KH Hafidhi Syarbini dan Ijtihad Penguatan Generasi Santri - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

04 September 2019

KH Hafidhi Syarbini dan Ijtihad Penguatan Generasi Santri

Penulis: Shulhan alfinnas
Rabu 4 September 2019
Ilustasi: KH Maimoen Zubair (Peci putih) bersama KH Hafidhi Syarbini (peci hitam) di PP Darul Istiqomah Batuan Sumenep

Atorcator.Com - KH Hafidhi Syarbini merupakan salah satu santri terbaik KH Maemon Zubair Sarang dan mendirikan pesantren di Batuan Sumenep. Setelah memperoleh petunjuk melalui mimpi, pesantran yang dirintisnya diberi nama Darul Istiqomah. Di lembaga ini beliau menanamkan kultur kehidupan yang inklusif dan moderat. Meskipun pesantren ini difokuskan bagi pelajar atau santri untuk mendalami kitab-kitab klasik dengan berbagai genre-nya seperti fiqih, tasawuf, tafsir dan ilmu kebahasaan, santri dibolehkan untuk mengenyam pendidikan formal di luar pesatren mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.


Gedung pondok pesantren Darul Istiqomah Batuan Sumenep tampak dari depan


Kiai Hafidhi, sapaan akrab masyarakat, adalah pengurus teras Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama  (PCNU) Kab. Sumenep setelah beberapa tahun berkhidmat di lembaga bahtsul masail (LBM) PCNU. Kiai ini mulai dikenal publik melalui progam “semanis kurma” dan “mudzakarah” yang disiarkan RRI Kab. Sumenep. Siaran semanis kurma setiap sore salama bulan ramadhan dan siaran mudzkaroh setiap jumat sore sepanjang tahun. Program siaran ini ialah kegiatan interaktif tanya jawab problematika hukum islam. Sejak itu kiai mulai dikenal oleh mayarakat Sumenep dan sekitarnya sebagai pakar dibidang fikih dan logika. Kiai juga sering menjadi pembicara dalam seminar dan pengajian di luar kesibukannya sebagai pengasuh dan pendidik di pesantren tentunya.

Inovasi dan terobosan yang dilakukan oleh Kiai Hafidhi antara lain:

Accelerative method dan active Learning

Menyadari pentingnya kemampuan membaca kitab thurath bagi setiap santri serta sulitnya proses untuk mencapai kompetensi ini, beliau menyusun kitab Al-Fashih. Kitab ini dirancang untuk memudahkan pemula agar mampu membaca kitab salaf dengan baik dan membutuhkan waktu yang relatif singkat. Kebaruan (novelty) metode ini terletak pada penempatan tema idhafah (kalimat majemuk) di bagian awal pelajaran, berbeda dari kitab-kitab aslinya yang menempatkan di bagian akhir bahasan. Selain itu, pembelajaran dirancang dengan empat pendekatan (approach) yang dilaksanan secara beruntun (sequence), yaitu, sighat, makna, jumlah dan murad.

Sighat atau kelas kata diperlukan untuk mengindetifikasi kata dasar dan perubahan makna yang ditimbulkan dari perubahan kelas kata tersebut. Satu kata dalam bahasa arab bisa dikembangkan menjadi beberapa kata melalui metamorfosa baku yang berimplikasi kepada perubahan arti. Satu kata juga cenderung memiliki banyak alternatif cara baca dan maknanya berubah pula seperti من bisa dibaca man, min, munna, manna dan mannun. Jumlah adalah sebutan kalimat dalam bahasa arab. Pemilihan bentuk kalimat tersebut merepresentasikan intensitas penulis. Sedangkan murad adalah pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Tanpa diikat pemahaman yang utuh terhadap maksud penulis, tulisan arab tanpa harkat bisa saja dibaca sesuai kehendak pembaca dan itu memungkinkan misunderstanding.

Untuk memahami pesan yang dinginkan penulis, pembaca selain menguasai empat hal diatas juga dituntut untuk memiliki sense yang terbentuk dari seringnya membaca. Penguasaan terhadap ilmu logika akan membantu memudahkan memahami apa yang dimaksudkan pengarang kitab yang sedang dibaca. Memahami kitab kuning tidak cukup hanya berbekal nahwu sharraf (ilmu dasar membaca naskah klasik), tetapi juga dibutuhkan disiplin lain seperti ilmu balaghah, ilmu mantiq, ilmu sejarah, ilmu sosiologi bahkan ilmu matematika dasar. hal itu diperlukan untuk memudahkan santri memahami isi bacaan kitab dalam pendekaan tekstual secara utuh dan konstektstual secara komprehensif.

Implementasi pembelajaran di pesantren ini menekankan kemandirian peserta didik. Mereka dilatih untuk menggali dan memahami isi kitab secara mandiri. Jika mendapatkan hal sulit, mereka sharing dengan sesama santri dan kakak tingkat atau melalukan peer teaching untuk menyelesaikan problem yang dihadapi.

Kemudian diadakan program sorogan, menyetorkan hasil belajar mandiri kepada kiai atau ustadz. Para santri bergiliran membaca kitab dan menjelaskan kandungannya berdasarkan hasil interpretasi yang mereka kembangkan.

Setelah itu, kiai atau ustadz mengeksplorasi sejauh mana penguasaan santri dengan cara mengajukan pertanyaa kritis. Jika santri tersebut mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan gurunya dan mampu mempertahankan argumennya bisa berpindah ke materi selanjutnya.

Praktik ini melatih santri untuk menguasai pelajaran dengan memahami prinsip-prinsip dasar dengan kuat. Pola ini dapat membentuk mereka kuat dalam hal metode dan mampu mengembangkan nalar kritis dan sintesa pemikiran yang brilian. Proses belajar ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengetahui (learning to know) secara mendalam disiplin yang dipelajari. Sebagai makhluk sosial, setiap orang memerlukan intervensi orang lain untuk menyelasaikan masalah yang dihadapi (learning together). Untuk membantu santri mampu mengamalkan ilmu yang telah diproleh, kiai mendorong melaksanakan sholat lima waktu berjemaah, memasak dan mencuci pakaian sendiri dan membersihkan lingkungan pesantren (learning to do).

Kederisasi

Bagian terpenting dalam penguatan komunitas santri ialah kaderisasi. Di kalangan pesantren salaf (tradisional) proses kaderisasi berjalan secara natural tidak didesain secara terencana untuk generasi berikutnya. Keadaan ini berpotensi lahirnya generasi prematur seperti contoh putra mahkota kiai terpaksa menggantikan kedudukan ayahnya ketika wafat sebagai kiai hanya kerena keturunannya bukan karena keilmuan dan skillnya.

Disamping itu, kecenderungan kultur pesantren tradisional menempatkan orang-orang di sekitarnya sebagai pengikut (audien) pasif meskipun secara keilmuan dan kecakapan tidak kalah mumpuni. Dua hal ini memungkinkan degradasi kualitas generasi santri karena lahirnya kiai biologis (karena keturunan) bukan kiai fungsional (kerena ilmu dan kemampuan). selain itu kader-kader terbaik yang tidak mendapatkan ruang aktualisasi dengan semestinya akan mencari ruang lain yang lebih menerimanya.

Fenomena ini ditangkap oleh kiai dengan melakukan kaderisasi baik internal pesantren maupun diluar pesantren yang berhubungan dengan penguatan kaum santri. Setelah lama menjadi narasumber siaran RRI, kiai mengundurkan diri dan mendelegasikan santri muda yang dianggap mampu mengantikannya. Meskipun banyak permintaan dari masyarakat untuk tetap menjadi narasumber siaran RRI, kiai tetap menolak dengan alasan mengantisipasi disorientasi dari lillah (karena Allah) menjadi kerena popularitas. Orang yang dijadikan pengantinya dalah ust Khairul Anam dan ust Bahrul Widad. Keduanya memiliki beberapa kesamaan dengan kiai yaitu santri pondok Al-Anwar Sarang dan aktivis PCNU. Mereka secara bergantian mengisi semanis kurma menjawab pertanyaan dan konsultasi publik tentang masalah-masalah keagamaan.

Kaderisasi di lingkungan pesantren salah satunya dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada santri terbaiknya untuk mengisi siaran di Radio Nada FM. Seminggu sekali santri ini mengisi siaran kajian keagamaan di Nada FM dengan membaca kitab pilihan dan menjelaskan isinya. Santri juga dilatih untuk menghadiri undangan masyarakat dan memimpin tahlin, yasin dan doa bersama.

Santri sering juga dilibatkan dalam kegiatan memandikan dan mengafani jenazah warga sekitar pesantren. Cara ini dimaksudkan untuk mendekatkan santri dengan realitas. Diatara masyarakat dan pesantren tidak ada dinding tebal yang membatasi interaksi. Sebaliknya, santri didorong untuk berinteraksi dengan warga sekitar untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmu yang dimiliki.

Inclusive Learning  dan  totality purification

Kiai setelah tamat dari salah satu SMAN di Kab Pemekasan memilih untuk mendalami pendidikan agama di pesantren yang diasuh oleh Mbah Maemon Zubair, tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Kiai sempat dipaksa oleh keluarganya untuk melajutkan kuliah bidang kedokteran tetapi tetap memilih pendidikan pesantren. Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan perkuliahan, beliau tidak melarang dan tidak mendorong santrinya untuk mengambil pendidikan formal disela-sela kesibukannya mendalami kitab.


Mushalla Darul Istiqomah yang biasa ditempati ngaji para santri dan sorogan kitab kuning

Santri diberikan kebebasan untuk memilih sesuai minat dan passion yang dimiliki. Secara pribadi, beliau tidak minat dan tidak menyukai dunia perkuliahan tetapi tidak kaku dengan pandangan pribadinya. Beliau secara moderat membebaskan santri-santrinya untuk berkembang dan maju secara seimbang.

Dalam sebuah kajian kitab rutin beliau pernah menyampaikan bahwa jika ada santri yang pandai membaca kitab dan memiliki gelar kesarjanaan nanti pasti banyak yang ingin menjadikan menantu dan beliau berjanji untuk memcarikan calon istri yang cocok. Janji itu beliau tepati dengan mencarikan langsung calon istri bagi santri yang memenuhi kualifikasi tersebut. Prilaku ini adalah potret faktual yang mencerminkan bagaimana kiai ini mendidik muridnya dengan baik dan tidak memaksakan pengalaman dan pendapatnya diikuti mentah-mentah. Kiai ini tidak segan memberikan apresiasi kepada murid yang mampu menunjukkan kualitas dirinya secara ikhlas meskipun jalan yang dilalui berbeda dengan dirinya.

Kiai Hafidhi tidak menganjurkan para santrinya mengikuti ajang perlombaan baca kitab atau lomba-loba lain khususnya yang berhubungan dengan keagamaan. Menurutnya tujuan belajar kitab itu kerena Allah SWT dan untuk memperoleh keberkahan hidup. Untuk menjaga kemurnian niat dan meraih keberkahan melalui kitab yang dipelajari, setiap santri harus berhati-hati dan menghindari dari hal-hal yang berpotensi mendatangkan riya’ dan kesombongan.

Ajang perlombaan sebagai syiar merupakan hal baik tetapi perlu diwaspadai terjadinya distorsi dan bergesernya ketulusan niat menuntut ilmu agama. Beliau mencotohkan banyak santri yang dikenal pintar dan dipuji kealimannya saat di pondok tetapi ketika pulang tidak mendapatkan tempat atau kesempatan untuk mengamalkan ilmunya di tengah masyarakat. Menurutnya kondisi itu terjadi kemungkinan karena salah niat dan salah memanajemen diri saat menempuh pendidikan di pesantren.

Kiai NU ini juga sangat berhati-hati untuk mengikutkan murid-muridnya dalam kegiatan Bahtsul Masail PCNU yang diadakan secara rutin. Beliau berpandangan ilmu bukan untuk dipamerkan tetapi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahtsul masail bukan ajang menunjukkan diri seabgai orang yang pandai baca kitab dan bisa mengemukan pendapat ulama secara angkuh dan congkak tapi untuk memecahkan masalah (problem solving) dan rekomendasi untuk umat.

Santri mengikuti bahtsul masail tidak cukup berbekal kepandaian saja tetapi juga harus mempunyai etika dan sopan santun yang baik serta ketawaduan yang tinggi. Hal ini diungkapkan kerena menurutnya tidak sedikit santri di dalam forum tersebut kurang dapat menunjukkan adab yang baik ketika berpendapat atau menyanggah pendapat-pendapat yang berbeda. Baginya seorang yang bisa terlibat dalam forum seperti ini selain ilmunya mumpuni, hatinya harus bersih dan perilakunya mercerminkan akhlak yang terpuji.

Shulhan alfinnas adalah murid KH. Hafidhi Syarbini dan KH. Abdurrahman Alkayis, Ph.D, inisiator gerakan Thariqah akademik, dosen, aktivis advokasi pelajar miskin dan motivator.