Syahrur dan Harakah Sekte Liberal - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Jumat, September 06, 2019

Syahrur dan Harakah Sekte Liberal

Penulis: Nurbani Yusuf
Jumat 6 September 2019
Ilustrasi: NU online
Atorcator.Com - Para ulama belum bersepakat tentang siapa bisa disebut liberal--radikal--ekstrim atau fundamentalis--stigma ini kemudian kerap menjadi istilah teknis untuk menjustifikasi siapapun yang tidak disukai--

Tahun 80 an ada Ahmad Wahib--lewat sebuah buku saku tapi punya daya dobrak luar biasa di kalangan mahasiswa dan penggiat pemikiran Islam Indonesia saat itu--buku kecil itu berjudul: Pergolakan Pemikiran Islam-catatan harian, yang diberi kata pengantar oleh Prof Mukti Ali--langsung mendapat respon luar biasa. Para ulama gelisah atas buku nakal Ahmad Wahib itu bahkan hingga hari ini.

Meski tak pernah dicetak resmi karena keburu dilarang-- tapi hampir semua bersepakat bahwa Ahmad Wahib mengisi ruang kosong kultur pemikiran Islam yang sedang beku alias jumud.

Kemudian hadir sekelompok cendekiawan muda yang disebut-sebut sebagai pembawa alam pemikiran liberalisme di Indonesia--ada Nurcholish Madjid (Cak Nur), Gus Dur, Johan Efendy, Malik Fadjar, Buya Syafi'i, Imaduddin (Bang Imad), Jalaluddin Rahmat (kang Jalal belakangan menjadi Syiah). Menjadi trading topic di kalangan pemikir Islam modernis kala itu.

Indonesia di awal proklamasi juga lahir pemikir-pemikir Islam besar--sebut saja Kyai Dahlan, Kyai Hasyim bahkan Soekarno menulis artikel yang sangat luar biasa: Memudakan Pengertian Islam. Yang dimuat di harian Soeloeh. Yang kemudian menjadi polemik yang sangat panas.

Kehidupan akademis para ulama saat itu begitu hidup dan meriah--Perdebatan dan diskusi hangat--beragumentasi dan berhujjah atas berbagai perbedaan pemikiran dan pendapat. Akademik atmosphere begitu terasa.

Pergumulan pemikiran dalam bidang sastra, politik, agama, sosial, budaya dan ekonomi--lahir tokoh-tokoh besar di bidangnya: Buya HAMKA, Hasbi as Sidiqie, Harun Nasution, Pram, Takdir, HB Yassin, Syahrir, Gani hingga pemikir mutaakhir Cak Nur, Gus Dur dan mas Johan Efendy dan lainnya dengan karya pemikiran yang luar biasa. Kemudian mati suri hingga hari ini ... 🙏🙏🙏

Islam memang tak pernah berubah tapi pemahaman terhadap Islam itu yang berubah--konsep budak pada jaman Nabi dan abad XXI sangat berbeda. Hijrah tak lagi cukup dimaknai sempit pindah tempat dari kota ke kota, sebagaimana hijrahnya para sahabat tapi telah berkembang dinamis sesuai kebutuhan dan konteks. Paham Islam harus di-muda-kan.

Lantas siapa berhak atas otoritas menentukan benar salah--Ibnu Taymiyah dilawan habis karena membuka pintu ijtihad--bukankah Al Hallaj dan Siti Jenar harus di pancung--Langgar Kyai Dahlan dirubuhkan dan dicap kafer karena modernisasi yang dilakukan menyerupai orang kafer.

Tesis: Milk al Yamin yang digagas Muhammad Syahrur dan pengikutnya Abdul Azis--hanyalah ikhtiar membuat diskusi pemikiran Islam di ruang publik--layaknya sebuah desertasi yang harus diuji--tapi sayangnya kita tak pandai berhujjah dan beragumentasi. Dan keburu membuat stigma ini itu. Ruh akademik sebagian besar ilmuwan Islam mati rasa, yang ada hanyalah membuat stigma-- bahwa si fulan liberal--murtad karena telah begini dan begitu--karena yang dilihat hanya sisi parsialnya, sebab kebiasaan ilmuwan sekarang adalah enggan baca utuh dan tak mau berpikir holistik ...
Wallahu taala a'lam

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar