Penulis: Ust. Ahmad Z. El-hamdi
Selasa 22 Oktober 2019 02:00
Islami.co |
Atorcator.Com - Tengah malam hampir tiba. Kami masih duduk di teras rumah
sambil menikmati secangkir kopi. Hawa dingin lereng Lawu Ngawi membuat malam
itu terasa hening. Ia mengisahkan peristiwa pilu sekaligus indah ini. Saya
seperti masuk ke dalam sebuah lorong yang tak terlukiskan saat ia mengisahkan
persahabatan mendalam antardua orang sahabat.
Kisah ini terjadi di sebuah desa di Kabupaten Ngawi, Jawa
Timur. Kisahnya terjadi pada pertengahan tahun 60-an, saat geger politik
menyapu seluruh negeri, di mana nyaris tidak ada satu pun desa yang luput dari
prahara.
Ia berkisah tentang persahabatan mendalam antara dua pemuda
desa: IS dan S. Sejak kecil mereka bersahabat erat. Ngaji bersama, sekolah
bersama, main bersama. Ketika beranjak remaja, mereka berdua berangkat nyantri
di sebuah pesantren. Persahabatan yang kuat ini membuat mereka terikat nyaris seperti
dua saudara yang saling melindungi.
Saat mereka kembali pulang ke desa, mereka menempuh jalan
politik yang berbeda. IS menjadi tokoh NU (saat itu NU adalah partai politik),
sedang S memilih PKI sebagai kendaraannya dalam berjuang di dunia politik. Sebagai
tokoh yang berbeda politik, mereka berdua tak terelakkan sering berhadapan
sebagai rival. Sekalipun demikian, rivalitas politik itu tidak pernah sanggup
meluruhkan persahabatan yang telah terjalin begitu lama dan indah.
IS yang seorang haji dan lurah desa adalah juga tuan tanah
yang menguasai lahan pertanian berhektar-hektar luasnya. Di mata PKI, IS jelas
adalah salah satu dari tujuh setan desa yang harus dimusnahkan. Sejak Ketua PKI
DN Aidit menyerukan pengganyangan tujuh setan desa pada April 1964, IS tentu
menjadi incaran dari para tokoh dan pengikut PKI lokal.
Sekalipun demikian, S sama sekali tidak berniat mencelakai
IS. Tak pernah sama sekali. IS adalah sahabatnya, saudaranya. Bahkan, setiap
ada situasi genting yang menyangkut keselamatan IS, S selalu memberi tahu agar
IS bisa menyelamatkan diri.
Apa yang dilakukan S ini jelas menunjukkan kedalaman
persahabatan yang indah ini. Dia mempertaruhkan karir dan keselamatannya untuk
menyelamatkan sahabatnya yang secara politik berhadapan dan bersaing dengannya.
Di mata IS, apa yang dilakukan S atas dirinya adalah sebuah budi yang
bagaimanapun juga harus dibalas.
Saat pecah G30S yang di bulan-bulan berikutnya diikuti
dengan pembunuhan para tokoh dan pengikut PKI di seluruh pelosok negeri,
gantian S menjadi pihak terancam. Ancaman ini tidak lagi menjadi kabar burung
saat tentara mulai masuk ke desanya.
IS dikenal sebagai seorang lurah desa yang sangat berwibawa.
Dia tidak hanya menggenggam otoritas politis sebagai seorang lurah, dia juga
tokoh Islam yang sangat disegani. Dengan kewibawaannya, dia berhasil
menyelamatkan banyak warganya yang menjadi pengikut PKI dari incaran para
tentara. Akan tetapi, nyaris tak mungkin untuk menyelamatkan S dari sapuan
militer yang telah masuk ke desa-desa.
Tapi, hutang itu harus dibalas; persahabatan yang tulus
harus tetap dijaga. Diam-diam, IS meminta S untuk melarikan diri saat masih ada
waktu. IS akan mengamankannya sejauh yang dia bisa. Ketika akhirnya S lari dari
desanya dan selamat dari korban tragedi politik ’65, IS bersyukur bahwa di saat
yang paling menentukan, dia masih bisa menunjukkan makna persahabatan yang
telah terjalin sejak usia bocah.
Tahun berganti. Waktu akhirnya menunjukkan bahwa S
betul-betul selamat. Sekalipun sejarah tak lagi bisa memberi kesempatan dua
sahabat ini untuk saling melompat riang bersama seperti saat masih bocah, namun
kebahagiaan IS tak mungkin disembunyikan saat melihat sahabatnya selamat pulang
kembali ke kampung halaman.
Akhirnya kedua sahabat ini sampai di ujung usianya. Saat IS
dipanggil Allah lebih dahulu, S datang menghormati jenazahnya dengan air mata
yang meleleh di pipi. Bebeberapa tahun kemudian, S hendak menyusul sahabatnya
ke alam baka, dia meminta agar dia dampingi putra IS untuk menemui Allah. Dia
akhirnya meninggal dalam damai setelah dibacakan surah Yasin tiga kali oleh
putra sahabatnya itu.
Malam telah melampaui batasnya. Cangkir tinggal menyisakan
endapan kopi yang tidak mungkin disesap lagi. Saya berpamit untuk pulang. Tapi
sesampai di rumah, saya tidak bisa tidur. Hati saya bercampur antara kesedihan
dan keteduhan. Sebenarnya, saya tak bisa dengan tepat melukiskan kecamuk hati
saya. Berputar-putar di otak saya perkataan Gus Dur bahwa “yang lebih penting
dari politik adalah kemanusiaan”.
Untuk memaksa mata saya agar terlelap, saya mengambil novel
lama karya Ignazio Silone, “Roti dan Anggur”, yang mengisahkan “persahabatan”
antara seorang pastor dengan muridnya yang menjadi aktivis gerakan kiri di era
fasisme Italia. Saya membacanya hingga tak sadar saya telah tertidur. Ketika
saya terbangun karena azan subuh yang menggema dari masjid dekat rumah, saya
mendapati Ignazio Silone masih terdekap di dada.[]
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di islami.co