Rabu 16 Oktober 2019
Atorcator.Com - Pelajaran menarik dari kemunculan
islamofobia di China. Menurut pengamat, masyarakat China pada umumnya kurang
menyukai Islam karena umat Islam sering meributkan perkara remeh seperti soal
makanan, pakaian, dan lainnya. Kata “Meributkan” ini perlu mendapat perhatian
lebih dari kita umat Islam.
Ribut di sini berarti debat dan polemik tentang ajaran
agama. Polemik ini akan semakin menguat jika didasari sikap fanatik berlebihan.
Orang lain akan merasa dihakimi dan diserang keyakinannya, lalu ia akan
merespon dengan melakukan upaya pembelaan atau penolakan.
Di sinilah kita perlu mempelajari kembali tentang fenomena
“Keributan” yang terjadi di antara sesama umat Islam. Apa sebabnya? Mengapa
demikian? Apakah hal itu tidak dapat diarahkan kepada pembentukan sikap yang
lebih positif?
Banyak orang menyadari “keributan” itu timbul setelah muncul
gerakan kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Gerakan yang ingin mengembalikan
kemurnian agama Islam sebagaimana kondisi dia datang pertama kali pada abad
ketujuh masehi. Gerakan ini menolak praktik taklid, ketundukan tanpa syarat
terhadap ajaran agama yang telah menjadi standar ortodoksi selama ratusan
bahkan ribuan tahun.
Menurut mereka, hal ini perlu untuk mengembalikan kejayaan
Islam. Tetapi, gerakan ini mendapat kritik dari dua sisi. Pertama, kaum
tradisionalis yang berpegang teguh terhadap ajaran Islam yang telah mapan.
Mereka pada umumnya adalah penganut mazhab hukum dan teologi Islam dominan.
Kedua, kaum cendekiawan modern yang melihat gerakan kembali kepada Al Quran dan
Sunnah bermasalah karena mengabaikan ilmu pengetahuan baik tradisional maupun
modern dalam memahami keduanya.
Mereka melihat gerakan kembali kepada Al Quran dan Sunnah
sebagai gerakan pembodohan umat. Lebih keras lagi, sebagian sarjana menyebutnya
sebagai gerakan vandalisme pengetahuan atau perusakan budaya ilmu pengetahuan.
Kritik yang dilancarkan kepada para pendukung gerakan
kembali kepada Al Quran dan Sunnah, tidak banyak berarti karena dengan
keyakinannya mereka tetap menyebarkan agenda mereka di masyarakat Muslim.
Silakan Pesan di Kontak Ini |
Di tingkat global, gerakan mereka didukung oleh Pemerintah
Kerajaan Arab Saudi, terutama sejak tahun 70 an. Gerakan ini menjadi dapat
dikelompokkan menjadi global salafism/salafi global. Jejaringnya melampaui
batas batas negara sehingga gerakan ini tergolong gerakan transnasional.
Dalam praktiknya, para pendukung gerakan kembali kepada Al
Quran dan Sunnah lebih mengedepankan penggunaan Sunnah dibanding Al Quran. Hal
ini menegaskan temuan George Tharabisi dalam buku Min Islamil Quran Ila
Islamil Hadits (Dari Islam model Al Quran menuju Islam model hadits).
Persoalan utama gerakan ini adalah mencoba membatasi pengetahuan dalam apa yang
mereka sebut Sunnah Shahihah.
Dalam konteks keterbatasan sumber ini, mereka menerapkan
model pemahaman yang tekstualis. Hanya berdasar pada pengertian tekstual sebuah
teks hadis Nabi SAW. Terkadang, mereka mengabaikan komparasi antar teks yang
memiliki kandungan yang senada atau yang berbeda. Ketika mendapati teks yang
berbeda, mereka cenderung menggunakan pendekatan preferensi yang disebut
tarjih.
Dalam pendekatan ini, satu teks akan diterima secara mutlak
dan teks lain akan dieliminasi tanpa diambil sama sekali pesannya. Karena itu,
pengamat mengatakan bahwa mereka cenderung mengamalkan satu sunnah tapi tanpa
sadar mereka meninggalkan sunnah lainnya (ya’mal bis sunnah wa yatruk as
sunnah).
Para pendukung gerakan kembali kepada Al Quran dan Sunnah
dengan percaya diri terus mengembangkan gerakan mereka semakin luas. Sekalipun
patron mereka di Arab Saudi telah mulai meninggalkan gaya keberagamaan yang
sempit dan kaku tersebut. Umat Islam perlu disadarkan bahwa memahami hadis itu
ada ilmunya.
Bukan sekadar ketika mendapati hadis yang diklaim sahih lalu
dapat dijadikan dasar ajaran agama. Lebih lebih untuk bersikap terhadap orang
lain. Di sinilah perlunya mempelajari ilmu yang berguna untuk memahami
kandungan hadis. Kandungan hadis, sebagaimana terdapat dalam matan sebuah
hadis, memiliki keragaman bentuk dan pola. Juga mengandung beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya kesalahpahaman jika tidak didasari sikap yang penuh
kecermatan yang baik.
Para ahli hadis klasik sangat memperhatikan hal ini.
Sebagian di antaranya menyatakan al hadits mudhillatun illa lil fuqaha, hadis
dapat menyebabkan kesesatan kecuali bagi orang orang yang ahli dalam memahami
hadis (baca: fuqaha). Kehati hatian sangat penting dalam memahami hadis. Agar
dapat diberhati-hati orang harus membekali diri dengan ilmu pemahaman hadis
hadis.
Dan tentu saja ilmu matan hadis menjadi bagian tak
terpisahkan dari ilmu pemahaman hadis ini. Buku Ilmu Matan Hadis karya M.
Khoirul Huda disusun untuk kebutuhan tersebut. Memahami hadis itu ada ilmunya.
Wallahu a’lam.