Kisah Perjuangan Kiai yang Aktif Menjadi Mubaligh - Atorcator

Atorcator

Menulis adalah usaha merawat kejernihan berpikir, menjaga kewarasan, dan menyimpan memori sebelum dunia terkatup.

Latest Update
Fetching data...

29 Oktober 2019

Kisah Perjuangan Kiai yang Aktif Menjadi Mubaligh

Penulis: M, Hizbulloh Al-Haq Al-Fulaini
Selasa 29 Oktober 2019
picsoci

"Loh, Yi, kok sepedahan motor? Tidak pakai mobil saja. Mbok dieman badannya, Yi. Jauh lho sini rumah njenengan,"

"Lha tadi, saya baru ingat kalau jam segini ngaji di sini. Kalau naik mobil, lama. Nunggu sopir lah, manasi mobil lah, belum lagi jalan yang padat. Halah, tidak apa-apa, hawong cuma perjalanan kurang dua jam saja," jawab Kyai gaek yang berwajah segar kemerahan namun rambutnya sudah penuh uban walau baru berumur 51 tahun. Dan dua hari setelahnya. Beliau wafat kena serangan jantung. Lahul Fatihah.

Itulah sedikit kisah perjuangan guru pertama hamba yang lakunya begitu terukir dihati.

Beliau itu, senengannya cepet. Apapun itu, kalau bisa dilakukan sekarang, ya langsung di tandhangi. Dan tidak pilih-pilih siapa tamu dan yang mengundangnya ceramah.

Ngaji, menjadi muballigh lokal, anggota dewan, dan mengurusi santri-santri mbanyol adalah "pekerjaannya" sehari-hari, belum lagi waktu itu juga menjabat tanfidz NU Kabupaten kami.

Prinsip Beliau kalau mendatangi undangan ceramah adalah siapa yang cepat "melingkari kalendernya" adalah yang di datangi. Tak peduli itu rumah janda reyot dengan penonton sedikit dan tanpa amplop. Yang penting ngaji! Dan membahagiakan tuan rumah.

Suatu tempo, Beliau mengundang yuniornya hafidz Qur'an guna menjadi Qari' dalam acara akhir sannah madrasah desa kami. Tapi nahas, waktu hari H. Tiba-tiba orang yang pernah di didiknya itu malah membatalkan undangannya. Alasannya? Jadwal dia ternyata bersamaan dengan undangan Bupati. Gemes bukan kepalang guru hamba.

Suatu ketika. Waktu keduanya bertemu dalam sebuah acara. Tanpa tedeng aling-aling, Mbah Yai Hamba berkata pada yuniornya: "Gus! Alasan membatalkan undangan kami yang lebih dulu sebab diundang Bupati. Bukankah tidak sesuai dengan ilmu yang kita pelajari?! Mustinya sing ndisiki kui di gati, dudu sing bayarane gedhi! (Yang mengundang dahulu harus dipentingkan. Bukan yang bayarannya lebih besar)".

Dan ia hanya bisa terdiam.