Mempertanyakan Integritas Wartawan - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

07 September 2019

Mempertanyakan Integritas Wartawan

Penulis: Saefudin Achmad
Sabtu 7 September 2019
Lustrasi: lampungpro

Atorcator.Com - "Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau gambar, yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan dan keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-undang."

Itu adalah bunyi pasal II BAB 1 tentang Kepribadian dan Integritas seorang wartawan dalam kode etik jurnalistik. Melihat perkembangan dunia jurnalistik sekarang, apakah pasal II BAB 1 ini sudah benar-benar diimplementasikan dengan baik?

Kemajuan teknologi informasi (internet, media sosial) sepertinya turut berpengaruh terhadap implementasi dari pasal-pasal dalam kode etik jurnalistik. Sebelum media berita online menjamur, berita-berita di media cetak harus benar-benar berkualitas, melewati beberapa tahap koreksi sampai layak terbit. Jarang sekali ditemukan kesalahan dalam pemberitaan di media cetak. Kalaupun ada, hanya kesalahan ketik, itu pun jumlahnya tak banyak dan tak mempengaruhi esensi berita.

Di era sekarang, media-media online nampak tidak lagi mengindahkan proses pembuatan berita sebagaimana di media cetak. Mereka hanya berlomba-lomba mempublish berita paling cepat. Media yang berhasil mempublish berita paling cepat, biasanya paling berpotensi mendapat pembaca yang banyak. Semakin banyak dibaca, berita tersebut akan mendatangkan pundi-pundi uang yang banyak. Bisa dari google adsense, bisa.juga dari iklan. Media yang paling banyak dibaca orang biasanya akan diburu oleh pengusaha untuk menampilkan iklan di media tersebut.

Karena lebih mementingkan kecepatan publish dibanding kualitas, tak jarang berita yang mereka publish tidak sesuai dengan realita atau dalam bahasa sekarang disebut hoax. Biasanya mereka akan mengedit isi berita, atau membuat berita baru yang benar, dengan mencopot berita yang sudah tayang namun ternyata hoax. Ini tentu memalukan dan hal seperti bisa dikatakan jarang terjadi di media cetak. Media online sekelas detik.com dan cnnindonesia.com pernah membuat blunder seperti ini.

Maret 2017 Detik pernah membuat berita bahwa perempuan berpakaian adat di Bali adalah putri Raja Arab, padahal dia adalah pramugari inggris. Kemudian berita ini direvisi. Agustus 2019 cnnindonesia.com membuat berita bahwa Habib Rizieq memimpin doa saat upacara pemakaman Mbah Maimoen, padahal yang memimpin doa adalah Ulama Mekah, Sayyid Ashim.

Kenapa media sekelas detik dan cnnindonesia sampai melakukan blunder? Jawabannya berita yang mereka publish sangat potensial untuk viral dan diburu banyak orang sehingga yang terpenting cepat dipiblish,  tanpa melakukan cek fakta yang memadai. Jika berita sampai viral, sudah pasti akan mendatangkan banyak uang.

Kembali ke pasal II BAB 1 kode etik jurnalistik. Melihat fenomena saat ini, dimana kegaduhan demi kegaduhan terus muncul di Indonesia, secara langsung atau tidak langsung bisa dikatakan media sebagai pihak yang memicu kegaduhan. Jika dalam membuat berita media peduli untuk mempertimbangkan dampak buruk dari sebuah berita serta tidak mementingkan yang penting viral dan kegaduhan-kegaduhan yang terjadi saat ini mungkin bisa diantisipasi.

Seharusnya wartawan jangan sampai membuat berita yang dapat membahayakan
keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan
agama, kepercayaan dan keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-undang. Tidak semua hal yang terjadi harus diberitakan. Seorang wartawan harus punya kepekaan sosial agar bisa mempertimbangkan baik buruk dari sebuah berita yang dibuat.

Sayangnya, wartawan-wartawan sekarang sepertinya dituntut oleh pemilik media untuk mencari berita yang berpotensi viral, menjadi polemik dan kontroversi di masyarakat, karena endingnya bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah. Saya kerap membaca sebuah media sengan mempertarungkan dua pihak yang sedang menjadi rival. Misal pihak A menjelekkan pihak B. Nanti media akan memburu pihak B, menanyakan respon setelah dijelek-dijelekkan oleh pihak B. Nanti pihak B giliran membalas menjelek-jelekkan pihak B. Begitu terus. Media paham berita-berita model gini akan diburu pembaca meskipun dampaknya juga menguras emosi publik.

Kegaduhan yang muncul di Pilkada DKI, ditambah kasus Ahok, aksi 411, 212, Habib Rizieq, FPI, Pilpres, UAS, hingga yang terkini soal disertasi Abdul Aziz, ada andil dari berita-berita yang diterbitkan oleh media-media berita di Indonesia. Kegaduhan-kegaduhan itu sangat berpotensi membahayakan membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan dan keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-undang.

Contoh kecil, apa manfaat dari diberitakannya sidang disertasi Abdul Aziz soal konsep Milk Al-Yamin selain kegaduhan? Namanya sidang disertasi itu biasa dan tak perlu diberitakan. Wartawan seharusnya punya kepekaan untuk mempertimbangkan, memilih untuk memberitakan atau tidak memberitakan. Jika diberitakan kemudian hanya mendatangkan polemik, alangkah baiknya jika sebuah kejadian tidak perlu diberitakan. Kode etik jurnalistik sudah seyognyanya menjadi pedoman para wartawan.

(SA)

Syaefudin Achmad Dosen IAIN Salatiga Asal Purbalingga Jawa Tengah