Penulis: M. Najib
Azca
Sabtu 12 Oktober 2019
Mengapa UAS
‘dicekal’ berceramah di Kampus Biru UGM?
Sejak
kemarin beredar kabar ramai tentang ‘pencekalan’ acara Kuliah Umum yang
sedianya akan diberikan oleh penceramah Ustad Abdul Somad (UAS) di kampus UGM.
Beraneka ragam jawaban dan spekulasi muncul untuk pertanyaan sederhana itu.
Kita bisa
mulai dari jawaban ringan (dan bergaya humor). Bahwa UAS ditolak di UGM karena
kini saatnya UTS. Maksudnya: belum saatnya UAS (ujian akhir semester) karena
memang sekarang saatnya UTS (ujian tengah semester). Hehehe.
Ada jawaban
lebih rumit seperti yang disampaikan oleh Humas UGM. Pembatalan acara UAS di
kampus UGM “dilakukan untuk menjaga keselarasan kegiatan akademik dan kegiatan
nonakademik dengan jati diri UGM," ujar Dr. Iva Ariani, Humas UGM, seperti
dikutip CNN online (9/10/2019: 16.56). Tidak begitu terang yang dimaksudkan
dosen Filsafat UGM tersebut ihwal ‘keselarasan akademik dan non-akademik’
dengan acara menghadirkan UAS itu.
Tapi
tampaknya itu terkait dengan acara Kuliah Umum yang biasanya disampaikan oleh
sosok akademisi bereputasi tinggi namun kali ini disampaikan ‘hanya’ oleh
seorang ustad. Bahkan Prof. Heddy Shri Ahimsa-putra, guru besar
antropologi UGM penulis buku “Paradigma Profetik Islam: Epistemologi, Etos
& Model” yang semula dipasangkan sebagai ‘panelis’ bersama UAS, belakangan
mengundurkan diri.
Dalam sebuah
pesan yang beredar, ia menyatakan bahwa pengunduran dirinya terkait dengan
perubahan statusnya dalam acara itu; dari semula sebagai ‘panelis’ dalam
seminar bertopik “Islam dan Ilmu Pengetahuan” ternyata digeser menjadi ‘pemberi
prolog’ untuk tabligh akbar oleh UAS. Prof. Ahimsa menolak untuk diberi peran
sebagai “band pembuka” (begitu istilah yang dipakainya).
Apakah tidak
pantas UAS memberikan Kuliah Umum bertema “Islam dan Ilmu Pengetahuan” di
kampus bereputasi internasional seperti UGM?
Ketua Badan
Pengelola Masjid UGM, Drs. Mashuri Maschab, SU, menyatakan bahwa menurutnya UAS
termasuk sosok yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk membicarakan hal
tersebut. Orang tentu bisa mendebat pendapat tersebut, khususnya dalam topik
“Islam dan Ilmu Pengetahuan”.
Ustadz Abdul
Somad Batubara, Lc, MA, tak diragukan lagi seorang penceramah hebat. Acara
ceramah di berbagai penjuru tanah air selalu dibanjiri oleh khalayak hingga
berjumlah puluhan ribu. Lulusan S1 dari Universitas Al Azhar dan S2 dari Darul
Hadits Al Hasaniyah Maroko ini memiliki kecakapan berpidato yang mampu memukau
dan mempesona khalayak luas. Sejumlah ceramahnya di YouTube telah ditonton
jutaan pemirsa. Meski secara kultural NU, namun UAS bisa diterima dan memiliki
pengikut dari berbagai aliran Islam.
Namun,
apakah itu jaminan bagi reputasi keilmuan UAS? Tampaknya tidak. Beberapa waktu
lalu beredar petikan rekaman ceramahnya yang membahas hukum agama menggunakan
parfum yang mengandung alcohol. Dalam rekaman video tersebut, UAS menyampaikan
mengenai haramnya parfum yang sebagian besar berbahan dasar hewani, khususnya
daging babi. Pendapat UAS tentang alcohol yang terbuat dari minyak babi ini
tampaknya jauh dari basis ilmu pengetahuan dan lebih banyak berbasis prasangka
semata.
Selain
lemahnya kredibilitas keilmuan UAS, argument lain penolakan UAS terkait dengan
sejumlah ceramahnya yang dianggap mengandung ‘ujaran kebencian’. Salah satu
ceramahnya yang sempat viral berisi adanya ‘jin kafir’ yang bersembunyi di
palang Salib dianggap sebentuk ‘penistaan’ terhadap agama lain. Nah, hal ini
tampaknya dianggap tidak selaras dengan prinsip kebebasan akademik dan budaya
toleransi yang dikembangkan oleh UGM.
Namun,
apakah hal tersebut cukup menjadi alasan untuk ‘mencekal’ UAS di kampus UGM?
Nah, di sini saya kurang sepakat dengan urusan ‘cekal-mencekal’ di lingkungan
kampus. Meski barangkali tidak tepat mengundang UAS untuk berbicara dalam acara
bercorak akademik, tampaknya pimpinan UGM perlu menahan diri untuk mudah
melakukan praktek pelarangan berbasis otoritas kampus.
Penggunaan
otoritas pimpinan universitas untuk melarang dan membatasi kegiatan yang
dilakukan civitas academica di lingkungan kampus bisa menjadi ‘pintu pembuka’
bagi menguatnya praktek otoriterisme di kampus. Hal yang mirip terjadi saat
pimpinan UGM melakukan sensor terhadap media mahasiswa Balairung yang melakukan
liputan kritis mengenai pemilikan tanah yang sewenang-wenang di Yogyakarta dan
diduga melibatkan pihak Kraton Yogyakarta (Tempo, 19 Agustus 2019).
Sebaiknya,
yang perlu dilakukan pimpinan UGM melakukan ‘intervensi’ untuk membuat acara di
dalam kampus lebih berkarakter akademis, bukan sekadar pengumpulan massa besar
namun minim refleksi dan diskusi kritis. Maka mari sandingkan UAS atau ulama
lainnya dengan Gus Baha’ atau Ulil Abshar Abdalla atau Nadirsyah Hosen atau
lainnya dalam sebuah forum diskusi akademik yang bermutu. Tampaknya itu lebih
tepat dan bermartabat sebagai lembaga ilmiah.
Syukurlah,
Humas UGM sudah menyatakan bahwa pimpinan UGM 'tidak melarang UAS untuk masuk
kampus’. Seperti diberitakan oleh detikcom (10/10/2019): “Batalkan Kuliah Umum,
UGM Janji Akan Undang UAS di Kemudian Hari.” Artinya, bukan sosok UAS sebagai
ceramah agama yang 'masuk daftar cekal' namun format acara yang lebih berwatak
ilmiah lah yang dikehendaki untuk digelar di Kampus Biru. Jadi bukan event
mobilisasi massa yang bercorak monolog ala tabligh akbar, melainkan event
diskusi dan refleksi kritis yang sarat dialektika argumen dan opini.
Atau
‘pencekalan’ UAS masih terkait dengan drama pasca Pilpres 2019? Entahlah.
Tampaknya sih tidak—dan semoga memang tidak. Namun sejumlah tokoh di balik
kontestasi politik keras dalam Pilpres 2019 tampaknya memang belum bisa ‘move
on’ dan terus membaca dan merespon perkembangan terkini masih terkait dengan
“perang badar” dalam Pilpres 2019 yang mungkin masih bakal berlanjut di palagan
politik 2024.
Pimpinan UGM
tampaknya memang perlu menyegarkan dan membebaskan pengelolaan kampus dan
tempat ibadah agar imun dari ‘virus politik’ yang belum juga mampu hengkang
dari narasi lama perseteruan ‘01’ versus ‘02’ atawa ‘cebong’ lawan kampret yang
jelas jauh dari penggunaan akal sehat dan keadaban politik.
Jika tidak?
Selamat
tinggal UGM sebagai kampus demokrasi, akal sehat dan keadaban politik. [Source: Facebook M. Najib
Azca]