Penulis: Neneng Maghfiro
Jumat 13 September 2019
Ilustrasi; wajibbaca |
Atorcator.Com – B.J Habibie tutup
usia pada Rabu 11 September 2019, pada umur 83 tahun. Kabar duka tentang
kepergiatan B.J Habibie ini tentu sangat menorehkan luka mendalam bagi bangsa
Indonesia.
B.J Habibie memang lebih terkenal
sebagai teknokrat yang sepanjang hidup telah banyak menyumbangkan pemikirannya
untuk teknologi, ilmu pengetahuan dan pengembangan dirgantara di Indonesia.
Tapi sebagai Presiden RI ke-3, beliau adalah seorang bapak bangsa yang telah
menorehkan banyak kebaikan bagi kemajuan Indonesia di awal-awal masa reformasi.
Di masa jabatannya yang hanya
sebentar, B.J Habibie telah mencabut banyak Undang-Undang yang menghambat
demokrasi. Seperti kebebasan pers, pembebasan narapidana Orde Baru dan
menginisiasi dialog awal masalah Papua. Beliau adalah Presiden yang telah
meletakkan dasar-dasar demokrasi di masa awal reformasi.
Dalam buku Apa Itu Komnas
Perempuan disebutkan, salah satu tonggak penting penanda mulainya era
demokrasi di Indonesia adalah lahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) pada bulan Oktober Tahun 1998, yang didirikan atas
dasar Surat Keputusan Presiden RI No. 181 Tahun 1998.
Surat Keputusan Presiden ini
merupakan kebijakan pertama yang dikeluarkan negara untuk menyikapi persoalan
kekerasan terhadap perempuan dan Komnas Perempuan menjadi lembaga pertama yang
dibentuk negara paska Reformasi dan runtuhnya rezim Suharto.
B.J Habibie merupakan satu-satunya
pemimpin bangsa yang mempercayai laporan masyarakat tentang tindak kekerasan
seksual terhadap etnis Cina pada kerusuhan 1998 kala itu. Padahal, tidak ada
pejabat Negara yang merespon laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan waktu itu
yang menuntut keadilan atas apa yang terjadi pada para perempuan korban
kerusuhan Mei 1998.
Dalam situasi kebuntuan seperti
inilah maka sejumlah aktivis perempuan mengambil inisiatif untuk bertemu
langsung dengan Presiden RI, yang kala itu B.J Habibie, untuk menuntut
pertanggungjawaban yang layak.
Para aktivis perempuan dari latar
belakang yang beragam berdebat selama dua setengah jam dalam pertemuan tertutup
dengan Presiden Habibie. Rombongan ini terdiri dari perempuan dengan berbagai
latar belakang, seperti tokoh masyarakat, akademisi, pemuka agama, aktivis
perempuan, pekerja kemanusiaan.
Mereka menyatakan diri sebagai wakil
dari 4.000 penandatangan sebuah pernyataan yang menuntut pertanggungjawaban
negara terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998.
Pada awalnya, mereka menyebutkan diri sebagai Masyarakat Anti Kekerasan
terhadap Perempuan.
Sebagai Pemimpin tertinggi saat itu,
Presiden Habibie berani meminta maaf dan menandatangani keputusan pendirian
Komnas Perempuan. Berdirinya lembaga ini merupakan wujud pengakuan negara atas
peristiwa kekerasan terhadap perempuan pada kerusuhan yang terjadi pada Mei
1998 serta sebagai langkah awal untuk mencegah segala macam bentuk diskriminasi
dan kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan merupakan tonggak
awal perlawanan terhadap kekerasan yang terjadi pada perempuan, tidak hanya
untuk peristiwa kerusuhan Mei 1998 tapi juga kekerasan terhadap perempuan di
Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, Timor dan Papua.
*Tulisan ini sebelumnya dimua di BincangSyariah
Neneng Maghfiro Peneliti el-Bukhari
Institute, Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta dan alumni Pondok Pesantren Ilmu
Hadis Darus-Sunnah Ciputat.