Melihat Perang Para Bintang di Papua - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Minggu, September 01, 2019

Melihat Perang Para Bintang di Papua

Penulis: Nurbani Yusuf
Ahad 1 September 2019

Atorcator.Com - Saya tak akan ikutan membandingkan bendera Tauhid dan bendera Kejora--itu terlalu sederhana dan hanya menandakan sedang tak tahu masalah--maaf. Membaca tulisan ini, Anda harus banyak referensi, saya hanya memberi simbol-simbol.

Gerakan politik Papua bergantung sponsor. Ini konflik para elite. Ini perang para bintang berebut hegemoni di tanah nusantara raya. Perpindahan ibu kota adalah mega proyek. Opm hanya martir. Saya bilang itu beda proyek. Beda orang--beda tuntutan--beda biaya--dan beda penanganan. Beda kelas. Prilaku elite, sebaran petugas keamanan, model pergerakan bisa dijadikan salah satu indikasi ini gerakan macam apa. Apakah gerakan berbasis proyek atau gerakan natural yang lahir dari aspirasi rakyat Papua.

Jadi membandingkan penanganan yang dilakukan pihak keamanan terhadap kelompok radikal Islam dengan opm Papua sebagai bentuk ketidak-adilan, adalah naif. Ibarat proyek: gerakan radikal Islam adalah proyek lahan kering--sedang opm Papua adalah proyek lahan basah. Tapi perpindahan ibu kota ke Kaltim dan rusuh Papua sama-sama basssahh.

Eksploitasi OPM dan PAMSWAKARSA adalah kebiasaan buruk. Maka mengkomparasi keduanya saya bilang: 'Tak tahu masalah. Atau hanya orang awam. Semacam orang pinggiran yang hanya tahu kulit'. Mungkin pendekatan politik 'Drama Turkey' bisa digunakan untuk membaca dan menganalisis gerakan Papua merdeka dan pendulum sindikat politik internasional sebagai balancing. Perpindahan ibu kota yang menguntungkan China tentu sangat meresahkan Aliansi Amerika dan sekutunya. Disinilah rumitnya.

Mungkin saya lebih suka membahas kenapa kompeni Belanda sukses menjajah kita selama 350 tahun. Dr Danudirdja Setia Budi punya jawaban bagus. Politik balas budi atau etische politics. Kompeni tak ingin orang Indonesia atau koloninya menjadi pintar. Sebab pintar kerap membuat masalah. Multatuli --Banyak yang aku sudah derita adalah ilustrasi bagaimana buruknya perlakuan kompeni terhadap pribumi asli.

Peneliti dan sejarahwan paling senior HAR Gibb memberi ilustrasi tentang imperialisme barat yang membuat supaya koloninya tetap bodoh. Saling bermusuhan sesama suku. Tidak boleh ada sekolah. Tidak boleh bisa membaca. Dan terpenting tetap merasa inlander. Tak punya harga diri dan tidak boleh mimpi.

Perancis dan Belanda punya sejarah kelam. Koloni kejam dan rakus. Tak tahu budi. Dan suka membunuh. Entah berapa puluh ribu nyawa menjadi tumbal jalan tol Anyer-Penarukan yang digagas Daendels. Aljazair dan Maroko punya kenangan buruk terhadap Perancis.

Imperialis identik dengan pembodohan--pemiskinan--kemelaratan dan ketidak adilan. Cindy Adam spesialis penulis biografi tak kalah garang--ia sebut Belanda dan Perancis semacam lintah yang mematikan. Tak tahu malu dan tak tahu budi.

Dr Setiabudi mungkin kompeni dalam bentuk lain--meski ia berwajah Belanda tapi ia tahu budi. Ia sarankan Pemerintah kompeni untuk mendirikan sekolah khusus pribumi dan memberi beasiswa pribumi pintar belajar ke luar negeri.

Tapi sayangnya pribumi pintar itu kelak dikemudian hari malah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia--setelah ratusan tahun perjuangan melelahkan tanpa hasil. Saya hanya hendak mengatakan bahwa Indoenesia itu kaya raya--negeri gemah ripah loh jinawi--Tukul sarwa tinandur--berbagilah dengan baik dan rata.... demi Allah saya ingin Papua tetap bersama.... kita bersodara .. semoga segera ada jalan terbaik ...

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar