Penulis: Syakir NF
Rabu 25 September 2019
NU-Online |
Atorcator.Com - Suatu ketika, Pondok Buntet Pesantren dan pesantren yang diasuh
oleh KH Tb Ma'mun Banten mengadakan pertukaran santri. Buntet Pesantren
mengirimkan empat utusannya, yakni KH Muhammad Hasyim Manshur, Kiai Amari, Kiai
Abdur Rouf, dan KH Jawahir Dahlan. Sementara itu, Banten mengirimkan beberapa
utusannya, di antaranya KH Tb Shaleh Ma'mun dan KH Tb Manshur Ma'mun.
Utusan Banten takhassus ilmu
tajwid kepada KH Abbas Abdul Jamil dengan mengaji kitab Hirzul Amani wa
Wajhut Tahani atau yang dikenal dengan Matan Asy Syatibiyah. Sementara
itu, delegasi Buntet Pesantren memperdalam ilmu tilawatil Qur'an kepada
KH Tb Ma'mun. Pasalnya, kiai yang akrab disapa Tubagus Ma'mun itu merupakan
seorang yang memiliki suara yang sangat indah. Pernah suatu ketika ia diminta
untuk memimpin shalat. Tetapi, suaranya itu membuat makmumnya terbuai sehingga
ia dilarang untuk kembali mengimami.
"Beliau cuma satu kali mimpin salat.
Setelah itu diharamkan sama raja karena saking indahnya suara beliau, jamaah
itu jadi hilang konsentrasi," kata Tubagus Soleh Mahdi, cicit Tubagus
Ma'mun, sebagaimana dilansir Radar Banten pada Jumat (25/5).
Tak ayal, sosok Jawahir muda mulai
dikenal sebagai seorang qari yang mampu membuat pendengarnya meresapi
ayat-ayat Al-Qur'an yang ia baca. Di usianya yang belum genap menginjak tiga
puluh tahun, ia diundang oleh KH Abdul Wahid Hasyim yang saat itu menjabat
sebagai menteri agama. Bersama para qari dan hafiz dari berbagai
daerah, mereka merumuskan pendirian Jam'iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH).
Jawahir muda tercatat menjadi salah satu anggota pengurus Pengurus Besar JQH
periode 1951-1953. Setelah itu, rupanya ia lebih aktif untuk mengembangkan JQH
di wilayah Jawa Barat.
Kepiawaiannya dalam melantunkan
ayat-ayat suci Al-Qur'an itu mendorong pemerintah melalui Menteri Agama
memberinya syahadah syarif bersama 14 qari lainnya. Bahkan,
seorang bernama M Khoezai dari Taman, Pemalang, menyebut dirinya sebagai
pemilik suara Nabi Daud, dalam pengantar suratnya yang ditulis pada tanggal 5
Shafar 1361 H.
شَقِيْقُ
رُوْحِيْ الْاَخُ الْاَعِزُّ اَحْمَدْ جَوَاهِرْ صَاحِبُ الصَّوْتِ الدَّاوُدِيْ
الَّذِيْ سَكَنَتْ لَهُ الرِّيْحُ وَ الْبَوَادِيْ وَ دَافَعَتْ لِسِمَاعِهِ
الْمِيَاهُ فِي الْوَادِيْ
Belahan jiwaku, saudara yang mulia,
Ahmad Jawahir, pemilih suara Daud yang karenanya, angin dan padang pasir begitu
tenang dan air yang di lembah pun melambat alirannya karena mendengarnya.
Pada tahun 1960, ia pernah diundang
untuk menjadi pembaca Al-Qur'an di Istana Negara pada peringatan malam Nuzulul
Qur'an. Hal ini berdasar surat dari Koordinator Urusan Agama Daerah Karesidenan
Tjirebon itu melampirkan sebuah salinan interlocal dari Kementerian
Agama Jakarta tertanggal 12 Maret 1960, pukul 10.00 pagi.
Berikut isi interlocal tersebut
(telah disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia).
"Menteri Agama minta agar Sdr.
K. Djawahir Dahlan di Pesantren Buntet Cirebon, supaya datang ke Jakarta, buat
kepentingan membaca Al-Qur'an pada waktu perayaan Nuzulul Qur'an di Istana
Negara, yang akan diselenggarakan pada malam Rabu tanggal 15 ke 16 Maret 1960,
harus datang di Jakarta lebih dulu tertanggal 14 Maret 1960."
Selain melantunkan ayat-ayat suci
Al-Qur'an, di kemudian hari ia juga diundang untuk berceramah. KH Masrur Ainun
Najih, Wakil Ketua PP Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), mengaku kepada penulis
(2015) pernah diajak untuk menemaninya ke Lampung. Di samping itu, salah
seorang muridnya yang menjadi muazin Masjid Agung Buntet Pesantren, H Mursyid,
juga menyatakan kepada penulis pada Jumat (15/6/2018) bahwa dirinya pernah
diajak Kiai Jawahir berkeliling dari puncak dataran tinggi hingga ke pinggir
laut selatan guna berceramah. H Mursyid tidak hanya menemaninya saja, tetapi
diminta untuk melantunkan kasidah-kasidah.
Didi, seorang warga Ciamis, Jawa
Barat, pada Senin (18/6/2018) bercerita kepada penulis bahwa ia pernah
mendengar Kiai Jawahir berceramah sampai jam dua pagi. Menurutnya, ia tidak
bosan mengikuti ceramahnya hingga selesai mengingat selain ceramah, Kiai
Jawahir juga mengajak serta grup kasidahnya.
Abah Jawahir, sapaan akrab anak
cucunya, juga pernah menolak undangan mengaji pada bulan Ramadhan. Hal ini
tercatat pada surat yang ia tujukan kepada H Kosasih di Bandung. Surat yang
tertulis pada tanggal 3 Maret 1961 itu berisi beberapa alasan penolakan dan
tawaran penggantinya.
Ia menolak karena setiap Ramadhan
tiba, ia menerima banyak orang yang sengaja datang untuk memperbaiki bacaan
Al-Qur'annya hanya pada bulan tersebut atau biasa disebut ngaji pasaran.
Mayoritas dari mereka adalah ustadz yang mengajarkan Al-Qur'an di desanya
masing-masing. Di samping itu, kesehatannya yang sedang menurun juga membuatnya
mengurungkan niat untuk dapat memenuhi panggilan tersebut.
Meskipun demikian, ia mengutus
putrinya Siti Zainab, muridnya Syihabuddin dari Sumedang, dan kakaknya Nyai
Karimah. Kepada tiga orang yang mengundangnya, H Kosasih, H Memen, dan Kanda
Yusuf, Kiai Jawahir meminta agar dapat memberi hadiah khusus untuk putrinya
sebagai kebahagiaan menyambut Idul Fitri. Kelak, Siti Zainab dipersunting oleh
KH Abdullah Abbas sebagai istrinya.
Jadi Juri MTQ
Kiai Jawahir juga pernah menjadi
juri Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) yang pertama kali digelar. Hal ini
tercatat pada Surat Keputusan bernomor 75/OC/KF/62/1/65. Saat itu, gelaran
dilakukan oleh Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) yang dipimpin oleh KH Ahmad
Syaichu bekerja sama dengan PP Jamiyyatul Qurra wal Huffazh.
Kiai kelahiran tahun 1921 itu
kembali menjadi juri pada MTQ Nasional kedelapan di Palembang tahun 1975. Entah
apakah ia tidak menjadi juri pada gelaran MTQN pertama di Sulawesi Selatan hingga
MTQN ketujuhnya. Sebab, penulis hanya menemukan dokumentasi MTQN kedelapan
tahun 1975 di rumahnya meliputi surat keputusan penetapannya sebagai juri,
sertifikat penghargaan dari Menteri Agama Mukti Ali, peraturan, sampai kartu
makannya.
Kiai Jawahir meninggal menjelang
Subuh di rumahnya di sebelah barat Masjid Agung Buntet Pesantren. Sementara
itu, untuk mengenang jasanya, nama KH Jawahir Dahlan dijadikan nama jalan yang
menuju rumah peninggalan orang tuanya yang terletak di Desa Buntet di seberang
pusat komplek Buntet Pesantren. (Syakir NF) [Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di NU online}