Penulis: Muhammad Hasyim dan Adi Ahlu Dzikri
Jumat 27 September 2019
Habib Jindan bin Novel bin Salim
Jindan
Bagi para pecinta ulama dan habaib,
tentu nama Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan tidaklah asing lagi. Sosok
muda namun memiliki reputasi dakwah yang luar biasa. Pengasuh Pondok Pesantren
Al-Fakhriyyah Ciledug ini telah mewarisi legenda sang datuknya, Habib Salim bin
Ahmad bin Jindan, sebagai “Singa Podium” dari Betawi.
Dai pemilik wajah bersih dan salih
ini memiliki tutur kata yang halus. Ceramahnya enak didengar dan mengalir penuh
untaian mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Jika mendengarnya maka
berat hati rasa meninggalkannya. Contohnya adalah saat Haul Masyayaikh ke-42
lalu, meskipun saat menyampaikan ceramah sedang hujan deras, namun hadirin
masih setia di tempatnya, meski terkadang sebagian baju mereka terguyur air
hujan.
Habib Jindan, dikenal juga sebagai
penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal, terutama saat gurunya,
Habib Umar bin Umar bin Hafidz mengadakan safari dakwah ke Indonesia. Beliau
bisa menerjemahkan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan ucapan gurunya.
Tetap mengaji meski dalam situasi perang
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10
Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil berada di lingkungan agamis.
Awalnya beliau dididik oleh kedua orang dan beberapa ulama nusantara. Setelah
mendapat tempat dari Ayahanda dan beberapa ulama serta habaib di tanah air,
kemudian beliau mendapat kesempatan belajar di negeri para wali, Yaman. Ia
berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang
santri.
Di antaranya Habib Munzir bin Fuad
Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shadiq bin Hasan Baharun, Habib
Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia
kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika
itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath
Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.
Beradaptasi dengan suasana dan
ilklim baru, tentu membutuhkan proses tersendiri. Apalagi baru dua minggu di
Hadhramaut, terjadilah perang saudara di Yaman. Namun hebatnya, sanga guru
tetap mengajar murid-muridnya. Saat itu kondisi pengajian sangat susah.
Persediaan makan yang minim dan situasi yang mencekam.
Tahun 1998, ia pulang ke Indonsia
diantar sang guru bersama rombongan santri lainnya. Angkatan pertama ini hampir
seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Sampai di
tanah air, sang Ayahanda memerintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang
ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Selanjutnya, Ayahandanya dan para
gurunya mendorongnya untuk berdakwah.
Ceramah di Langitan
Saat menjadi pembicara pada Haul Masyayaikh Langitan ke-42 lalu, Habib Jindan
bin Novel bin Salim Jindan memakai busana khas orang Arab, bergamis dan
bersurban putih. Ditambah lagi, kacamata yang melekat di kedua matanya.
Dalam taushiyahnya, beliau
menyampaikan bahwa kesabaran merupakan sesuatu yang penting. Tidak terkecuali
dalam masalah ilmu. Al-Habib Abdullah bin Abu Bakar dulu ketika mondok, membawa
kasurnya sendiri. Kasur itu dilipat, karena selama di pondok beliau sibuk
belajar dan muthala’ah sampai-sampai tertidur dalam keadaan duduk, lupa membuka
kasurnya. Begitu terus sampai 4 tahun beliau pulang dari pondok kasurnya masih
dalam keadaan terlipat.
Ilmu itu butuh kesabaran dalam memperolehnya. Sehingga andai ilmu
bisa berkata maka dia akan bicara seperti ini, “Berikan dirimu sepenuhnya padaku (ilmu), maka
mungkin aku (ilmu) akan memberikan sebagian kecil dariku untukmu”.
Jadi, meskipun semua yang kita miliki, mulai dari harta, waktu, pikiran, masa
muda dan semuanya, itu masih memungkinkan mendapat ilmu yang sedikit, nah
apalagi kalau kita ogah-ogahan?. Tentu itu pengharapan yang jauh.
Selain kesabaran, akhlak juga
sangat penting dalam mengamalkan ilmu. Setinggi apapun dan seluas apapun ilmu
seseorang maka harus tetap merendahkan diri dihadapan gurunya. Kita bisa
mencontoh Nabi Musa as. Meskipun beliau seorang Nabi, namun tidak besar diri
ketika belajar kepada Nabi Khidhir. Dengan segala sopan santun beliau mengikuti
pelajarannya. Meskipun pada akhirnya, terdapat perbedaan sudut pandang antara
kedua mereka di kemudian hari.
Kemudian beliau bercerita, disebutkan dalam Shahih Bukhari. Di
mana Nabi menceritakan, “Nanti akan ada pertempuran yang tak kunjung datang
pertolongan. Kemudian pemimpin mereka bertanya, “Adakah di antara kalian
seorang sahabat?.” Kemudian ada seorang sahabat, yang kemudian dijadikan
sebagai tawasul. Diceritakan lagi pada periode setelahnya. Ada peperangan yang
juga tak kunjung menang, pemimpin mereka bertanya, “Adakah di antara kalian
yang pernah melihat sahabat?.” Kemudian ada satu orang yang pernah melihat
sahabat yang kemudian dijadikan tawasul. Setelah itu diceritakan lagi pada
periode berikutnya kejadian yang sama. Pemimpin mereka pun bertanya, “Apa ada
di antara kalian yang pernah melihat tabi’in?.” Ada satu orang yang kemudian
dijadikan sebagai tawasul. Ini menceritakan betapa bekas (atsar) orang-orang salih dapat menjadi
lantaran (wasilah) doa.
[Muhammad Hasyim dan Adi Ahlu Dzikri]
*Selengkapnya bisa dibaca di sini