Penulis: Dr (Hc) KH. Husein Muhammad
Rabu 16 Oktober 2019
Atorcator.Com - Aku masih ingat dengan baik, meski tak ingat lagi
tanggalnya, sejumlah kiai pengasuh pesantren berkumpul suatu hari di sebuah
pesantren di Yogyakarta untuk mengikuti sebuah halakah. Temanya adalah
“Demokrasi di Pesantren”. Halakah dibuka oleh seorang kiai kharismatik dan
berpengaruh sekaligus pemimpin organisasi keagamaan terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam pidatonya, ia mengatakan bahwa realitas Indonesia hari
ini menunjukkan tingkat keterpurukan moralitas yang luar biasa, kehancuran
akhlak yang sangat parah. Kasus-kasus perampasan hak milik orang lain (baca:
korupsi) terjadi secara masif dan fenomenal dan dilakukan oleh banyak orang
dengan beragam indentitas, terutama mereka yang berada dalam jabatan struktural
pemerintahan. Demikian juga perilaku dan tindakan pelanggaran hukum, kekerasan
atas nama agama atau moralitas dan sebagainya, hadir dalam keseharian
masyarakat kita.
Menurut kiai tersebut, faktor utama dari semua itu adalah
rendahnya atau hilangnya moralitas atau akhlak malu. Beliau kemudian menyitir
ucapan Nabi Muhammad saw.:
عن أبي مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الأُولَى: إِذَا لَمْ
تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاري .
Di antara ucapan kenabian yang pertama adalah: jika kamu
tidak lagi malu, maka kerjakanlah apa saja semaumu. (H.R. Bukhari).
Ucapan Nabi dalam kasus ini tidaklah berarti perintah,
anjuran, atau perkenan Nabi kepada umatnya untuk melakukan apa saja sepanjang
tidak malu. Sebaliknya, ia adalah kritik keras atas perilaku buruk. Dalam
tradisi keilmuan di pesantren, ia biasa disebut amar li al-tahdid, perintah
yang berarti memperingatkan agar jangan dilakukan, meskipun tidak malu.
Senada dengan hadis di atas, sebuah syair Arab menyatakan:
Jika engkau tiada peduli kehormatan diri
Tidak takut pada Tuhan
Tidak takut kepada orang lain
Silakan lakukan semaumu
Tidak takut pada Tuhan
Tidak takut kepada orang lain
Silakan lakukan semaumu
Penyair lain mengatakan :
إِنْ لَمْ تَخْشَ عَاقِبَةَ اللَّيَالِى
وَلَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا تَشَاءُ
Jika kau tak takut akibat kegelapan malam
Dan tak merasa malu
Lakukanlah apa pun sesukamu
Dan tak merasa malu
Lakukanlah apa pun sesukamu
Suatu hari Nabi pernah menyampaikan kepada para sahabat
tentang pentingnya memiliki rasa malu kepada Allah.
وعن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِسْتَحْيَوا مِنَ اللهِ حَقَّ الحْيَاءِ. قَالَ:
قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّا لَنَسْتَحْيِي، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ. قَالَ:
لَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حقَّ الْحَيَاءِ أَنْ
تَحْفَظَ الرَّأسَ وَمَا وَعَى، وتَحْفَظَ الْبَطَنَ ومَا حَوَى، وَتَتَذَكَّرَ
المْوت َوالبِلَى، ومَن أرادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينةَ الدُّنْيَا، فمَن فَعَلَ
ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِن الله حقَّ الْحَيَاءِ.
Nabi mengatakan, “hendaklah kalian punya rasa malu kepada
Allah dengan sesungguhnya. Apakah kalian sudah punya rasa malu kepada Allah?”
Mereka [para sahabat] spontan dan serentak menjawab: “kami, alhamdulillah,
sungguh-sungguh merasa malu kepada Allah.” Nabi mengerti apa yang dimaksud
mereka. (mungkin seperti malu bicara karena tidak bisa atau malu kepada
perempuan, dst.). Nabi saw. segera menjelaskan apa yang dimaksudkannya, “Bukan
begitu. Itu tidak cukup. Merasa malu kepada Allah adalah menjaga kepala (akal)
dan pikiranmu (dari kecenderungan-kecenderungan yang buruk dan jahat), menjaga
isi perut (dari memakan harta yang bukan hak miliknya), serta mengingat
kematian dan kehancuran diri. Siapa yang menghendaki kebahagiaan diakhirat, dia
meninggalkan kemegahan duniawi. Orang yang melakukan itu semua, maka dia
benar-benar orang yang malu kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan Thabrani).
Hadis yang lain menyebutkan :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: قال رسول
الله: الْحَيَاءُ وَالْإِيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا
رُفِعَ الْآخَرُ. (رواه الحاكم).
Malu dan iman senantiasa bersama-sama. Apabila salah satunya
hilang, maka hilanglah yang lainnya.”
Maka, kata sang kiai mengakhiri, upaya kita untuk mengatasi
kerusakan sosial adalah menumbuh-kembangkan kembali akhlak (moral dan budaya)
malu tersebut di tengah-tengah masyarakat. Ini adalah tugas utama para ulama.[]
[Tulisan ini disadur dari buku Lawaamii’ al-Hikmah ‘Pendar-pendar
Kebijaksanaan’]
*Selengkapnya bisa dibaca di sini