Puisi Lukman Hakim Saifudin, Mengenang Wafatnya Mbah Maimoen Zubair di Makkah - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Minggu, September 15, 2019

Puisi Lukman Hakim Saifudin, Mengenang Wafatnya Mbah Maimoen Zubair di Makkah

Penulis: Redaksi
Ahad 15 September 2019
Ilustrasi: Youtube Al-Anwar
Atorcator.Com - Pada acara 40 hari wafatnya Mbah Maimoen Zubair, hadir menteri Agama, lukman Hakim Saifudin pada Sabtu 14 September 2019 atau 15 Muharam 1441 di pondok pesantren Al-Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah.

Kehadiran beliau pada acara 40 hari wafatnya Mbah Maimoen Zubair beliau meminta maaf atas segala kekurangan dan segala praktek mengurus jenazah yang tentu berbeda dengan negara kita. Dan juga beliau meminta untuk terus bisa meneladi dan mengingat wejangan dan arahan beliau.

Dan sebagai refleksi dari orang yang mengurus jenazah Mbah Moen di Makkah, Lukman Hakim Saifudin memiliki coretan-coretan yang sangat menyentuh yang dikemas dengan bacaan puisi.

Berikut puisi dan refleksi Lukman Hakim Saifudin:

"Rasanya Baru Kemarin"

Rasanya baru kemarin...

Kabar duka itu datang bertubi, memenuhi group-group WA dan japri, bertebaran banyak sekali di media online dan media sosial pun tak terkecuali.

Rasanya baru kemarin...,

Setelah subuhan itu terasa begitu lemas membaca kabar duka yang datang deras. Ku terbenam dalam bayang-bayangnya melintas bebas. Namun seketika datang dorongan untuk segera bergegas.

Rasanya baru kemarin.....

 Pengemudi setiaku memacu mobilnya secepat dia bisa, mengarungi lajur jalur jalanan kota berpacu dengan mentari pagi yang tak kunjung tampakkan sinarnya menuju rumah sakit An-Nur di Makkah di daerah alhijrah.

Rasanya baru kemarin. .....

Tiba di sana langsung dikerubuti jamaah haji kita. Ku sibak kerumunan jamaah untuk mengenali yang bisa kutanya. Lalu dibawanya aku ke pintu yang ketat dijaga, memasuki suatu ruang yang tak semua orang bisa berada di dalamnya.
Rasanya baru kemarin...

Dalam ruangan itu ku saksikan deretan laci-laci besi kekar bertingkat berjenjang berbanjar berjajar. Dan dalam deretan laci bagian tengah pada tingkatan dasar terbujur di sana dengan tenang kiai bangsa ulama besar.

Rasanya baru kemarin....

Rasanya baru kemarin ku berlutut menatap wajah teduhnya dengan mata basah dan bibir bergetar. Ku tatap wajahnya tersenyum berbinar wajah yang begitu teduh pancarkan sinar. Doa ku panjatkan disertai istighfar.

Rasanya baru kemarin....

Berbagai kalangan menghubungiku memberi saran beberapa kiai meminta jenazah dibawa ke tanah air untuk dimakamkan. Keluarga dan kerabat berharap di ma'la dikebumikan. Kami lalu berbenah melaksanakan.

Rasanya baru kemarin. Gemuruh tahlil iringi jenazah dimasukkan ambulance menuju al-halidiyah jenazah akan dimandikan. Ambulan berjalan perlahan di bawah mendung kesedihan awan. Langit menangis meneteskan rintik hujan.
Rasanya baru kemarin....

Seusai memandikan jasadnya dengan gejolak hati sepenuh takzim membaringkan di atas berlembar kain putih bersih untuk dikafani. Lalu ku kecup kening wajahnya nan berseri, ku kecup wajahnya nan berseri. Duka nestapa terbasuh semerbak wangi.

Rasanya baru kemarin....

Si Mbah kami semayamkan di kantor urusan haji Daker Makkah. Lalu kami antarkan ke Masjidil haram bersama jamaah yang melimpah. Tak terhitung tangan-tangan yang menengadah memohon si Mbah berpulang secara husnul khatimah.

Rasanya baru kemarin.....

Pemakaman jannatul ma'la disesaki kerumunan orang. Sekerumunan menghadang meminta mensholatkan sehingga iringan keranda terhalang. Tak mudah setelahnya mencapai liang. Para pentakziah berlomba sentuh keranda di tengah tahlil yang terus berkumandang.

Rasanya baru kemarin....

Si Mbah dimakamkan di tempat yang beliau citakan. Tak ada bunga-bunga yang ditaburkan. Tiada air wewangian yang disiramkan. Namun, bersusul-susulan doa dipanjatkan.

Rasanya baru kemarin....

Si Mbah pergi meninggalkan kita semua. Namun apakah si Mbah benar-benar meninggalkan kita? apakah si Mbah benar-benar meninggalkan kita? Bukankah ajaran, wejangan dan arahannya kan tetap dan terus mengada bersama menjaga kita.


Ragunan 09-09-2019