Penulis: Sarjoko
*Selengkapnya bisa dibaca di Gusdurian
Jumat 13 September 2019
Atorcator.Com - Koran Tempo edisi Kamis 12 September 2019 menurunkan sebuah headline yang membuat siapa saja teriris. ‘Selamat Jalan Komisi Pemberantasan Korupsi: 29 Desember 2002–11 September 2019. Ada ilustrasi yang melengkapi headline tersebut, yaitu dua wajah presiden Joko Widodo. Wajah pertama adalah wajah Jokowi tersenyum khas, akrab seperti pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Ada caption yang menyertai gambar tersebut.
“Ke depan, KPK perlu diperkuat, anggaran perlu ditambah, perkiraan saya kurang-lebih 10 kali” (Calon Presiden Joko Widodo, 26 Juni 2019).
Gambar kedua adalah wajah Jokowi dengan tampang wajah seperti orang bingung. Ada sesuatu yang mengganjal tergambar dari wajah presiden. Kutipan surat yang ditandatangani presiden disertakan.
koran tempo |
Gambar kedua adalah wajah Jokowi dengan tampang wajah seperti orang bingung. Ada sesuatu yang mengganjal tergambar dari wajah presiden. Kutipan surat yang ditandatangani presiden disertakan.
“Kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut (RUU KPK).” (Surat Presiden Joko Widodo, 11 September 2019).
Apa yang disampaikan di halaman depan Koran Tempo tentu bukan sekedar gertak sambal. Sindiran salah satu harian terkemuka itu tentu memiliki maksud. Maksud yang menjadi warning para pegiat anti-korupsi. Saat ini tantangannya begitu mengerikan. Bukan lagi cicak versus buaya. Saat ini bisa jadi cicak versus raptor!
Terdengar cukup berlebihan menggunakan perumpamaan raptor, salah satu binatang purba paling ganas. Tetapi begitulah keadaannya. Cicak vs buaya tiga jilid yang lalu masih bisa dimenangkan oleh cicak. Namun di edisi keempat ini? Buaya tampaknya sudah mampu beradaptasi. Mereka berevolusi menjadi makhluk mengerikan yang siap menerkam lawan-lawannya.
Pegiat anti-korupsi tentu ingat bagaimana mengerikannya serangan terhadap institusi KPK saat mengulik kasus besar yang menyeret nama jendral. Ada tiga fase yang semuanya diiringi kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK pada tahun 2009, 2012, dan tahun 2015. Ketiga kasus tersebut bisa diatasi karena suara dukungan publik masih menjadi kekuatan KPK tetap bertahan. Lalu bagaimana dengan tahun 2019?
Pelemahan terhadap KPK tercium begitu kuat. Dimulai dengan bermasalahnya calon pimpinan, adanya revisi kilat UU KPK, adanya penggiringan opini seolah-olah KPK dikuasai kaum radikal, hingga sikap ‘bodo amat’ seorang presiden Joko Widodo membuat publik mulai menyadari lembaga ini digoyang.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil survei terkait lembaga paling dipercaya publik pada akhir agustus 2019 lalu. Hasilnya, KPK menjadi lembaga paling dipercaya dengan tingkat kepercayaan 84 persen. Di urutan kedua ditempati oleh presiden dan polisi dengan 79 persen. Di posisi paling bawah adalah partai politik (51 persen) dan DPR (61 persen).
Sayangnya, KPK berada di posisi kurang menguntungkan. Bagaimana mungkin pimpinan lembaga yang paling dipercaya oleh publik kemudian dipilih oleh kelompok yang paling rendah mendapatkan kepercayaan? Undang-undang KPK bahkan mau direvisi. Padahal UU KPK tidak masuk program legislasi nasional tahun 2019. Mengapa tiba-tiba muncul? Sementara RUU PKS yang sudah bertahun-tahun mandeg tidak mendapatkan kepastian!
Beberapa orang berkilah bahwa revisi UU KPK adalah jalan untuk memperbaiki UU KPK. Namun jika ditelaah, rancangan perubahan itu justru sangat melemahkan KPK, utamanya terkait fungsi penyelidikan.
Di UU yang baru, tugas penyelidikan akan dijalankan oleh kepolisian. Berarti ada sekitar 20 Satgas dengan personel 300-an orang yang ada di Direktorat Penyelidikan harus berhenti melaksanakan tugasnya di seluruh Indonesia dengan alasan mereka bukan polisi. Padahal Satgas inilah yang kerap melakukan operasi tangkap tangan.
Pimpinan KPK mengatakan tidak ada urgensi revisi UU KPK. Pengamat menyatakan bahwa UU KPK tidak perlu direvisi. Masyarakat sipil menyatakan #TolakRevisiUUKPK. Tetapi mengapa Jokowi terburu-buru menandatangani permintaan DPR untuk merevisi?
Di sini kita bisa melihat bahwa presiden lebih mengutamakan kepentingan para elite partai dibanding suara masyarakat yang ingin KPK diperkuat. Alih-alih memperkuat sebagaimana janji kampanyenya, tindakan presiden justru mengancam pemberantasan korupsi.
Sialnya masyarakat sipil berada di struktur paling bawah dalam sebuah relasi kuasa. Para dewan yang semestinya mendengar aspirasi rakyat ternyata memiliki agenda sendiri. Terbukti semua fraksi setuju. Rakyat di bawah hanya bisa menonton. Hanya bisa berusaha mengetuk pintu hati.
Warisan Gus Dur
Saya selalu terharu melihat bagaimana Bu Nyai Sinta Nuriyyah turun ke jalan untuk mengingatkan para pemilik kuasa agar tidak melemahkan KPK. Seorang Bu Nyai berusia 71 tahun berjuang untuk mendidik para politisi agar tidak merusak negara ini dengan membunuh pemberantasan korupsi. Ia turun gunung karena kecintaan, bukan sikap oportunis seperti anak-anaknya yang mempermainkan undang-undang.
Hal tersebut sekaligus menunjukkan sebuah semangat. Semangat memperjuangkan warisan Gus Dur. Semasa hidupnya, Gus Dur tidak mewariskan harta. Gus Dur hanya mewariskan nilai dan keteladanan. KPK adalah salah satu warisan Gus Dur karena di eranyalah embrio lembaga ini dirancang.
Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia sangatlah panjang. Anti-Corruption Clearing House mencatat sejarah pemberantasan korupsi dimulai pada tahun 1957 dengan keluarnya peraturan tentang pemberantasan korupsi. Upaya ini dilanjutkan pada masa Orde Baru melalui Keppres No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Namun lagi-lagi peraturan ini tidak berfungsi. Setelahnya, Orde Baru mengeluarkan 6 (enam) peraturan terkait dengan pemberantasan korupsi. Namun peraturan hanyalah peraturan. Hingga runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, korupsi bahkan menjadi hal yang melekat pada rezim ini.
Pada masa reformasi, kiat pemberantasan korupsi dimulai kembali dengan terbitnya UU nomor 28 tahun 1999 mengenai penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Setelah masa bakti B.J Habibie berakhir, KH. Abdurrahman Wahid meneruskan upaya pemberantasan korupsi dengan membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK).
Inilah embrio lembaga pemberantasan korupsi yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2002 dengan melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU RI No.30 tahun 2002. UU tersebut yang gencar akan direvisi oleh DPR dan telah mendapat restu dari presiden Joko Widodo.
Semangat memberantas korupsi adalah semangat menciptakan kehidupan demokrasi yang lebih baik. Di era Gus Dur yang singkat, selain mendirikan TGPTK, Gus Dur mendirikan beberapa lembaga lain untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi seperti Komisi Ombudsman Nasional (sekarang Ombudsman Republik Indonesia), Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Inilah mengapa keluarga dan pengikut Gus Dur begitu kencang menolak pelemahan KPK. KPK bukan sekedar warisan sejarah, tetapi perjuangan nilai. Jika ada yang kurang dari KPK, mestinya bisa dibenahi tanpa harus mengebirinya.
Dalam sebuah berita di Detikcom, Alissa Wahid sudah memberikan statement bahwa masyarakat pada dasarnya mendukung penguatan KPK. Tetapi mengapa revisi ini begitu terburu-buru dan bahkan terkesan dipaksakan? Bagaimana mungkin menentukan sebuah keputusan fundamental yang bukan bagian dari Prolegnas bisa diselesaikan dalam jangka waktu 3 minggu saja? Apalagi pada tanggal 6 September 2019 Presiden Jokowi mengaku belum membaca draft revisi UU KPK. Namun tanggal 11 September ia sudah menandatangani surat persetujuan pembahasan revisi UU KPK.
Presiden Jokowi memiliki modal kapital yang besar berkat kecintaan masyarakat terhadapnya. Kita tentu berharap Presiden Jokowi mengambil langkah penguatan pemberantasan korupsi sebagaimana yang disampaikan pada sebuah konferensi pers baru-baru ini. Karena bagaimana pun, Presiden Jokowi sudah menandatangani surat untuk merevisi UU KPK.
Seluruh upaya dan doa masyarakat sipil untuk mendukung KPK sudah dilakukan. Bola panas kini bergulir di tangan wakil rakyat. Kita akan segera tahu apakah wakil kita di senayan sana bekerja untuk kepentingan rakyat atau untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Mengutip pernyataan anggota Wadah Pegawai KPK Henny Mustika Sari, Presiden Abdurahman Wahid merancang KPK, Presiden Megawati Soekarno Putri melahirkan KPK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melindungi KPK. Jangan sampai sejarah mencatat KPK mati pada masa Presiden Joko Widodo. Semoga saja!
Sarjoko S, penulis adalah pegiat di Jaringan Gusdurian Indonesia.
*Selengkapnya bisa dibaca di Gusdurian