Penulis: Amirul Ulum
Sabtu 28 September 2019
Atorcator.Com - Muhammad Ahyad Al-Bughuri dikenal sebagai ulama yang multi dalam
menguasai berbagai disiplin keilmuan. Meskipun sudah diangkat menjadi pengajar
di Masjidil Haram, Ahyad masih mengaji kepada Masyayikh Haramain, khususnya
Syekh Muhtar ibn Atharid al-Bughuri. Ketika Syekh Mukhtar wafat, Ahyad diminta
untuk menggantikan posisinya dalam mengajar berbagai disiplin keilmuan di
Masjidil Haram. Halaqahnya terbilang besar. Ada sekitar 300 thalabah yang setia
mendengarkan butiran ilmu darinya. Selain mengajar di Masjidil Haram, Ahyad
juga mengajar di Masjid an-Nabawi dan memimpin majlis dzikir di Makkah.
Muhammad Ahyad lahir di Bogor, Jawa
Barat pada malam Rabu tanggal 21 Ramadhan 1302 (1884). Ia adalah putra dari
Kiai Muhammad Idris ibn Abi Bakar bin Tubagus Mustofa al-Bakri
al-Bughuri.
Dalam mendidikan putra-putrinya,
Kiai Idris sangat mengutamakan pengajaran agama dibanding dengan yang lainnya.
Ketika sendi-sendi ajaran Islam sudah tertanam baik, maka Kiai Idris
memerintahkan anaknya seperti Ahyad untuk mengkaji pelajaran umum supaya antara
ilmu agama dan umum dapat selaras dan seimbang. Mulanya Ahyad menerima didikan
ilmu agama dari ayahnya dan ulama-ulama yang ada di daerahnya. Dasar-dasar ilmu
agama Islam seperti membaca Al-Qur’an, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Hadist, dan
lain-lain dikuasainya dengan baik. Metode menghafal, sorogon, dan bandongan
selalu menjadi makanan keseharian Ahyad ketika masih dalam prosesi belajar di
kampung halamannya.
Untuk sekolah umum, Kiai Idris
memasukkan Ahyad di Volk School hingga tamat di Meer Uietgebreid Leger
Orderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP. Di
sekolah buatan Belanda ini, Ahyad dapat menguasai bahasa Belanda, Matematika,
Biografi, dan ilmu umum lainnya.
Pada tahun 1899, saat umur Ahyad 15
tahun, ia berangkat ke Haramain untuk mematangkan keilmuannya kepada ulama yang
menggelar halaqah di Masjidil Haram. Rihlah ini sudah menjadi idamannya sejak
kecil, sebab ayahnya sering bercerita tentang kelebihan belajar di Haramain
dibanding dengan yang lainnya. Terlebih di sana, sang ayah mempunyai sahabat
yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, yaitu Syekh Mukhtar ibn Atharid
al-Bughuri. Kegiatan belajar mengajar di Haramain sangat berbeda jauh jika
dibandingkan dengan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Kompeni selalu
mengawasi setiap kegiatan agama Islam yang dianggapnya berbahaya semenjak
terjadinya perlawanan para Kiai Banten pada 1888 yang dikenal dengan
pemberontakan Cilegon. Pemberontakan ini terjadi sebab kompeni telah menghina
sebagian ajaran Islam dan kelakuannya yang selalu menyensarakan rakyat petani.
Setibanya di Haramain, Ahyad ikut
bergabung dengan halaqah Masyayikh Haramain, baik yang ada di Masjidil Haram,
Masjid an-Nabawi, dan di kediaman mereka. Di antara guru Ahyad ketika belajar
di Haramain adalah Syekh Muhtar ibn Atharid al-Bughuri, Syekh Baqir ibn
Muhammad Nur al-Jukjawi, Syekh Ahmad Sanusi, Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad
Ridwan al-Madani, Syekh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan (putra Syekh Ahmad
Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani), dan Syekh Muhammad Abdul Hayyi
al-Kittani. Kepada ulama Haramain ini, terlebih Syekh Mukhar yang menjadi
umdah-nya (guru sandaran utamanya), Ahyad mendalami ilmu Fiqih Syafii, Tafsir,
Hadist, Ushul, Faraidh, Falak, Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan Arûdh. Jika sudah
menghatamkan satu disiplin ilmu dari awal hingga akhir, maka Syekh Mukhtar akan
membacakan sanad atau silsilah keilmuan kitab tersebut kepada santri-santrinya
termasuk Ahyad.
Dengan penuh ketekunan dan
kesungguhan, Ahyad mempelajari apa yang transmisikan oleh Masyayikh Haramain.
Ia kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya. Karena kealiman
yang tersemat dalam dirinya, Syekh Mukhtar mengusulkan kepada Masyayikh
Masjidil Haram agar mengikut sertakan Ahyad dalam mengajar di tempat yang penuh
dengan keberkahan tersebut. Usulan tersebut diterima. Akhirnya Ahyad diberi
amanah untuk ikut mengajar di Masjidil Haram pada 1346 H (1927), tepatnya di
Bab al-Nabi Muhammad SAW Adapun waktunya adalah sebelum shalat Dzuhur, sesudah
shalat Shubuh, sesudah shalat Magrib, dan sesudah shalat Isya. Untuk materi
yang diajarkan adalah bermula tentang seputar Faraidh dan Fiqih asy-Syafii.
Meskipun Ahyad sudah diangkat
menjadi pengajar di Masjidil Haram, ia tetap merasa masih haus dengan kajian
keilmuan. Ia sering mendatangi halaqah Masyayikh Haramain, terlebih Syekh
Mukhtar hingga akhir hayatnya (1930). Ketika Syekh Mukhar wafat, maka Ahyad
diamanahi untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar di Masjidil Haram yang
mempunyai tanggung jawab banyak dalam mengajar berbagai disiplin ilmu, sebab ia
adalah Masyayikh Haramain yang halaqahnya paling ramai dihadiri di Masjidil
Haram, yaitu ada sekitar 400 thalabah dari penjuru dunia, khususnya kalangan
Jawah (Asia Tenggara/ Melayu).
Ketika tugas Syekh Mukhtar
dilimpahkan kepada Ahyad, maka kebanyakan santri-santrinya pindah belajar
kepadanya. Halaqah Ahyad meskipun tidak seramai dengan halaqah Syekh Mukhtar,
namun terbilang besar sebab dihadiri sekitar 300 thalabah. Di antara santrinya
yang menjadi ulama besar adalah Syaik Husein al-Palimbani, Syekh Abdul Qodir
ibn Muthalib al-Mindili, Syekh Sodiq ibn Muhammad al-Jawi, Syekh Zakaria Bela,
Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani, Sayyid Muhsin ibn Ali al-Musawa, Sayyid Hamid
ibn Alawi al-Kaff, Syekh Zain ibn Abdullah al-Baweani, dan Syekh Abdul Karim
al-Banjari.
Saat mengajar santri-santrinya,
Ahyad sering mempraktikkan sebagian amalan ibadah yang perlu untuk
dipraktikkan, seperti tayamum, maka Ahyad mengambil debu suci untuk bertayamum
yang dikerjakan di hadapan santri-santrinya yang sesusai dengan apa yang ia
pelajari dari guru-gurunya hingga sanadnya muttasil sampai Rasulullah SAW.
Praktikum juga dilakukan Ahyad ketika mengajar Falak dengan pedoman kitab karya
Syekh Mukhtar yang berjudul al-Rubu’ al-Mujayyab.
Untuk mengetahui nama
bintang-bintang yang ada di langit, Ahyad mengajak santri-santrinya supaya
mengamati langsung dengan mata telanjang atas pemandangan langit yang dipenuhi
dengan bintang-bintang yang beraneka ragam. Metode mengajar Ahyad ini, yakni teori
dan praktikum telah diwarisi oleh santri-santrinya, salah satunya adalah Syekh
Yasin ibn Isa al-Fadani yang sering mengajak santrinya untuk mengamati
bintang-bintang di padang pasir ketika matahari tenggelam hingga waktu fajar
menyongsong. Dikenalkanlah nama-nama bintang dan planet satu persatu dan
tanda-tanda yang melekat padanya.
Mengenai sumbangsih Ahyad dalam
mengajar ilmu di Masjidil Haram, Syekh Yasin al-Fadani berkata, “Kitab-kitab
yang diajarkan oleh Syekh Muhammad Ahyad Al-Bughuri di Masjidil Haram seperti
halnya Jâmi al-Tirmidzî, Iqna’ li al-Khatîb al-Syarbinî, Umdatu al-Abrâr fi
al-Manâsiki al-Hajji wa al-Umrah, Syarah ibn Aqîl ala al-Fiyah ibn Malik,
Mandzumâtu al-Qawâ’idu al-Fiqhiyyah, al-Mawâhibu al-Staniyyah Syarh Mandzumâtu
al-Qawâ’idu al-Fiqhiyyah, dan Risâlah Adab wa al-Bahats.”
Saat mengajar di Masjidil Haram,
banyak thalabah yang terkesan dengan materi yang disampaikan Ahyad. Mereka
merasakan betul bagaimana petuah keilmuan Ahyad merasuk dalam hati sanubari.
Tiada bosan-bosan mereka menghadiri majlis Ahyad. Karena merasa masih haus
dengan keilmuan Ahyad, maka sebagian thalabah, khususnya yang dari Melayu,
Indonesia-Malaysia meminta jadwal tambahan agar Ahyad berkenan membuka majlis
taklim di kediamannya. Akhirnya permintaan itupun disanggupinya.
Gema kealiman Ahyad yang menjadi
bahan pembicaraan ahlu al-ilmi di kalangan ulama dan thalabah Makkah terdengar
hingga ke Madinah al-Munawarah, tempat yang pernah disinggahinya dalam menuntut
ilmu kepada ulama terkemuka di sana, yaitu Syekh Abbas bin Muhammad bin Ahmad
Ridwan al-Madani dan Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani. Oleh sang
guru yang merupakan ulama terhormat di Madinah, Ahyad diminta untuk ikut serta
mengajar di Masjid an-Nabawi. Dengan penuh ketaatan, Ahyad menjalankan titah
yang diperintahkan gurunya.
Amanah yang diemban Ahyad selama
berkiprah di Haramain tidak hanya mengajar, akan tetapi ia juga aktif memimpin
majlis dzikir dan menyampaikan mawaid yang dahulunya dipimpin oleh gurunya,
Syekh Mukhtar Atharid. Majlis dzikir peninggalan Syekh Mukhtar ini jamaahnya
mayoritas mengikuti tarekat Qadiriyah wa al-Naqsabandiyah. Ahyad menerima
baiatan tarekat tersebut dari Syekh Mukhtar dan ia juga diangkat menjadi
khalifahnya (penggantinya).
Hampir semua tugas yang diemban
Syekh Mukhtar dilimpahkan kepada Ahyad, sebab selain dirinya adalah santri
kesayangannya, ia juga adalah menantu Syekh Mukhtar. Ketika membina rumah
tangga dengan putri Syekh Mukhtar, Ahyad dikarunia keturunan 7, di antaranya
adalah Muhammad Thayyib, Idris, Sa’dullah, dan Abdullah.
Dalam sumbangsih masalah keilmuan
yang dituangkan ke dalam karya tulis, Ahyad pernah mengarang beberapa kitab di
antaranya adalah, Ta’lîqat alâ Kitab Jâmi al-Tirmidzî, Hasiyah alâ al-Kitab
Umdati al-Abrâr fi Manâsiki al-Hajji wa al-I’timâr li Sayyid Ali al-Wanâ’i, Ta’liqatu
ala Nadzmi al-Qawâ’idi al-Fiqhiyyati, dan Tsabat bi Asânidihi. Karya-karya ini
dan beberapa kitab koleksi pribadinya, banyak yang diwakafkan di Madrasah Dar
al-Ulum supaya bisa bermanfaat lebih luas.
Dalam kesehariannya, Ahyad sering
menggunakan waktunya untuk kemanfaatan, seperti mengajar, belajar, beribadah,
dan mengarang sebuah kitab. Aktifitas mulianya ini dijalani hingga ia kembali
ke Rahmatullah pada malam Sabtu tanggal 9 bulan Shafar 1372 (1952) dengan usia
kurang lebih 70 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la. (Amirul Ulum)
Penulis adalah dosen Sejarah Islam
Nusantara di STIBI Syeikh Jangkung
*Tulisan ini sebelumnya dimuat NUonline