Momok dari Kata "Takfir' - Atorcator
Latest Update
Fetching data...

Sabtu, Oktober 19, 2019

Momok dari Kata "Takfir'

Penulis: KH. Yahya Cholil Staquf
Sabtu 19 Oktober 2019


Atorcator.Com - Apa yang dikhawatirkan dari takfir? Kalau urusannya cuma anggapan tentang nasib surga-neraka, tak akan ada yang dirugikan selain mukaffir (si penuduh kafir)-nya. Takfir berbahaya karena didalamnya terdapat kehendak untuk menyingkiri, memusuhi, mendiskriminasi, mempersekusi dan menimpakan kekerasan, termasuk membunuh, atas nama Islam.

Jadi, bahaya takfir sebenarnya ada pada konsekuensi-konsekuensi normatif yang melekat pada kategori (identitas) “kafir”. Dalam wacana fiqih klasik, pemisahan (segregasi), diskriminasi, persekusi (halaalud dam wal maal), berserta kelanjutan-kelanjutan logisnya, terhadap siapa pun yang masuk kategori (identitas)  “kafir”, memang dipandang sebagai norma-norma pokok yang mu’tabar (otoritatif).

Maka, mencegah ideologi takfiri tanpa merubah pandangan tentang norma-norma terkait kategori kafir, tidak ada gunanya. Alias omong kosong. Alias Be-Es. Kalian menentang keras kalau ada orang Islam dituduh kafir gara-gara perbedaan pendapat dalam agama. Tapi bagaimana dengan mereka yang memang kafir dari sononya? Orang Kristen? Hindhu? Buddha? Gatholoco? Yahudi? Ateis? Boleh dimusuhi?

Seperti pernah kubilang: menimpakan tuduhan kafir atas siapa pun silahkan saja, asalkan kafir dan non-kafir setara (martabat, hak dan tanggung jawabnya) di (semua) ruang sosial-politik (termasuk hukum).

Masalahnya, apakah kalian berani membangun pandangan fiqih baru yang mencegah kompetisi antar-identitas dan mendorong integrasi harmonis dari semua kelompok dalam masyarakat?

Nahdlatul Ulama sudah. Akhir Februari yang lalu (2019), yaitu di Musyawarah Nasional Alim-ulama Nahdlatul Ulama di Kota Banjar, yang menyatakan bahwa “kategori kafir tidak relevan dalam negara-bangsa modern, dan semua orang adalah warga negara yang setara dalam martabat, hak dan kewajibannya”.

Kalau kau tak mau ikut, engkau adalah ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Disitulah garis merah (red line) radikalisme.