Penulis: Masykuri Ismail
Selasa 6 Agustus 2019
Atorcator.Com - Suatu ketika KHR. Ach Fawaid As'ad silaturahmi, sowan ke KH. Maemun Zubair di pondok pesantren Sarang Rembang Jawa Tengah. Dalam silaturahmi Kiai Fawaid hanya diikuti oleh bu Nyai Djuwairiyah dan beberapa orang saja, termasuk saya.
Rombongan hanya satu mobil, carnival. Begitu tiba di kediaman KH. Maemun Zubair, spt biasanya kedua kiai kharismatik itu saling bersalaman dan sama2 cium tangan. Saya hanya mendengarkan dan melihat saja. Selang beberapa saat, Kiai Fawaid berpamitan untuk pulang ke Sukorejo. Saya awalnya menganggap biasa2 saja karena kedua kiai tersebut memang biasa saling bersilaturahmi.
Begitu pamit dan keluar dari pintu, ternyata Mbah Moen, panggilan umat pada umumnya, tidak cukup mengantarkan ke pintu, beliau mengantarkan Kiai Fawaid sambil bergandengan tangan sampai ke jalan raya dan pintu mobil Kiai Fawaid. Saya berjalan di belakang beliau berdua. Dalam hati saya bergumam, apakah Mbah Mun biasa mengantar setiap tamunya sampai ke jalan raya? Atau hanya orang2 tertentu saja?
Selain saya ikut rombongan bersama Kiai Fawaid, ketika masih menjadi santri aktif saya juga pernah diutus oleh Kiai Fawaid untuk mengantarkan surat undangan ceramah di pondok pesantren tempat saya mengabdi dan menuntut ilmu. Mbah Mun figur kiai yang sangat menghargai setiap orang yang bertamu. Saya sebenarnya hanya mengantarkan surat saja, tdk lebih dari itu.
Namun ketika saya menyampaikan salam Kiai Fawaid sembari menyerahkan surat, Kiai Maemun mengajak saya untuk sarapan dulu lalu dilanjut dengam memberikan tausiyah kepada saya tentang pentingnya ilmu dan kewajiban menyebarkan kepada siapa saja. Beruntung saya bisa mengaji walau dalam waktu hampir satu jam. Dan beliau, Kiai Maemun benar2 memenuhi undangan Kiai Fawaid untuk mengisi ceramah dalam forum seminar di aula pondok pesantren
Pada kesempatan lain, Kiai Maemun juga menghadiri undangan haul almarhumain di pondok Sukorejo, saat itu yang menjadi pembawa acara ustad Moh. Ihsan Saleh (alrmarhum, kepadanya al fatihah).
Setelah acara haul, habis maghrib di kediaman Kiai Fawaid dilangsungkan acara halaqoh yang juga dihadiri Kiai Maemun, beberapa kiai dan tokoh2 lainnya, saya bertugas mencatat jalannya halaqoh. Saat tiba giliran salah satu tokoh menyampaikan pendapat dan pemikirannya, Kiai Maimun begitu serius memperhatikan...
Ternyata perhatian Kiai Maemun kepada salah satu tokoh tersebut berbuntut panjang. Kiai Maemun (setelah pulang dan beberapa hari kemudian) tersinggung dengan sikap dan gaya bicara tokoh tersebut. Kiai Fawaid sebagai tuan rumah merasa tidak nyaman mendengar berita ketersinggungannya. Apa ya kira2 yang membuat beliau sampai tersinggung, dawuh Kiai Fawaid kepada saya. Kamu harus sowan ke Kiai Maemun untuk tabayyun, krn kamu yg menjadi salah satu saksi dalam halaqoh, perintah Kiai Fawaid kepada saya.
Saya berangkat berdua bersama Haji Faisol (untuk gantian nyetir mobil, dan skr Ji Faisol terpilih kembali mjd anggota dewan di Situbondo). Karena tiba malam hari di Sarang, saya dipersilahkan untuk bermalam. Esok harinya, setelah Kiai Maemun memberikan pengajian, saya diberi kesempatan untuk sowan. Dan betul, Kiai Maemun menyampaikan ketersinggungannya dalam pertemuan halaqoh di Sukorejo. Selain saya, ada Kiai Bahri dari Jember yg juga ikut sowan. Ternyata yg membuat tersinggung adalah gaya bicara dengan menggerakkan tangan kirinya, dan kebetulan tokoh tersebut berdampingam dengan Kiai Fawaid saat halaqoh. Tidak pantas berbicara di dekat Kiai Fawaid dengan seenaknya menggerakkan tangan kirinya, tidak pantas dan tidak sopan.
Kiai Fawaid itu bukan kiai sembarangan, beliau putra waliyullah, putra Kiai As'ad, dan dalam benak saya Kiai Fawaid adalah walinya Allah juga. Demi Allah saya tersinggung, dawuh Kiai Maemun. Maskuri kan ikut juga dan menjadi saksi pertemuan halaqoh, enjih kiai, saya mengiyakan. Tapi saya diam hanya mendengarkan saja, tidak memberikan klarifikasi karena posisinya hanya sebagai saksi, lagian tidak perlu diklarifikasi. Saya hanya bergumam, alangkah baiknya tokoh tersebut yang klarifikasi dan meminta maaf, kira2 begitu kata hati saya.
Sesampai di pondok Sukorejo, saya melaporkan kepada Kiai Fawaid atas peristiwa halaqoh. Kiai Fawaid kaget dan tercengang mendengar laporan saya. Kan biasa orang berdiskusi secara reflek menggerakkan tangan, kanan maupun kiri. Ya, tapi entahlah, karena saya sendiri sebenarnya tidak merasa ada yang membuat tersinggung, demikian sikap bijaksananya Kiai Fawaid. Akhirnya sang tokoh tersebut sowan dan meminta maaf ke Kiai Maemun. Permintaan maaf tersebut membuat semua merasa lega dan plong (Jawa), dan berakhir dengan menggembirakan.
Sungguh teladan yang patut menjadi renungan kita semua, ternyata Kiai Maemun begitu memberikan rasa takdhim dan hormat kepada orang2 yang memang seharusnya dihormati, apalagi terhadap seorang yang mulia dihadapan Allah. Begitu setia dan merasa haru serta hormat Kiai Maemun kepada Kiai Fawaid, padahal dari sisi usia, Kiai Fawaid terpaut jauh dengan Kiai Maemun.
Semoga kedua Kiai Kharismatik dan panutan umat bertemu di surganya Allah, surga jannatun naim..
Al Fatihah
Selasa 6 Agustus 2019
Atorcator.Com - Suatu ketika KHR. Ach Fawaid As'ad silaturahmi, sowan ke KH. Maemun Zubair di pondok pesantren Sarang Rembang Jawa Tengah. Dalam silaturahmi Kiai Fawaid hanya diikuti oleh bu Nyai Djuwairiyah dan beberapa orang saja, termasuk saya.
Rombongan hanya satu mobil, carnival. Begitu tiba di kediaman KH. Maemun Zubair, spt biasanya kedua kiai kharismatik itu saling bersalaman dan sama2 cium tangan. Saya hanya mendengarkan dan melihat saja. Selang beberapa saat, Kiai Fawaid berpamitan untuk pulang ke Sukorejo. Saya awalnya menganggap biasa2 saja karena kedua kiai tersebut memang biasa saling bersilaturahmi.
Begitu pamit dan keluar dari pintu, ternyata Mbah Moen, panggilan umat pada umumnya, tidak cukup mengantarkan ke pintu, beliau mengantarkan Kiai Fawaid sambil bergandengan tangan sampai ke jalan raya dan pintu mobil Kiai Fawaid. Saya berjalan di belakang beliau berdua. Dalam hati saya bergumam, apakah Mbah Mun biasa mengantar setiap tamunya sampai ke jalan raya? Atau hanya orang2 tertentu saja?
Selain saya ikut rombongan bersama Kiai Fawaid, ketika masih menjadi santri aktif saya juga pernah diutus oleh Kiai Fawaid untuk mengantarkan surat undangan ceramah di pondok pesantren tempat saya mengabdi dan menuntut ilmu. Mbah Mun figur kiai yang sangat menghargai setiap orang yang bertamu. Saya sebenarnya hanya mengantarkan surat saja, tdk lebih dari itu.
Namun ketika saya menyampaikan salam Kiai Fawaid sembari menyerahkan surat, Kiai Maemun mengajak saya untuk sarapan dulu lalu dilanjut dengam memberikan tausiyah kepada saya tentang pentingnya ilmu dan kewajiban menyebarkan kepada siapa saja. Beruntung saya bisa mengaji walau dalam waktu hampir satu jam. Dan beliau, Kiai Maemun benar2 memenuhi undangan Kiai Fawaid untuk mengisi ceramah dalam forum seminar di aula pondok pesantren
Pada kesempatan lain, Kiai Maemun juga menghadiri undangan haul almarhumain di pondok Sukorejo, saat itu yang menjadi pembawa acara ustad Moh. Ihsan Saleh (alrmarhum, kepadanya al fatihah).
Setelah acara haul, habis maghrib di kediaman Kiai Fawaid dilangsungkan acara halaqoh yang juga dihadiri Kiai Maemun, beberapa kiai dan tokoh2 lainnya, saya bertugas mencatat jalannya halaqoh. Saat tiba giliran salah satu tokoh menyampaikan pendapat dan pemikirannya, Kiai Maimun begitu serius memperhatikan...
Ternyata perhatian Kiai Maemun kepada salah satu tokoh tersebut berbuntut panjang. Kiai Maemun (setelah pulang dan beberapa hari kemudian) tersinggung dengan sikap dan gaya bicara tokoh tersebut. Kiai Fawaid sebagai tuan rumah merasa tidak nyaman mendengar berita ketersinggungannya. Apa ya kira2 yang membuat beliau sampai tersinggung, dawuh Kiai Fawaid kepada saya. Kamu harus sowan ke Kiai Maemun untuk tabayyun, krn kamu yg menjadi salah satu saksi dalam halaqoh, perintah Kiai Fawaid kepada saya.
Saya berangkat berdua bersama Haji Faisol (untuk gantian nyetir mobil, dan skr Ji Faisol terpilih kembali mjd anggota dewan di Situbondo). Karena tiba malam hari di Sarang, saya dipersilahkan untuk bermalam. Esok harinya, setelah Kiai Maemun memberikan pengajian, saya diberi kesempatan untuk sowan. Dan betul, Kiai Maemun menyampaikan ketersinggungannya dalam pertemuan halaqoh di Sukorejo. Selain saya, ada Kiai Bahri dari Jember yg juga ikut sowan. Ternyata yg membuat tersinggung adalah gaya bicara dengan menggerakkan tangan kirinya, dan kebetulan tokoh tersebut berdampingam dengan Kiai Fawaid saat halaqoh. Tidak pantas berbicara di dekat Kiai Fawaid dengan seenaknya menggerakkan tangan kirinya, tidak pantas dan tidak sopan.
Kiai Fawaid itu bukan kiai sembarangan, beliau putra waliyullah, putra Kiai As'ad, dan dalam benak saya Kiai Fawaid adalah walinya Allah juga. Demi Allah saya tersinggung, dawuh Kiai Maemun. Maskuri kan ikut juga dan menjadi saksi pertemuan halaqoh, enjih kiai, saya mengiyakan. Tapi saya diam hanya mendengarkan saja, tidak memberikan klarifikasi karena posisinya hanya sebagai saksi, lagian tidak perlu diklarifikasi. Saya hanya bergumam, alangkah baiknya tokoh tersebut yang klarifikasi dan meminta maaf, kira2 begitu kata hati saya.
Sesampai di pondok Sukorejo, saya melaporkan kepada Kiai Fawaid atas peristiwa halaqoh. Kiai Fawaid kaget dan tercengang mendengar laporan saya. Kan biasa orang berdiskusi secara reflek menggerakkan tangan, kanan maupun kiri. Ya, tapi entahlah, karena saya sendiri sebenarnya tidak merasa ada yang membuat tersinggung, demikian sikap bijaksananya Kiai Fawaid. Akhirnya sang tokoh tersebut sowan dan meminta maaf ke Kiai Maemun. Permintaan maaf tersebut membuat semua merasa lega dan plong (Jawa), dan berakhir dengan menggembirakan.
Sungguh teladan yang patut menjadi renungan kita semua, ternyata Kiai Maemun begitu memberikan rasa takdhim dan hormat kepada orang2 yang memang seharusnya dihormati, apalagi terhadap seorang yang mulia dihadapan Allah. Begitu setia dan merasa haru serta hormat Kiai Maemun kepada Kiai Fawaid, padahal dari sisi usia, Kiai Fawaid terpaut jauh dengan Kiai Maemun.
Semoga kedua Kiai Kharismatik dan panutan umat bertemu di surganya Allah, surga jannatun naim..
Al Fatihah