTI, mendukung Prabowo. Gagal. Selesai? Tidak.
Somad Simbol Pergerakan
Somad. Dia adalah bagian dari rasa keimanan pendukungnya. Sementara perasaan didzolimi, teraniaya, adalah senjata penggerak sentimen SARA. Maka pasca kekalahan Prabowo, video 3,5 tahun lalu disebar. Tujuannya? Pemenjaraan Somad. Selesai? Tidak.
Harapan skenario-nya, Somad yang dipenjara akan menjadi isu besar: Jokowi mengriminalisasi ulama. Isu yang disebar dan mati-matian pendukung Jokowi meng-counter, meluruskan, melawan hoaks tersebut. Suasana panas pro-kontra mengalir deras di medsos.
Sebagian Netizen setuju Somad dibawa ke ranah hukum. Sebagian Netizen menahan diri paham terhadap dampak dan akibat jebakan Batman, jika pemenjaraan Somad terjadi. Api panas akan membara dari puing bara yang hampir padam pasca Pilpres 2019. Bisa membakar seluruh negeri.
Kaum Kristiani pun menahan diri, diajak untuk memberikan pemaafan terhadap ucapan dan video provokatif Somad. Mengikuti teladan perilaku Yesus. Belum mereda.
Surabaya dan Malang
Maka meledaklah komentar menohok dari Malang dan Surabaya. Bahkan yang di Surabaya, kaum FPI dan PP bersatu. Kisruh pun membakar Manokwari, Sorong, dan Jayapura. Pemerintah Papua, Jatim, Papua Barat, Walikota Malang, semua bergerak meredakan situasi. Hoaks bersebaran dan dikembangkan di Manokwari, Jayapura, Sorong, maka mereka terpancing berita hoaks.
Warga di Jawa Timur, Jateng dan Jabar pun harus menghargai saudara-saudara kita dari Papua yang kebetulan ada di Jawa. Demikian kata Tito Karnavian.
“Ada ketersinggungan, sebagai sebangsa dan setanah air, saling memaafkan itu baik,” kata Jokowi menanggapi situasi di Papua.
Pernyataan Jokowi itu juga layak direnungkan untuk meredakan situasi di Papua. Ini juga pesan untuk situasi panas di Medsos soal Somad. Dua ketersinggungan yang kebetulan menyasar tepat ke Papua yang mayoritas adalah penganut Kristiani.
Kebetulan yang harus dicegah. Tidak memberi ruang bagi pergerakan untuk menjadikan Indonesia seperti Syria. Menggagalkan upaya para teroris, khilafah, dan begundal politik, untuk men-Syiria-kan Indonesia. Agar Indonesia hancur dan terjadi perang saudara. Jangan sampai!
(Penulis: Ninoy N Karundeng)