KPK dan Budaya Koruptif Sejak Masa Qobil - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Sabtu, September 21, 2019

KPK dan Budaya Koruptif Sejak Masa Qobil

Penulis: Nurbani Yusuf
Sabtu 21 September 2019
litartimes
Atorcator.Com - Siapa bisa jamin bahwa dirinya tidak koruptif bahkan ormas-ormas yang lantang bersuara anti korupsi pun tak bebas dari priilaku koruptif jamaahnya--sibuk sebut ini rezim koruptif tapi lupa pada kelompoknya sendiri yang juga sama. Sama-sama korup maksudnya.

Gak kebayang kalau KPK diberi kewenangan penuh hingga masuk ke lembaga-lembaga swasta dan ormas mungkin Jokowi bisa melakukannya lewat revisi UU KPK--agar KPK semakin kokoh dan punya daya jangkau.

Korupsi sudah dilakukan Qabil saat manusia masih berjumlah 6 orang--dan terus berlanjut hingga Jokowi menjabat Presiden dua kali. Bung Hatta dalam buku putihnya menyebut bahwa prilaku koruptif adalah budaya bangsa dengan tidak menyebut semua manusia di negara manapun sama.

Menyadari itu maka dua malaikat ditempatkan sebagai pengawas yang bertugas membuat rekam jejak--yang bakal dipertanggung-jawabkan saat di hari perhitungan. Tapi manusia tak ada yang takut. Dan tak sungkan melakukan korupsi meski terus diawasi.

Amanat reformasi menghapus KKN. Ironisnya KKN dipraktikkan semua rezim: sejak orla, orba hingga rezim reformasi--semua sama dan tak satupun terbebas dari KKN.

KPK sama sekali tidak menyentuh kolusi dan nepotisme. Dengan banyaknya penangkapan bukannya prestasi dan pujian yang di dapat,?malah cenderung memperburuk wajah pemerintahan Indonesia di dunia internasional. Seperti memercik air di dulang terpercik muka sendiri. Sebab substansinya malah diabaikan. Dan sibuk dengan urusan teknis penangkapan atau sejenisnya. Tapi tak ada yang jera bahkan makin menjadi-jadi. Karena definisi tentang perilaku koruptif semakin meluas.

Maka keberadaan KPK perlu dievaluasi. Karena tujuan tidak tercapai. Tujuannya diluruskan kedudukannya diperkokoh. UU nya perlu di revisi.

Jokowi harus berani membuat terobosan untuk merubah definisi dan paradigma korupsi--sebab hampir semua terjebak pada definisi teknis--KPK hanya semacam kawanan pengintai yang mencari salah dan kelemahan--sama sekali tak ada aktifitas konstruktif untuk membangun agar kita jujur. Prilaku koruptif juga berkembang dinamis sesuai kebutuhan--

Habibie gagal mengadili Soeharto dan keluarga Cendana--Gus Dur, Mega, SBY setali tiga uang--mereka dibelit perilaku koruptif orang-orang dekatnya--jadi tak perlu merasa rezimnya paling bersih. Soekarno dan Soeharto pun juga berkomitmen sama saat menjabat: korupsi musuh semua rezim. Tapi mereka juga korup dan tumbang.

Bahkan nabi pun juga berkomitmen yang serupa--beliau saw bersabda:"Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari shalat?”. Rasulullah saw berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya.” (HR: Ahmad).

Shalat saja dicuri apalagi uang. Para pencuri shalat adalah sejahat-jahat pencuri, lebih jahat ketimbang para koruptor di bui. Sayangnya tak ada bui untuk pencuri shalat. Padahal mereka lebih jahat. Kalau ada pasti menarik.

Mungkin kita perlu meneladani beberapa tokoh yang punya intergritas semacam Umar bin Abdul Aziz yang mematikan lampu kantor saat putranya membincang soal privasi. Ibrahim bin Adham yang bersusah payah mencari penghalalan 1 butir kurma yang terlanjur dimakan. Atau Muhammad bin Idris as Syafi'i yang harus berdarah-darah memohon pemaafan atas delima hanyut di sungai-- tapi kita siapa ? Dan mereka adalah butiran mutiara di padang pasir.

Lantas siapa KPK ? Bisa menghilangkan budaya koruptif ? non sens saya bilang .. . KPK harus diperkuat dan diperteguh--tapi bukan lembaga suci yang bersih dari salah ...

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar